Lockdown666Avatar border
TS
Lockdown666
Rumah Makin Mahal & Awas Ada Ancaman Subprime Morgate di RI


Jakarta, CNBC Indonesia - Tren kenaikan suku bunga acuan serta mahalnya harga membuat masyarakat Indonesia semakin sulit membeli rumah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengatakan terobosan pembiayaan kredit rumah perlu dilakukan untuk mempermudah pembelian rumah. Salah satunya adalah dengan melakukan sekuritisasi terhadap cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Sekuritisasi tersebut kemudian dijadikan underlying asset atau dasar transaksi dalam penerbitan surat berharga yang dijualbelikan dalam pasar sekunder.

"Untuk membeli rumah 15 tahun mencicil di awal berat, suku bunga dulu, prinsipalnya di belakang. Itu karena dengan harga rumah tersebut dan interest rate sekarang harus diwaspadai karena cenderung naik dengan inflasi tinggi," jelas Sri Mulyani dalam Acara Securitization Summit 2022, di Jakarta, Rabu (6/7/2022).



Dalam keterangan Kementerian Keuangan, Sri Mulyani mencontohkan bagaimana aset KPR bisa dijadikan underlying asset untuk penerbitan surat berharga yang kemudian dijual dipasar sekunder disebut Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP).
"Aset di sini yaitu mortgage bukan rumahnya, namun cicilan tiap bulannya itu yang kemudian bisa di-package dan dibentuk dalam bentuk security baru surat berharga baru yang kemudian bisa dibeli oleh investor," tutur Sri Mulyani.
Dia menambahkan investor kemudian bisa meng-assess beberapa risikonya dan rate of return dan menciptakan likuiditas baru bagi penerbit EBA-SP.
"Kemudian dia bisa meng-create mortgate baru lagi," imbuhnya.
Menanggapi ide Sri Mulyani, ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan ada risiko yang mengintip dari penerbitan surat berharga dengan underlying asset KPR.
"Tentunya ini bukan tanpa risiko. Surat utang yg diperjualbelikan atau sekuritisasi itu punya risiko spill over kalo ada satu bagian dari rantainya yang default," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.


Irman menjelaskan risiko bisa ditekan dengan membatasi underlying pada KPR prime. Pasalnya, kelompok tersebut memiliki risiko default lebih kecil sehingga risiko sistemiknya bisa ditekan.
"Selama segmen pasarnya adalah yang prime artinya yang mampu membayar dan punya history kredit baik seharusnya risikonya bisa diminimalisir. Kalau di Amerika Serikat (AS) itu karena dia sekuritisasi segmen yang sub-prime sehingga risikonya tinggi," imbuh Irman.


Krisis Subprime Mortgage Membayang



Sebagai catatan, kasus kredit macet subprime mortgage di AS pernah menggoyang perekonomian global pada 2007-2008.
Krisis bermula dari menggelembungnya sektor properti di AS. Kebijakan ekspansif bank sentral AS serta spekulan pasar membuat bisnis properti marak dan menyebabkan melambungnya harga properti di Paman Sam.
Kredit subprime mortage pun marak ditawarkan kepada pembeli yang memiliki risiko paling tinggi dan tidak memenuhi syarat penerimaan kredit prime mortgage.

Kredit tersebut diberikan mudah tetapi dengan biaya dan bunga 200-300 bps lebih tinggi dibandingkan kepada peminjam prime mortgage.


Dalam skema subprime mortgage, pemberi pinjaman bisa mengambalih properti jika peminjam gagal membayar.
Persoalan subprime menjadi rumit karena nilai klaim dari kredit properti disekuritisasi dan dinilai sebagai obligasi bernama mortgage-backed security (MBS). Obligasi tersebut diperjualbelikan di pasar sekunder.
Permasalahan muncul saat the Fed mengetatkan kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan pada 2007. Banyak peminjam yang gagal bayar karena tingginya bunga yang harus dibayar.
Gagal bayar di sektor mortgage kemudian meluas ke sektor perbankan dan lembaga pembiayaan hingga menyeret nama-nama terkenal seperti Lehman Brothers. 


Sri Mulyani bukan tidak menyadari risiko dari sekuritisasi aset KPR. Karena itulah, dia menegaskan underlying asset harus tetap soundrisk management harus tetap baik dan juga transparan.
"Kita dapat belajar dari kegagalan Amerika Serikat pada tahun 2008-2009 di mana asset backed security-nya mereka nggak tahu lagi apa aset yang ada di dalam security nya itu dan bahkan mereka tidak bisa mengetahui berapa risiko dari aset tersebut," tutur Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut berharap sejumlah pihak ikut berpertisipasi dalam mempermudah pembiayaan perumahan. Menurutnya, Bank Indonesia bisa membantu melalui kebijakan makroprudential-nya yaitu dengan menurunkan risiko dari Aset Tertimbang Menurut Risiko atau ATMR-nya untuk sektor perumahan dan melonggarkan loan to value. 
"Tujuannya adalah agar lebih banyak yang berani mendanai sektor perumahan karena risikonya diturunkan bobotnya oleh bank sentral kita di dalam prudential frame- nya," tutur Sri Mulyani.

Sementara Otoritas Jasa Keuangan bisa mempermudah pembiayaan melalui mikroprudensial sementara Kementerian Keuangan dari sisi instrumen keuangan negara.


https://www.cnbcindonesia.com/news/2...orgate-di-ri/1
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
-3
1.4K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.