lonelylontong
TS
lonelylontong
Bernoda Dosa, Tersayat Putus Cinta Sejati.
Hanya tinggal dua orang di ruangan itu. Satu ruangan yang penuh dengan komputer, komponen, dan kabel yang berserakan. Suara dengung kipas-kipas kecil yang terpasang di tiap komputer, jadi latar belakang yang monoton. Dua buah pendingin ruangan berkapasitas besar, ikut berdesis perlahan mengiringinya. Sesekali suara tombol mouse ditekan dan ketukan jari di keyboard menambahkan variasi irama.

"San, aku balik dulu ya. Lo masih mau lembur?" sapa teman kantor yang seruangan dengan Sandi. Sandi menegakkan kepalanya, melepaskan matanya dari layar komputer.

"Yoi, Boss .... Lo duluan aja deh.

Aku masih banyak kerjaan nih," jawab Sandi sambil meregangkan punggungnya. Punggungnya terasa kaku karena membungkuk di depan layar terlalu lama.

"Lembur melulu, tua di kantor ntar lo, San. Lagi weekend pun lo masih lembur juga. Yakin nih ga mau ikutan ke acaranya Rio?

Mo nitip makan? Sebelum ke acaranya Rio, aku rencana mo ke mie ayam yang biasanya itu tuh."

"Siiplah, aku nitip seporsi, yang kayak biasanya. Level setan, pangsitnya lima," tambah Sandi, berseru ke arah kawannya yang berjalan keluar.

"Gantungin aja di pintu kamar," tambah Sandi setengah berteriak. Teman sekantornya itu tidak membalikkan badan, hanya melambaikan tangan sambil mengacung jempol.

Ruangan itu pun kembali menjadi sepi.

Tak lama kemudian seperti puluhan malam sebelumnya, Sandi duduk sendiri di ruangan kerjanya, hanya ditemani beberapa komputer server yang memang tidak pernah berhenti bekerja. Ruangan lain di kantor itu, sudah lama lampunya padam. Di satu lantai gedung itu, hanya ruangan Sandi dan temannya saja yang lampunya masih menyala.

Jari-jari Sandi semakin berat untuk mengetik.

Kesunyian itu seperti seekor kobra, menancapkan taringnya yang panjang dan tajam, sampai menusuk ke relung hatinya yang terdalam.

Di rongga dadanya terasa kehampaan. Begitu pekat, begitu padatnya sampai dia merasa bisa menyentuh kekosongan itu dengan ujung jarinya. Jika lubang hitam itu ada karena matinya sebuah bintang. Maka dalam dada Sandi, tentu ada sebuah bintang yang hilang.

Seperti padang kosong tanpa kehidupan.

Sebuah tata surya yang kehilangan mataharinya. Kehilangan sumber kehangatan dan kehidupannya.

Sandi menepuk-nepuk pipinya kuat-kuat. Berusaha mengusir pergi pikiran-pikiran yang gelap itu. Mereka seperti jari-jari iblis yang menarik-nariknya ke tubir jurang kegelapan.

Gedung yang kosong itu, membuat dia merasa sebentar lagi dia akan jatuh masuk dalam mimpi buruk. Mimpi ketika ada yang harus dia temukan, tetapi dia tidak tahu ke mana harus mencari. Ketika miliknya yang berharga akan lepas dari genggamannya, seerat apapun dia meggenggamnya.

Layar ponsel Sandi tiba-tiba menyala, menunjukkan ada pesan baru yang masuk untuknya.

Diam-diam, jauh di lubuk hatinya, Sandi bersyukur ada sesuatu yang bisa menggugah dia dari lamunannya.

"San, kamu nggak dateng ke acaranya Rio? Napa sih koq lama ga pernah kumpul-kumpul? Ngga kangen ama aq?" Sandi membaca pesan pendek yang baru masuk itu. Sebuah sticker yang imut tersemat di bawahnya.

"Nita ...," gumam Sandi. Gadis itu yang pertama kali memperkenalkan dia pada istilah Friend With Benefit. Diam-diam dia menghela nafas, tiba-tiba merasa lelah dengan kehidupannya. Padahal biasanya menerima pesan dari Nita akan membuat jantungnya berdebar-debar senang.

Namun, sekarang tidak lagi.

Belum sempat Sandi merespon apapun, Nita mengirimkan sebuah foto. Di foto itu, terlihat Nita dengan kerlingan mata nakal. T-shirtnya terangkat sampai ke atas menutupi setengah wajahnya, memamerkan dadanya yang membusung tanpa bra. Sebuah pesan pendek tertulis di bawah putingnya, "We're waiting for you, honey."

Bohong kalau Sandi mengatakan nafsunya tidak terpancing melihat dua bulatan yang menonjol itu. Dia bahkan bisa membayangkan kelembutan dan baunya yang khas, saat dia membenamkan wajahnya di sana.

Namun foto itu juga mengingatkan Sandi pada malam itu. Malam saat terakhir kali mereka melakukannya. Malam yang jadi titik balik bagi dirinya.

********

Gbr diambil dr Unsplash.com

Udara di kamar hotel yang hanya diterangi lampu yang temaram itu, terasa pengap dan panas. Meskipun pendingin ruangan sudah dipasang pada suhu terendah. Bau yang khas melayang-layang di udara. Kulit Sandi terasa lengket dengan keringat. Di sampingnya seorang perempuan dengan kulit putih dan garis-garis wajah eksotik, tertidur pulas tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Bulu mata yang panjang dan lentik, menghiasi matanya yang terpejam erat.

Kedua buah dadanya yang menonjol terlihat naik-turun seiring nafasnya yang lembut dan teratur. Lampu kamar yang temaram, membentuk siluet yang menegaskan lekuk tubuh yang indah. Keringat yang membasahi putingnya, berkilau seperti embun pagi di kelopak bunga.

Sebagai laki-laki normal yang masih muda, nafsu Sandi mulai naik kembali. Tangannya sudah bergerak ke arah lekukan tubuh yang mengundang itu, ketika dia melihat setetes air mata tiba-tiba mengalir di pipi Nita.

Tangannya terhenti, tiba-tiba sebuah perasaan bersalah menyelusup masuk ke dalam hatinya. Di hadapannya bukan cuma seonggok tubuh dan nafsu. Di hadapannya itu adalah seorang manusia dengan segala perasaannya. Perlahan tangan Sandi bergerak, membelai rambut Nita dengan lembut. Perasaannya berkecamuk tak menentu.

"Mungkin sudah saatnya aku mengajak Nita untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius." Ide itu perlahan-lahan terbentuk dalam benak Sandi.

Namun hatinya tiba-tiba menjadi dingin. Kepalanya serasa diguyur air es. Hembusan angin dari pendingin ruangan yang menyapu tubuhnya, membuat bulu kuduk di sekujur tubuhnya berdiri. Dia mendengar Nita berbisik teriring isak tangis, memanggil nama laki-laki lain, "Rio ...."

*********

Sejak malam itu, Sandi menjauhkan diri dari kelompoknya. Setiap kali dia melihat Rio, muncul keinginan dalam hatinya untuk menonjok wajah yang tampan itu. Namun siapa dia? Bukankah dia sendiri ikut menikmati tubuh Nita tanpa pernah mau bertanggung jawab?

Di lain pihak, tiap kali dia melihat Nita, maka hatinya akan dipenuhi perasaan bersalah, meskipun semua yang terjadi bukan terjadi atas dasar paksaan.

Lagi-lagi terdengar nada notifikasi, pesan lain dari Nita masuk ke ponselnya. Dengan hati serasa sesak, seakan tenggelam dalam lumpur yang membuatnya susah bernafas, Sandi membaca pesan itu.

"San ... kok kamu sekarang menjauhi aku? Sudah dapat yang baru? Habis manis sepah dibuang? Kalian semua sama saja!" Demikian bunyi pesan itu. Disusul dengan pesan-pesan berikutnya yang lebih panjang dan membuat Sandi semakin merasa bersalah.

"Glotak!" Suara HP Sandi yang dilemparkan ke atas meja.

Pemuda itu memegangi dahinya yang berdenyut-denyut kencang. Jantungnya berdebar-debar, seperti ada seekor gajah yang berlari-lari di dalam dadanya. Sandi merasa seperti seekor kelinci yang sedang diintai elang. Seekor hewan buruan yang membeku ketakutan, di bawah intaian senapan pemburu berdarah dingin.

Perasaan yang kuat mencengkeram hatinya. Sandi merasa dia sedang berada pada titik terpenting dalam hidupnya. Haruskah dia meresmikan hubungannya dengan Nita? Seorang gadis yang cantik, penuh gairah, berasal dari keluarga yang berkecukupan, punya pendidikan tinggi, dan segudang alasan lain yang mestinya membuat dia menerima gadis itu tanpa ragu-ragu lagi.

Mestinya begitu ..., tetapi ....

Dalam hati gadis itu ada pria lain.

Tiba-tiba sebuah ingatan dari masa lalu, mengetuk batin Sandi yang sedang pepat. Sebuah nama terlompat keluar dari bibirnya, "Chiyo ...."

********

"Hahaha ... lha salah siapa sih? Kan bukan salahku kalau kamu kena semprot Bu Siska," ujar Sandi tak bisa menahan tawa. Saat itu Sandi masih mengenakan baju putih dan celana panjang abu-abu. Wajahnya masih setampan sekarang, hanya tubuhnya dulu lebih langsing dengan otot-otot yang tidak terlatih.

"Yaa ... yang bikin aku rame kan kamu San, kenapa yang kena tegur ama Bu Siska cuman aku?" keluh seorang gadis dengan suara manja dan renyah. Rambutnya yang panjangnya sampai ke bahu, dibiarkan saja terurai tanpa pita. Kulitnya putih bersih, bibirnya sudah berwarna kemerahan meski tak dipulas lipstik. Pipi dan dagunya melekuk lembut keibuan.

Saat Sandi bersamanya, dia selalu tertawa riang. Hatinya berbunga-bunga tanpa sebab, hanya cukup dengan berada di dekatnya. Keduanya masih polos dalam hal hubungan pria dan wanita, meskipun di usia itu, samar-samar mereka sudah merasakan apa itu namanya cinta. Tak terpikir untuk saling bersentuhan atau berpelukan, apalagi berciuman. Mereka berdua sudah merasa bahagia hanya dengan berada dekat dan bercanda bersama.

********

"Chiyo ...," bisik Sandi dalam kesunyian kantornya.

Tangannya perlahan bergerak, mengetik nama asli Chiyo di salah satu mesin pencarian. Dulu sekali, saat dia masih kuliah dan mereka terpisah karena pilihan pendidikan, dia pernah mencari-cari Chiyo tapi tak pernah menemukannya. Maklum, saat itu, internet hanya bayi yang baru lahir.

Sekarang dia ingin mencarinya sekali lagi. Hatinya yang tandus menjeritkan kerinduan.

"Chiyo!" Nama itu bergema bertalu-talu dalam tiap deburan jantungnya.

********

"San ..., jadi kau melanjutkan kuliah ke mana?" tanya gadis bermata jeli itu. Matanya membulat, seperti mata tokoh rusa kecil bernama Bambi dalam film buatan Disney.

"Hmm ... entahlah. Aku coba ikut UMPTN, kalau gagal, mungkin aku cari kerja sambilan dulu sambil menunggu UMPTN tahun depan," jawab Sandi sedikit kaku.

Lucu, saat dia mulai paham terhadap perasaannya sendiri, Sandi justru menjadi kaku dan dingin saat bersama gadis itu. Lidahnya terasa kelu, setiap kali dia hendak melontarkan kata cinta. Saat mereka tidak bersama, hatinya dihantui rindu. Saat mereka bersama, hatinya dirundung rasa malu. Gadis itu dari keluarga yang berada, sementara dia dari keluarga yang tak punya. Dulu baginya gadis itu hanya teman dan latar belakang keluarga mereka, bukan suatu masalah.

Sekarang, sejak hatinya mengatakan cinta, semua jadi tak sama.

Gadis itu menatap pemuda di hadapannya. Bibirnya kelu dan otaknya kusut, tak tahu harus berkata apa. Dahulu rasanya begitu banyak yang bisa mereka bicarakan. Dari mata pelajaran, sampai hal yang paling konyol sekalipun jadi bahan pembicaraan mereka berdua. Warna sepatu Pak Koes yang sudah pudar, suara Bu Rianti yang melengking tinggi, dan juga cita-cita mereka di kemudian hari. Mereka berbagi tentang hampir semua hal dari kehidupan mereka.

Sekarang, sejak hatinya mengatakan cinta, semua jadi tak sama.

"San ... apakah kamu merasakan perasaan yang sama? Mengapa sekarang sikapmu menjadi dingin padaku?" bisik gadis itu dalam hatinya, tanpa suara.

*******

Di luar dugaan Sandi, pencariannya membuahkan hasil. Sandi membaca nama di bawah foto itu berkali-kali, serunya dalam hati, "Benar! Ini nama asli Chiyo."

Bayangan gelap yang menghantui dirinya, seketika itu juga tertiup pergi. Senyum lebar merekah di wajahnya. Hatinya yang sudah lama tandus, berbunga-bunga kembali. Bisiknya bahagia, "Chiyo ... aku menemukanmu."

Namun sesaat kemudian, sebelum senyumnya merekah penuh, senyuman itu membeku.

"My dear friends and families,

Dia melamarku tadi pagi. Tanggalnya memang belum pasti. Semua serba mendadak. Begitu beres semua urusan, aku pasti kirimkan undangan untuk kalian.

Datang yaa ...." Mata Sandi menatap storyterbaru dari cintanya yang pertama dan satu-satunya itu. Terbayang suara Chiyo yang renyah dan manja, seakan-akan membaca pesan itu langsung di depannya.

Tangan dan jarinya bergetar, saat dia berusaha secepat mungkin menutup laman itu, kemudian berhenti mencoba dan pasrah. Satu demi satu, dia justru menyusuri kisah demi kisah yang terekam di akun gadis itu. Dari posting pertama sampai beberapa bulan yang lalu, tak ada kisah cinta, hanya persahabatan dan petualangan.

"Apakah dia menungguku ...?" Sebuah pertanyaan menggelayut dalam benaknya.

"Heh! Tidak mungkin," jawabnya pada dirinya sendiri, sambil mendengus mengejek.

Jarinya tiba-tiba berhenti menekan panah ke posting berikutnya. Sebuah foto pantai berpasir putih yang sepi dan sebuah teks besar, "Di mana kamu sekarang?"

Tidak ada keterangan lain, tetapi Sandi merasa pertanyaan itu menodong dirinya. Matanya melihat ke arah tanggal foto itu dikirimkan. Sekali lagi jauh di dalam dadanya, terasa seperti ditusuk belati. Foto itu diunggah enam bulan yang lalu. Saat dia masih mabuk kepayang dalam pelukan Nita.

Ditekannya tombol mouse sekali lagi, yang mengantarnya pada foto terbaru di akun itu.

Laki-laki itu pun terdiam dengan hati yang hancur berkeping-keping, memandangi foto sepasang kekasih yang akan segera menikah itu. Gemetaran dia berbisik pada kesunyian malam, "Selamat Chiyo ... selamat ... semoga kamu bahagia bersamanya."

Pandangan matanya kabur oleh air mata yang mengembang, tetapi masih terlihat wajah pria yang akan menikahi cinta sejatinya itu. Seorang pria yang bertubuh tinggi dan tampan. Pria itu tersenyum lembut ke arah kamera. Membuat Sandi merasa semakin rendah diri dan kotor.

"Chiyo .... Mungkin ini yang terbaik. Aku tak pantas untukmu .... Aku hanya laki-laki yang tak bisa menjaga cintaku," bisik Sandi dengan senyum pahit. Tenggorokannya terasa mampat oleh isak yang tertahan, tak ubahnya jalan-jalan tol di Jakarta dengan mobil-mobilnya.

Tidak, dia tidak membenci pria itu, meski dia ingin membeci pria itu dengan segenap hatinya.

Dia lebih benci pada dirinya sendiri. Benci pada ketakutan dan kepengecutannya. Benci pada ketidak setiaan dan kelemahan hatinya.

"Seandainya ... seandainya aku bisa mengubah cerita ini ...," bisiknya dalam keheningan malam. Mendoa pada yang empunya semesta alam, pada yang memegang roda waktu dan menyaksikan drama kehidupan.




Quote:




A poem, 99 roses, by : @chiboluvchiyo
Diubah oleh lonelylontong 27-06-2022 15:13
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
24
5.5K
180
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.