evywahyuniAvatar border
TS
evywahyuni 
Cintamu, Membahagiakan Sekaligus Memberi Luka
Tergoda Cinta Masa Lalu Di Balik Rasa yang Tak Berbalas


Suara derap kaki terdengar teratur menapak ubin di koridor aula sanggar tari itu, beberapa penari yang tadi ikut latihan beranjak pulang. Hanya tersisa Alni, Riri dan Nayla yang sedang merapikan peralatan menari mereka. Ruangan seluas itu hanya diisi oleh perlengkapan musik daerah: gendang, gong, dan beberapa alat musik lainnya.

Di dinding yang berwarna kuning cream itu juga tertempel beberapa lukisan abstrak dan lukisan penari, ruangan yang luas mengakomodasi keluar masuknya aliran angin. Dengan ventilasi yang besar, maka tidak diragukan lagi kalau aula itu tidak memerlukan pendingin ruangan. Apa lagi letak sanggar berada di sisi taman kota yang notabene dipenuhi oleh pepohonan rindang dan juga pokok perdu yang rimbun.

"Kalian belum pulang?" Pak Herman tetiba masuk dan mendekati mereka.

"Belum, Pak. Sebentar lagi," ucap Nayla.

"Setelah membereskan semuanya kami baru akan pulang, Pak," sahut Alni.

"Cepatlah, sudah sore … aula mau ditutup. Kalian bisa datang lagi besok untuk latihan," balas Pak Herman.

"Tunggu, Pak. Nah, sudah selesai! Ayo, kita pulang sekarang," ajak Riri kepada kedua rekannya.

Setelah berpamitan pada Pak Herman, Nayla, Alni, dan Riri segera menuju parkiran. Di sana sudah ada Malik--kakak Nayla--yang sedari tadi menunggu. Ia setiap sore datang menjemput adiknya atas perintah dari sang ayah. Melihat Malik dengan penampilannya yang teramat cool, Alni tetiba merasakan suara marching band gemuruh gegap gempita dalam sanubarinya, ia sudah lama menaruh rasa simpati pada sosok laki-laki itu dan hanya Riri yang mengetahui tentang perasaannya.

"Kalian lama juga, sudah bosan rasanya menunggu. Ayo, Nay," ajak Malik. Ia tidak memperhatikan tatapan memuja Alni padanya. Ia hanya fokus menyalakan mesin motor untuk mengantar adiknya pulang.

Nayla menyambut helm yang disodorkan Malik. "Aku pulang duluan, ya?"

Riri dan Alni hanya mengangguk dan membalas lambaian tangan Nayla. Alni masih terpaku menatap motor Malik yang semakin menjauh.

"Hei, kamu masih belum move on dengan Bang Malik, Al?" tanya Riri sambil menepuk lengan Alni.

Alni tersadar dan membuang pandangannya ke arah lain. "Apaan sih, ayoo … pulang."

Memang tak bisa ia ingkari perasaannya kepada Malik masih belum pupus hingga detik ini, laki-laki itu sudah jelas membatasi kedekatan mereka, hanya sebatas teman … itu pun karena Nayla adalah teman mereka.

Riri membonceng Alni hingga tiba ke kos-kosan gadis itu. Sebelum melanjutkan perjalanan,  ia mengambil helm yang disodorkan Alni. "Jangan memikirkan Bang Malik terus, sudah jelas dia tidak menyukaimu. Tuh, ada Ishak yang terang-terangan naksir sama kamu. Kenapa bukan sama Ishak saja?"

"Pulanglah, Ri, jangan memintaku melupakan Bang Malik. Semakin ia menjaga jarak … aku malah semakin kagum padanya." Mata Alni berbinar-binar membayangkan sosok Malik dalam ingatannya. 

"Kagum atau cinta? Hati-hati, lho, Al. Awas ajah kalau kamu sampai terobsesi sama dia, kasihan kamu entar."

"Biar saja. Mau cinta atau apalah namanya itu aku tidak peduli, aku adalah fans setia Bang Malik, weeew," ujar Alni sambil memeletkan lidahnya.

"Dasar edan! Yodah, Aku pulang dulu."

"Hati-hati di jalan, Ri!"

Begitu masuk kamar, Alni segera mencari buku diary-nya dan menggoreskan sepenggal puisi yang sesuai dengan kata hatinya, sambil membayangkan wajah rupawan Malik, sang lelaki pujaan.

Quote:

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

Di rumah Nayla, Malik sedang mencuci motor ketika gawainya berdering. Segera ia mengelap tangannya kemudian merogoh kantong celana, tertera sebuah nama di layar.

"Ya, halo? Gimana?"

….

"Dia telah kembali? Suaminya?"

....

"Oke, Sob."

Malik menatap motornya yang masih berbusa sabun. Setelah mengantongi gawai, ia kemudian mengambil selang air dan mulai membilas motor.

'Aretha sudah kembali, Aku akan menemuinya sebentar, semoga ia masih mengingatku.' Senyum Malik mengembang membayangkan pertemuannya nanti dengan Aretha--kawan masa putih abu-abunya.

"Kok cengar-cengir sama motor, Bang? Awas kesambet, lho!"

Nayla membawakan Malik segelas kopi, ia terheran melihat tingkah abangnya yang paling jarang tersenyum itu ternyata malah sedang senyum-senyum sendiri menatap motor.

"Apaan sih, Nay. Itu lho, Abang baru dapat kabar katanya Aretha sudah kembali ke kota ini," kata Malik sambil gegas mematikan kran air.

"Mbak Aretha gebetan Abang waktu SMA 'kan?"

"Benar sekali, Nay! Abang mau ke rumahnya sebentar, mau ikut?" 

"Enggak, Nay di rumah ajah. Abang mau ngapain ke rumah Mbak Aretha? Sudah ditolak, kok masih demen, Mbak Aretha udah nikah, Abang jangan ganggu rumah tangga orang, dong ...."

"Dia udah jadi janda sekarang, Nay."

"Jadi, Abang mau pedekate lagi yaa …?" Nayla sontak tertawa.

"Malah diketawain, dukung gitu kek, biar Abang enggak jomlo lagi. Cuma Aretha yang Abang suka, gak ada yang lain!" tegas Malik.

"Iya … iya, gak usah ngegas gitu juga keleus, Nay doakan semoga Mbak Aretha mau menerima cinta Abang lagi. Ciee … ciee, ada yang mau CLBK, niih." Tawa Nayla kembali terdengar.

"Aduuhh! Sakit, Bang!" Nayla menjerit. Malik baru saja menjitak kepalanya.

"Makanya, jangan suka ketawain orang! Sakit kagak? Kalau kurang, sinii … Abang tambahin."

"Iishhh, Abang jahat! Tuh, kopinya diminum! Besok-besok Nay gak mau lagi bikinin Abang kopi," dengus Nayla sambil berlalu. Malik hanya mencibir adiknya yang mulai sewot.

Segelas kopi dan sebungkus biskuit renyah menjadi teman Malik sore itu, sesekali bayangan Aretha memenuhi benaknya. Semoga masih ada jalan untuk merekatkan perasan mereka lagi. Setelah mececap kopi buatan Nayla, Malik kembali mengelap bagian motor yang masih basah menggunakan kanebo hingga benar-benar kering dan bersih, saatnya ia harus mandi dan bersiap meluncur.

Quote:

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

Sesampainya di rumah Aretha, Malik memarkir motor di samping teras yang terdapat garasi kecil. Suasana rumah sangat hening, Malik was-was sambil berharap semoga kedatangannya bernasib baik.

"Assalamualaikum," ucapnya di depan pintu yang terbuka lebar.

Salamnya terbalas. Suara lembut terdengar merdu di telinga Malik. Itu suara Aretha! Hati Malik seakan ingin mencuat keluar.

Dari dalam rumah tampak seorang wanita muda keluar sambil menggendong seorang bocah laki-laki. Hati Malik berdesir, 'Apa itu anak Aretha?'

"Hai … apa kabar, Tha," sapanya.

"Eh … kamu Malik 'kan? Astaga, hampir saja Aku tidak mengenalimu, ayo … masuk," ajak Aretha.

Setelah mereka duduk, keduanya saling berpandangan. Tatapan Malik jatuh pada bocah di gendongan Aretha. "Dia anakmu, Tha?" 

Aretha mengangguk. "Ini anakku, Mal. Namanya Raka, usianya baru masuk 7 bulan kemarin."

"Lalu, mana suamimu? Aku tidak melihatnya dari tadi," ujar Malik sambil mengamati sekeliling ruangan.

"Kami sudah bercerai, Mas Ikbal memilih menikahi selingkuhannya dan menceraikanku, Mal. Setelah menerima putusan cerai dari pengadilan, kuputuskan kembali ke sini. Aku ingin memulai kehidupanku dari awal lagi, bersama Raka."

"Oh, maaf."

"Tidak apa-apa, ini sudah takdirku. Bagaimana denganmu, Mal? Kamu pasti sudah berkeluarga juga, 'kan?"

"Aku masih sendiri. Aku masih menunggumu kembali di sini, Tha."

Aretha terpaku mendengar ucapan Malik barusan, terbersit kenangan saat mereka masih bersama, saat itu Malik pernah mengatakan kalau ia hanya ingin menikah dengannya, tetapi pada saat itu mereka masih di bangku sekolah dan sedang dalam keadaan saling bersenda gurau, jadi Aretha hanya menganggap kata-kata Malik hanyalah bagian dari kelakar tanpa arti.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

Tidak lama kemudian, ibu Aretha ke luar membawa nampan berisi secangkir kopi. Dihidangkannya minuman itu di meja depan Malik. "Silakan diminum, Nak."

Malik langsung berdiri menjabat tangan ibu Aretha dengan takzim. "Makasih, Bu."

"Tumben main kemari? Dapat kabar darimana kalau Aretha pulang?" tanya ibu Aretha. Setelah menyimpan nampan di bawah meja ia langsung duduk di samping Aretha yang sibuk membujuk Raka yang mulai rewel.

"Tadi dapat kabar dari teman, Bu. Ya, udah langsung ke sini. Kebetulan udah lama juga gak ketemu sama Aretha."

"Yaah ... beginilah nasib Aretha, Nak. Andai dulu ia tidak salah pilih suami, mungkin sekarang ia sudah bahagia bersamamu dan mungkin ia tidak akan menjadi ...."

Aretha memotong ucapan ibunya. "Jangan bicara begitu, Bu. Aku jadi gak enak sama Malik. Aku tidak mau menjadi beban bagi orang lain, terlebih lagi statusku yang seperti ini sekarang."

Aretha langsung berdiri, Raka tiba-tiba menangis tanpa sebab. Malik yang berada di situasi itu menjadi serba salah, ia langsung berdiri mendekati Aretha, kedua tangannya ia ulurkan untuk mengambil alih Raka dari gendongan Aretha.

Ajaibnya lagi, Raka langsung mau digendong dan tangisnya pun reda. Malik masih berdiri menggendong Raka. Sementara itu ibu Aretha sudah kembali ke dapur.

"Jangan dengarkan apa kata ibuku ya, Mal?" tanya Aretha sambil memainkan jemari anaknya.

"Lihat Raka, Tha. Anakmu sepertinya nyaman berada dalam gendonganku. Maukah kamu memulai lagi hubungan kita dari awal?"

Aretha kembali duduk. "Entahlah, Mal. Aku hanya takut memulai, lagi pula masa iddahku juga masih lama. Kita jalani saja, toh kita baru bertemu lagi hari ini."

Malik kembali duduk di samping Aretha, Raka rupanya sudah tertidur. Bocah itu menangis karena mengantuk dan tidak berapa lama dalam gendongan Malik, ia pun tertidur dengan lelapnya.

"Raka sudah tertidur, Tha. Apa tidak lebih baik ia dipindahkan tidur di kamar?" 

"Kemarikan, Mal. Nanti kubawa ke kamar," kata Aretha berusaha mengambil Raka dari gendongan Malik.

"Lebih baik langsung kaubawa saja ke kamar, biar tidurnya tidak terganggu. Aku pamit pulang, sampaikan salamku untuk ibumu."

"Baiklah, terima kasih sudah datang ke mari, hati-hati di jalan, Mal."

Beberapa hari sebelumnya, di sebuah warkop pinggir jalan yang ramai pengunjung terlihat Malik sedang bertemu dengan seseorang. Terlihat Malik mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat lalu menyerahkan benda itu kepada laki-laki berjaket hitam di hadapannya.

"Langsung kubayar lunas semuanya, Sob. Makasih atas bantuanmu kali ini."

"Siap, Bos," sahut laki-laki itu. Setelah menghabiskan minumannya, ia pun memperbaiki letak kacamata hitam yang bertengger di hidung dan topi hitam yang menutupi kepalanya. Lalu, gegas meninggalkan tempat itu.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tidak terasa kisah romansa Malik - Aretha berjalan seperti yang mereka inginkan. Sejak sebulan yang lalu, Aretha sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Malik yang selalu mencoba mengambil hatinya kembali. Entah, perasan apa yang ia alami, setidaknya kehadiran Malik bisa mengisi kekosongan hatinya dan kedekatan lelaki itu dengan Raka juga terlihat tulus, Malik juga menyayangi anak semata wayangnya.

Ibu Aretha telah berulang kali menasehati Aretha agar mau menerima cinta Malik kembali, tetapi Aretha ingin tidak salah pilih suami lagi, ia tidak ingin mengalami kegagalan berumah tangga untuk kedua kalinya.

Malik telah lama menyatakan cintanya kembali pada Aretha, tetapi alasan Aretha tetap sama, ia tidak ingin pacaran lagi … keinginannya cuma satu. Aretha  ingin langsung menikah setelah masa iddahnya selesai dan Malik sudah menyetujuinya tanpa syarat. Setidaknya perasaan Malik selama ini telah mendapat balasan, cinta yang dulu ia jaga kini akan berlabuh pada wanita yang tepat baginya

Aretha menemui Malik yang sedang asyik bermain bersama Raka di teras rumah. Ada banyak mainan baru yang dibawa Malik tadi kini sudah berserak di lantai setelah dimainkan Raka. Cuaca sore itu cerah, secerah hati Malik melihat Aretha keluar dengan senyum yang mengembang.

"Kamu cantik sekali, Aretha." 

"Gombal! Aku udah begini dari dulu, biasa ajah keleus," balas Aretha tersipu malu.

"Kamu selalu cantik di mataku, tidak pernah berubah. Bahkan semakin cantik saja setelah ada Raka."

Aretha tertawa, tanpa sadar tangannya mencubit lengan Malik. "Rayuan pulau kelapamu udah gak manjur lagi, kita sudah bukan ABG lagi."

"Biar saja, Aku akan terus merayumu hingga nanti kau menjadi istriku."

Kata Aretha sambil mencebik, "Jadi, kalau sudah jadi istrimu, kau tidak akan seromantis ini lagi?"

"Aku akan selalu romantis setiap saat, Sayang."

Aretha tersipu malu, saat ia hendak ingin mengambil Raka, tiba-tiba gawai Malik berdering. Tak menunggu lama, Malik segera menerima panggilan itu.

"Ya, kenapa?"

….

"Oke, tunggu! Aku segera meluncur."

Malik memutuskan panggilan. Mengantongi gawainya kembali, lalu menatap Aretha yang sudah memangku Raka.

"Ada apa, Mal?"

"Maaf, Aretha. Aku harus pergi, rekan bisnisku tadi menelepon … ada pertemuan mendadak. Aku akan menghubungimu lagi nanti, oke?"

Aretha berdiri mensejajarkan dirinya dengan Malik yang bersiap pergi. "Iya, hati-hati di jalan."

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

Sementara itu, Nayla sedang bersiap pulang setelah latihan menari di aula sanggar. Tidak ketinggalan dua teman dekatnya, Riri dan Alni juga sedang membereskan perlengkapan mereka. 

"Bang Malik jadi menjemputmu, Nay?" tanya Alni. Besar harapannya bisa berjumpa lagi dengan Malik. 

"Entahlah, dari tadi kuhubungi belum ada jawaban."

"Kalau Bang Malik belum datang, nanti nebeng mobil aku ajah, Nay. Kebetulan tadi bawa mobil ke sini."

"Iya deeh, coba kuhubungi ulang dulu."

Nayla mencoba menghubungi Malik, tetapi tetap tidak tersambung. Gadis itu menatap kedua temannya sambil mengangkat bahu. "Masih tidak aktif."

"Ya sudah, ayoo … kita ke mobil," ajak Riri menggandeng lengan kedua tangan Alni dan Nayla.

"Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Aku lapar, niih," ajak Alni.

"Gimana, Nay?" Riri merasa harus meminta pendapat Nayla dulu sebelum mengiyakan ajakan Alni.

"Ayolah, kebetulan lapar juga," sahut Nayla sembari membuka pintu mobil.

Di dalam perjalanan. Mereka saling mengusulkan hendak makan di mana, akhirnya pilihan jatuh di 'Teras Cafe' yang letaknya tidak jauh dari lokasi sanggar mereka. Setelah memarkir kendaraan, Alni, Nayla, dan Riri segera masuk dan mencari tempat kosong.

"Bukannya itu Bang Malik, Nay?" bisik Riri. Ia seperti melihat perawakan Abang Nayla di salah satu lesehan cafe.

"Mana, Ri?" Nayla ikut mengekori pandangan Riri.

"Lha, itu Bang Malik, Nay! Aku mengenali postur tubuhnya, orang itu pasti Bang Malik. Ayo, kita ke situ," ajak Alni sambil menggeret lengan Nayla. Riri mengekor dari belakang.

"Abang?" tegur Nayla. 

Lelaki yang posisinya memunggungi Nayla seketika menoleh. Ia terperangah mendapati adiknya berada di tempat yang sama dengannya.

"Nay? Kenapa kamu ada di sini?" Malik balik bertanya.

"Tadinya kami mau makan di sini. Nay dari tadi menghubungi Abang, tetapi kenapa gak aktif-aktif?"

"Tuuh, lobet! Abang numpang cas di sini." Malik menunjuk gawainya yang sementara dicolok charger.

Ketiga gadis belia itu kompak menepuk dahi mereka. Nayla sampai mencubit lengan Malik saking kesalnya. "Aku kira tadi Abang udah diculik sama Alien, bikin panik ajah!" 

"Sekarang kalian duduk di sini dan pesan saja apa yang mau kalian makan," ujar Malik seraya memanggil pelayan untuk mencatat menu apa yang akan dimakan oleh Nayla dan teman-temannya.

Alni yang sedari tadi memperhatikan Malik merasa salah tingkah saat Malik secara tidak sengaja menyentuh jemarinya. Saat itu Malik hendak mengambil buku menu di atas meja, kebetulan juga Alni yang mengambil posisi duduk dekat Malik sedang menopang dagu menatap daftar menu yang akan dipilihnya.

"Eh, maaf, Dek."

"Tidak apa-apa, Bang," sahut Alni tersipu malu.

"Kamu pilih menu yang mana?" tanya Malik. Pandangannya tertuju pada daftar menu.

"Aku pilih nasi goreng merah, kalau Abang pilih yang mana?"

Lagi-lagi Alni kembali salah tingkah. Malik menunjuk satu menu yang sama dengannya pada pelayan untuk dicatat.

"Aku pilih ini," jawabnya. Lalu menyerahkan buku menu itu kembali pada pelayan cafe.

"Kalian sudah pesan juga?" tanya Malik pada Riri dan Nayla yang duduk berseberangan dengan dia dan Alni.

"Sudah, Bang."

"Oke, minumnya sama semua, es teh manis, ya," ujar Malik ke pelayan. 

"Kapan kalian tampil menari?" tanya Malik.

"Minggu depan, Bang. Doakan kami menang, ya, Bang," jawab Riri.

"Aamiin, semangat latihannya, berikan penampilan yang sempurna, semoga menang, ya," sahut Malik disambut anggukan dari mereka bertiga.

Gawai Malik yang sudah diaktifkan sejak tadi berdering, ada nama Aretha di sana. 

"Halo, ada apa, Tha?"

….

"Oke, Aku segera ke sana!"

Malik mematikan sambungan teleponnya. 

"Ada apa, Bang?" Nayla melihat raut kecemasan di wajah Malik.

"Kalian makan saja, nanti Abang bayar di depan. Abang harus pergi ke rumah Aretha, Nay. Raka kejang-kejang katanya," kata Malik sambil gegas meninggalkan mereka, menuju kasir dan membayar bill pesanan tadi.

Melihat Malik yang begitu terburu-buru pergi, membuat Alni jadi sedikit bingung. Padahal tadi mereka sudah mulai banyak bercakap-cakap, peningkatan komunikasi yang menurut Alni sudah mengalami kemajuan yang signifikan.

"Bang Malik kenapa, Nay?" Penuh rasa penasaran Alni segera mengajukan pertanyaan ke Nayla.

"Oh, itu … Bang Malik mau ke rumah calon istrinya. Anak Mbak Aretha. sedang sakit. Tadi denger sendiri 'kan?"

"Bang Malik udah punya calon istri?" Mendung berarak mulai mengisi bejana netra Alni.

"Iyah, Mbak Aretha itu gebetan Bang Malik sejak SMA. Sayangnya, setelah lulus kuliah Mbak Aretha memilih lamaran laki-laki lain karena Bang Malik belum mapan. Kalau mereka menikah, kalian jangan lupa datang, yaa …"

Alni langsung menatap Riri dengan perasaan galau. Pupus sudah harapannya mendambakan pendamping hidup seperti Malik. Riri yang merasa ditatap langsung menjawab perkataan Nayla.

"Siip, Nay. Jangan khawatir, pokoknya Aku dan Alni akan berada di meja pendaftaran tamu undangan. Iya kan, Al?"

Alni mengangguk lesu. "Iya …."

"Ayo, kita makan sampai kenyang! Tuh, pesanan kita sudah datang …!' seru Nayla. Ia tidak memperhatikan perubahan wajah Alni kala pelayan datang membawa pesanan makanan mereka.

Alni hanya bisa menangis dalam hati, seiring sebait puisi yang membuatnya semakin jatuh tak berdaya dalam kerapuhan hati.
Quote:


emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower


Ada cinta yang datang, ada pula cinta yang pergi.  Ada harapan yang menunggu bahagia, ada pula harapan yang harus pupus karena kenyataan kadang tidak seindah cita-cita. Semua ini hanyalah sebagian kecil dari sekelumit kisah yang kadang terjadi di real lifekita, selayaknya bahagiakan diri sendiri dahulu sebelum membahagiakan yang lain. 

:
bukhoriganAvatar border
terbitcomytAvatar border
terbitcomyt dan bukhorigan memberi reputasi
32
6.2K
585
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.