ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
ELICIA


Aku punya sebuah cerita yang sebenarnya ingin kusimpan selama-lamanya. Aku ingin membawa rahasia ini bersamaku ke alam kubur, tetapi aku sadar bahwa sebuah cerita sudah sepatutnya dibagikan dengan orang lain.

Dulu, rasanya sudah lama sekali, aku jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis itu bernama Patricia, tetangga sebelah rumah. saat itu kami masih Sd dan kami nyaris tidak terpisahkan. Dia cinta pertamaku, cinta monyet dengan kenangan yang begitu indah.

Namun seperti kebanyakan cinta pertama, hubungan kami harus selesai ketika keluargaku memutuskan untuk pindah ke pulau seberang. Cerita yang klasik, nyaris tak ada yang benar-benar berharap cinta kami akan berlangsung selamanya.

Tapi waktu yang singkat itu adalah masa-masa yang indah. Dia adalah gadis pertama yang kupegang tangannya, kupeluk tubuhnya, dan kucium bibirnya sebagai tanda perpisahan kami. Saat itu tak ada yang namanya smartphone maupun sosial media jadi hubungan kami harus seperti air di bawah jembatan.

Dan setelahnya waktu berjalan, hidup terus berlanjut. Aku melanjut ke Smp lalu Sma dan akhirnya kuliah. Belajar giat, mendapat pacar, bekerja, dan akhirnya menikah dan punya anak. Belasan tahun berlalu dan aku benar-benar melupakan Patricia. Seperti itulah kesimpulan hubungan kami, sebuah hubungan singkat yang bahkan tak meninggalkan bekas pada kehidupan seorang pria dewasa.

Namun, ternyata takdir menyiapkan sebuah skenario licik untukku.

Suatu hari perusahaan tempatku bekerja memberikan tugas yang mengharuskanku untuk pergi ke luar pulau. Bahkan dalam mimpi terliar pun aku tak pernah bermimpi bahwa tempatku ditugaskan adalah kota tempat kelahiranku dulu. Sejak pindah aku sama sekali tak pernah kembali kemari. Tak ada lagi keluargaku yang tinggal di sini dan tak ada alasan bagiku untuk kembali.

Namun ternyata dia masih ada di sana.

Aku sudah benar-benar melupakan Patricia namun seolah ada yang menekan saklar, ingatan-ingatan itu mengalir deras memenuhi kepalaku.

Cinta pertama memang unik. Tak peduli indah maupun sakit pengalaman itu akan menjadi sangat berkesan dalam hidupmu. Kau mungkin bisa lupa, tapi ingatan itu akan tetap ada di dalam diri kita masing-masing. Layaknya sebuah kutukan, cinta pertama pasti menjadi dasar fondasi dari kehidupan rumah tangga seorang manusia.

Dia sudah benar-benar dewasa, dan masih sama cantiknya. Rambut emasnya yang memantulkan cahaya mentari, kulit putihnya yang membuat salju tampak kusam, iris birunya yang memancing kerinduan pada laut musim panas, hingga senyumnya yang mengundang kembali perasaan yang sudah lama terkubur.

Bertemu dengannya membuatku kembali menjadi anak Sd berumur sepuluh tahun. Itu adalah masa di mana aku tak tahu apa-apa selain bermain sepuas-puasnya tanpa memperdulikan hari esok dan masa depan yang akan datang. Yang kutahu hanyalah aku bahagia bersama Patricia.

Aku dan dia, kehidupan yang sempurna. Semua mimpi tentang bahagia sepanjang masa, keinginan untuk menghabiskan setiap detik hingga menjadi tua, serta harapan agar dia menjadi ibu dari anak-anakku kelak, semua itu sudah terkubur bersama masa lalu.

Dan itu tidak apa-apa, begitulah seharusnya.

Quote:


Kami bicara, saling bertukar kabar, dan aku pun melanjutkan pekerjaanku. Aku tidak mengharapkan apa-apa, Patricia juga sudah menikah dan memiliki kebahagiaannya sendiri.

Dan butir-butir waktu terus berjatuhan.

Percakapan demi percakapan terus bersambung. Aku berkenalan dengan suaminya dan kami berteman cukup baik untuk saling bertukar cangkir teh di kala senja. Kami menjalani kehidupan orang dewasa yang bermartabat sampai akhirnya menjadi cukup dekat untuk merasa sedih dengan masa kerjaku yang hampir selesai di kota ini.

Aku sadar bahwa aku tak akan kembali lagi dan saat aku mengatakan itu pada mereka, takdir pun tertawa.

Ada satu pertolongan yang mereka harapkan dariku. Sebuah pertolongan yang keji serta menyayat hati karena simpati.

Tiga tahun sudah berlalu sejak mereka menikah dan sampai sekarang mereka masih belum dikaruniai seorang anak. Pemeriksaan dokter membawa mereka pada jurang air mata, dan rasa cinta menuntunnya pada mimpi buruk bernama pengorbanan.

Hanya sebulan aku mengenalnya, tapi dia adalah temanku. Dengan air mata yang begitu deras hingga membasahi sepatuku, dia bersujud memohon pengertian. Aku mengerti, tetapi gejolak perasaan di dalam dada ini tak bisa ditenangkan dengan sekedar pengertian.

Aku benar-benar tak menyangka bahwa reuni ini akan menjadi kisah yang menyayat hati. Satu bagian di sudut hatiku bahkan menyesal telah datang kembali. Tiga hari penuh aku jatuh pada keraguan, tak bisa memutuskan harus melangkah ke kiri atau ke kanan.

Dan apa yang menjadi penunjuk jalanku adalah Patricia. Bagiku dia bukanlah orang asing, dia adalah bagian dari hidupku, setidaknya kami pernah berjalan di jalan yang sama. Sama seperti makanan, kenangan-kenangan itu adalah sesuatu yang membentuk tubuh ini hingga menjadi diriku yang sekarang.

Dan aku ingin dia bahagia.

Akhirnya masa kerjaku pun selesai. Aku berpamitan dan pergi, kembali pada keluarga yang telah menanti kepulanganku.

***


Sejak saat itu kami tak pernah bertemu lagi, tak juga bertukar kabar. Setahun kemudian sebuah surat akhirnya dikirimkan padaku, sebuah surat tanpa nama maupun alamat pengirim.

Dan tak ada pesan apa-apa yang tertulis di sana, hanya sebuah foto dengan satu kata yang tertulis di bagian belakang.

ELICIA.

Saat itu umurku sudah tiga puluh tahun dan aku kembali menjadi anak sepuluh tahun yang menangis karena harus pindah ke tempat yang begitu asing. Aku tak bisa menahan diri, gejolak emosi yang kujaga selama satu tahun akhirnya menemukan tempat untuk berlabuh.

Foto itu menunjukkan seorang bayi kecil yang terbaring dalam gerobak bayinya. Polos dan tanpa dosa.

Elicia, itu pasti adalah namanya.

Segera saja ingatanku kembali pada masa-masa itu. Saat sore tiba kami sering main rumah-rumahan, bermain drama rumah tangga dengan aku sebagai ayah dan dia sebagai ibu. Kami punya seorang anak, seorang putri. Kami tak pernah bisa sepakat dalam memilih nama untuk putri kami hingga akhirnya kami memilih menggabungkan nama kami.

Namaku Eliot dan dia Patricia. Itulah yang akhirnya menjadi Elicia.

Dia cantik seperti ibunya. Dan aku bersyukur dia persis seperti ibunya.

Aku tak pernah membalas surat itu, dan aku juga memutuskan untuk tidak pernah menemui mereka lagi. Meski demikian aku menyimpan foto itu di tempat aman yang tak ada seorang pun mengetahuinya. Terkadang, saat aku yakin istri dan anakku sudah tidur, aku akan mengambil foto itu dan menatapnya lama sekali.

***


Ini adalah kisah yang tak bisa aku ceritakan pada siapa pun. Kisah yang indah namun penuh luka. Setiap hari aku menjalani hidup dengan rasa syukur sekaligus bersalah. Bersyukur karena di luar sana ada seorang anak yang tengah bermain dengan bahagia. Bersalah karena ada dosa yang tak bisa kutebus pada keluargaku.

Sesekali aku akan duduk diam menatap matahari terbenam dengan secangkir teh di tangan. Aku akan bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku memilih jalan ini?

Cinta? Aku tak tahu, tapi itu adalah jawaban paling masuk akal. Sesungguhnya tak ada apa pun yang bisa menggambarkan cinta, tapi aku berharap bahwa apa yang sudah aku lakukan merupakan satu bagian dari entitas yang begitu agung ini.

Dan sekarang, aku sudah tua. Hidupku sudah tidak lama lagi.

Aku meyakinkan diri bahwa aku menjalani hidup yang bahagia, tak ada yang kutakutkan dari kematian. Aku memiliki anak-anak yang luar biasa, dan anak-anak ini memberiku banyak cucu yang penuh semangat. Terkadang saat hari sedang cerah mereka akan menaikkanku ke kursi roda dan membawaku menikmati daun-daun yang berguguran.

Tak ada lagi tenaga yang tersisa dalam diriku. Yang aku punya sekarang hanyalah ingatan untuk dikenang bersama jatuhnya dedaunan. Mengenang pekerjaanku, mengenang istriku, mengenang pernikahan kami, mengenang seorang gadis berusia sepuluh tahun yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya….

Deg!

Apakah aku bermimpi? Tidak, ini bukanlah mimpi.

Aku melihatnya. Di sana, di balik pohon maple yang masih lebat daunnya.

Wanita itu memiliki rambut emas yang memantulkan cahaya mentari, kulit putihnya membuat salju tampak kusam, iris birunya memancing kerinduan pada laut musim panas, dan senyumnya mampu mengundang kembali perasaan yang sudah lama terkubur.

Rasanya seperti melihat masa lalu, melihat kembali cinta pertamaku yang telah menjadi wanita dewasa. Aku menatapnya, dan dia menatapku. Perlahan-lahan bibirnya bergerak dan secara refleks aku mengikuti gerakan bibirnya.

“Elicia.”

Dia mengangguk, dan air mataku jatuh tanpa bisa ditahan. Dia tidak mencoba untuk menghampiriku, tetapi dia membungkuk dan menepuk pundak dari anak perempuan di depannya.

Dan rasanya aku kembali jatuh cinta. Anak itu masih kecil, mungkin masih duduk di sekolah dasar, dan dia persis seperti neneknya.

Sungguh luar biasa, aku bersyukur hidupku tidak sia-sia. Dalam enam puluh tahun hidup yang kujalani, berapa kali aku jatuh cinta pada paras yang sama? Inilah jawaban dari pertanyaan yang terus menerus kupikirkan sejak dulu. Mengapa aku memilih jalan ini? Karena aku ingin mereka bahagia.

Sekarang, di detik ini, aku akhirnya lepas dari rasa bersalah, siap menutup mata untuk selama-lamanya.

Dalam kegelapan total, hanya wajahnyalah yang menemaniku. Jika … jika kehidupan kedua itu memang ada, bisakah aku jatuh cinta padanya lagi? Bisakah aku kembali menjadi anak kecil yang hidup bahagia dalam cinta dan kesenangan? Dan dalam kehidupan itu, bisakah aku memilih jalan yang berbeda?

Bisa. Aku berharap demikian.

Diubah oleh ih.sul 05-07-2022 02:35
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
18
2.3K
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.