Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
Bukan Pilihan [COC] CLBK



Quote:



 Lampu ruang tamu  sudah padam saat Firly pulang. Terlihat pintu kamar orang tuanya sudah tertutup, pertanda beliau berdua sudah tidur. Hari ini Firly memang harus lembur sampai larut malam.

 Bagi Firly, orang tuanya yang terpenting. Semua kakaknya sudah menikah dan memiliki rumah sendiri, hanya dia, bungsu yang belum menikah. Hal ini bukan tanpa suatu alasan.

 Firly masih enggan untuk membina rumah tangga, meski usianya bisa dikatakan terlambat. Firly lebih memilih merawat dan menjaga orang tuanya, karena  tidak ada lagi yang bisa diandalkan selain dirinya.

 Tanpa sengaja matanya tertumbuk pada amplop  di meja. Firly memungutnya, selembar kertas undangan. Dia membaca baik-baik isi dari undangan itu, dan menghela napas panjang.

 "Undangan reuni SMA," gumamnya, "hebat juga panitianya, bisa mengumpulkan alumni yang sudah tersebar."

 Dia menjatuhkan tubuh ke kursi. Ingatannya melayang ke masa SMA. Sekolahnya  termasuk favorit di kota ini, yang bersekolah di sana umumnya anak-anak orang tajir. Tapi hebatnya, Firly mampu meluluhkan hati salah satu kembang sekolah hingga menjadi kekasihnya. Dia adalah cinta pertama dan terakhir bagi Firly, sampai saat ini.

 Tiga tahun menjalin hubungan, hingga akhirnya terpisah karena kekasihnya kuliah di kota yang sangat jauh. Mereka masih sempat bertahan membina hubungan jarak jauh, tetapi akhirnya keduanya pun menyerah, sepakat mengakhirinya.

 "Ah ... pasti dia sekarang sudah bahagia, menikah, punya anak, menjalani sebuah kehidupan yang baik, sangat berbeda denganku. Mungkin, aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi."

 Helaan nafas panjangnya seolah ingin membuang semua kenangan itu. Kini dia berada di dunia nyata, tempat dia berjuang sendirian sekaligus merawat orang tuanya. Tapi Firly masih bersyukur, dia masih diberi rizki untuk membahagiakan mereka.


-----<<<{MJ}>>>-----



 Restoran tampak ramai, banyak pengunjung bermobil berdatangan. Firly tampak ragu, benarkah ini tempatnya? Dia keluarkan undangan reuni dari tas,  sekedar memastikan, dan ternyata memang benar. Tapi keramaian itu membuatnya tidak nyaman.

 Baru dia sadari, ternyata para pengunjung bermobil itu adalah teman satu angkatan SMA-nya dulu. Firly masih ingat wajah teman-temannya, meskipun dia tidak kenal dekat dengan mereka. Hal itu membuatnya makin ragu memasuki restoran, benarkah ini acara reuni? Ataukah cuma ajang pamer saja?

 "Weh,  lu,  Firly, kan? Ngapain bengong di sini?" 

 Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan. "Lah,  elu, Irfan, kan?"

 Keduanya berjabat tangan dengan akrab. Irfan adalah sahabat dekat Firly semasa SMA.

 "Gimana, kabar lu? Udah punya anak juga?" tanya Irfan.

 "Ya belom, lah, nikah aja belum," tukas Firly.

 "Nunggu apaan? Terlalu matang jadi busuk ntar!" seloroh Irfan sambil tertawa.

 "Kalo lu, gimana?" tanya Firly mengalihkan.

 "Udah  dua anak gue ...  Masuk  yuk, barengan," jawab Irfan sambil berjalan menuju pintu restoran.


 Merasa mendapat teman, akhirnya Firly pun mengikuti Irfan. Mereka ngobrol banyak soal kehidupan masing-masing, karena memang sudah lima belas tahun mereka tidak bertemu. Saat Firly memasuki pintu restoran, pandangannya beradu dengan sepasang mata bulat, berbulu mata lentik. Dan untuk beberapa detik, waktu seakan terhenti …

 Pandangan mata itu masih sama seperti lima belas tahun lalu, penuh kelembutan dan meneduhkan, bahkan wajah itu seperti tidak pernah berubah. Perempuan yang berdiri di hadapannya itu adalah Karin, mantan pacar sekaligus satu-satunya yang terbaik yang pernah dia miliki. Bagaimana mungkin dia bisa menghadiri reuni? Bukankah dia berada di tempat nun jauh di sana?

 "Firly! Apa kabaaar …!" seru Karin heboh.

 "Baik …," Saking gugupnya, Firly hanya menjawab pendek saja. Tanpa sadar dia mengulurkan tangan menyambut jabatan Karin.

 "Kamu nggak pernah berubah ya ... masih sama kayak dulu!"

 "Kamu juga, Rin..."


 Desir aneh merambat di dada Firly, bahkan ketika Karin ditarik oleh temannya menjauh dari situ, Firly masih bergeming mematung. Matanya terus mengikuti sosok Karin sampai tidak kelihatan lagi.

 Rasa yang dulu pernah ada, menyeruak tanpa permisi, mematikan segenap panca indera Firly. Seakan dia bisa mendengar sebuah puisi mengalun di telinganya, hingga merasuk ke otak dan jantungnya.


Quote:


 "Heh, meleng aja mata lu, udah punya anak, tuh!" seru Irfan tiba-tiba.

 "Ya, gue tau lah, kayak nggak pernah berubah gitu, ya ..," gumam Firly.

 "Malah makin matang dan cakep gitu ...," tambah Irfan.


 Keduanya tertawa bareng, seraya berjalan menuju meja  kosong. Firly tidak punya banyak teman dekat, cuma Irfan yang dia tau, juga Karin tentunya.

 Seperti yang dia duga dan dia takutkan, acara reuni itu benar-benar  jadi ajang pamer kekayaan. Sungguh suatu acara unfaedah juga pemborosan besar-besaran, begitu menurut Firly.

 Sepanjang acara reuni berlangsung, pikiran Firly menjelajah tidak karuan, bahkan ocehan Irfan pun tidak masuk ke telinganya. Karin, satu-satunya perempuan yang mengisi hatinya, yang paling mengerti dirinya. Dia masih tetap cantik seperti dulu, bahkan kini lebih memukau. Desiran hangat di dadanya semakin menggelegak dan Firly pun menyadarinya.

 Rasa itu masih ada, tersimpan dengan rapi, jauh di palung hati. Walaupun sudah meredup dan tertimbun berbagai macam urusan dunia, tapi rasa itu masih jelas adanya. Dan pertemuan ini membuat rasa itu kembali berkobar…

 Sesekali Firly mengedarkan pandangan, mencari figur Karin, dia ingin ngobrol banyak dengan Karin. Akan tetapi,  sampai acara reuni itu hampir selesai, dia tidak menemukan Karin lagi. Lalu terbesit sebuah logika…. 

 "Ini salah... sungguh salah! Tidak seharusnya rasa ini tumbuh lagi! Aku harus menguburnya dalam-dalam!" umpat Firly pada diri sendiri.

 Dengan lesu Firly bangkit dari duduk lalu berjalan keluar restoran, bahkan sebelum acara reuni itu benar-benar selesai. Firly menyeberangi jalan depan restoran lalu duduk di trotoar. Semua ini serba mendadak baginya.

 Segala kenangan manis dengan Karin berseliweran tanpa juntrungan di kepalanya. Dia memang sangat menyayangi Karin, tapi keadaanlah yang membuat mereka tak bisa menyatu, meski kalau dipikir, masalahnya sungguh sangat sepele.

 Menit pun berlalu, Firly masih berusaha meredam desiran itu. Dia harus membunuh rasa itu sebelum berkobar lagi semakin besar. Ketika sudah tenang, Firly pun beranjak menuju  parkiran. Saat menaiki jok motornya, suara langkah kaki menghampirinya.

 "Kamu kemana aja sih tadi? Kenapa aku nggak ngelihat kamu?" Karin langsung nyerocos tanpa henti.

 "Lah, bukannya kamu yang menghilang?" balas Firly heran.

 "Mana ada, aku cuma duduk aja dari tadi... dicariin kok malah nggak ada!"

 "Ya udah, sekarang sudah ketemu kan...? Trus, apa?" tanya Firly.

 "Aku pengen ngobrol banyak sama kamu... tapi saat ini aku nggak punya waktu. Jadi lain waktu aja, siniin nomor hp mu."

 Firly mengeluarkan ponselnya dan mereka pun bertukar nomor hp.  Tiba-tiba saja Karin menggenggam tangan Firly.

 "Kangen sama kamu…"

 Desiran itu menyentak kembali, menghancurkan semua logika yang dia bangun tadi, bahkan tangan Firly pun ikut tergetar. Tapi Firly bisa merasakan kalau genggaman tangan Karin juga bergetar.

 "Aku... aku juga…" jawab Firly tanpa sadar.

 Senyum manis merekah di bibir Karin, bahkan setelah memiliki anak, pesona Karin tidak pernah memudar di mata Firly.

 "Tapi aku harus pergi sekarang, kapan-kapan kita atur pertemuan lagi. Aku masih dua bulan lagi disini." ujar Karin.

 "Gimana ceritanya kamu ada disini..?" tanya Firly dengan bodohnya.

 "Nanti saja kuceritakan semua, aku harus pergi sekarang..." pamit Karin tanpa jeda.


 Dua genggaman bergetar itu terlepas, Karin beranjak pergi, diiringi pandangan mata campur aduk dari Firly. Bahkan saat Karin sudah masuk ke mobil, Firly masih mematung, badai berkecamuk di otaknya. Entah apa yang harus dia lakukan. Tapi saat ini, dia harus pulang, kedua orang tuanya menanti di rumah….


-----<<<{MJ}>>>-----



 Alunan musik terdengar lembut di telinga, suasana kafe tidak begitu ramai, sangat cocok untuk ngobrol. Dua anak manusia duduk berhadapan, dua pasang tangan saling menggenggam, dua pasang mata saling memandang.

 Akhirnya sepasang kekasih di masa lalu itu bertemu juga dalam satu meja. Firly memenuhi undangan Karin untuk datang ke kafe itu. Sudah lima menit mereka saling pandang dan berpegangan tangan tanpa bicara, menumpahkan semua rasa yang selama lima belas tahun terpendam.

 "Jadi, gimana ceritamu? Apa kamu baik-baik saja selama ini? Sudah punya penggantiku?" Karin memecah kebisuan, pandangannya lembut penuh pancaran rasa.

 "Ya beginilah... bisa dikatakan baik-baik saja. Soal pasangan, sampai sekarang belum ada," Jawab Firly.

 "Kok, gitu...?"

 "Yaah... memang begini, aku kayak enggan mencari. Selain itu, orang tuaku..." Firly menghela nafas panjang.

 "Kenapa dengan orang tuamu? Mereka sehat saja, kan...?"


 Firly pun mulai menceritakan secara singkat tentang orang tuanya. Dia belum pernah bercerita pada seseorang, hingga sekarang ini. Ketika selesai bercerita, mereka terdiam selama beberapa menit. Seorang pramusaji datang menghampiri, dan pembicaraan pun terhenti untuk memesan makanan pesan.

 "Ya bener sih, kewajiban anak memang harus merawat orang tua, tapi kan, kamu punya kehidupan sendiri?" debat  Karin.

 "Ceritaku terlalu membosankan, gantian kamu aja yang cerita…" sela Firly, membelokkan pembahasan tentangnya.

 "Kamu bener-bener sama sekali nggak berubah ya." Karin tersenyum manis.

 "Jadi, berapa anakmu sekarang?"

 "Satu, aku nggak mau punya anak lagi.." jawab Karin.

 "Kenapa…?"

 "Lebih baik kuceritakan dari awal saja…" kata Karin sambil menarik napas panjang. "Setelah putus denganmu dulu itu, aku kuliah di kota lain. Selama kuliah, aku terus berusaha datang kesini untuk menemuimu, tapi selalu saja ada halangan. Belum lagi jarak yang jadi masalah, aku harus pergi minimal satu dua minggu..."

 "Maaf kalau aku nggak bisa menyusulmu…," sela Firly.

 "Tidak apa-apa, aku paham keadaanmu," hibur Karin sambil tersenyum, "setelah lulus kuliah, aku menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai..."

 "Lalu, kenapa kamu mau menikah dengannya?" potong Firly.

 "Orang tuaku. Aku cuma ingin membahagiakan mereka, membuatku menikah atas pilihan mereka...."


 Cerita dari Karin selanjutnya sudah tidak masuk ke telinga Firly. Gerakan bibir tipis merah itu, kini jadi pusat perhatiannya, ditambah kerlingan mata bulat berbulu mata lentik itu, segalanya tampak indah di mata Firly,  dia semakin yakin, rasa itu tetap utuh buat Karin, dan kini rasa itu makin tak terkendali.

 Firly terbangun dari lamunan indahnya saat pramusaji datang membawa pesanan, dan sambil makan, mereka pun ngobrol hal-hal ringan. Senyum dan tawanya tak pernah berubah, meskipun yang dia alami sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan Firly. Kemudian seorang pramusaji membawakan dua botol wine.

 "Kenapa harus pake ini?" tanya Firly.

 "Sekali-kali, buat penghangat saja, temenin ya..?" pinta Karin.

 Genggaman tangannya, juga tatapan lembutnya, jelas suatu hal yang tak pernah bisa Firly tolak, bahkan  setelah lima belas tahun berlalu.

 "Kamu tau, sejak kita pisah dulu, aku sudah memutuskan akan menjaga rasa ini untukmu, bahkan sampai sekarang rasa itu tetap utuh, karena aku sadar, kalau hati dan jiwaku adalah milikmu…" kata Karin.

 "Aku juga sama, meskipun rasa itu sempat meredup dan tertimbun, tapi setelah pertemuan kita kemarin, cinta itu tumbuh dan berkembang lagi, bahkan jauh lebih besar dari yang dulu. Taukah kamu... selama ini cuma kamu,  perempuan yang punya tempat khusus di hatiku..," jujur Firly, "Apakah ini yang dinamakan CLBK?"

 Karin tertawa renyah. "Kita bukan anak abg lagi."


 Obrolan berlanjut, satu botol wine telah habis, berlanjut gelas demi gelas dari botol berikutnya. Wajah Karin sudah memerah, matanya sudah meredup, bicaranya mulai ngelantur, mengoceh soal semua permasalahan rumah tangga. Padahal pengunjung kafe sudah mulai ramai. Firly tau, sudah saatnya untuk pulang.

 "Balik, yuk, Rin, kamu sudah nggak kuat itu..."

 Karin menggeleng. "Enggak, aku masih mau disini!"

 "Sudah malam, sudah kebanyakan wine kamu..."


 Setengah memaksa, Firly bangkit dan mendukung Karin meninggalkan meja itu. Dalam keadaan seperti itu Karin tidak mungkin bisa menyetir, jadi Firly, yang harus mengantar ke hotelnya. Setelah menitipkan  motor pada tukang parkir, Firly pun memegang kemudi mobilnya Karin. Sedangkan Karin sudah tergolek setengah sadar di sebelahnya.

 Sampai di hotel tempat Karin menginap, Firly masih harus mendukung sampai ke kamarnya. Direbahkannya tubuh Karin dan diselimutinya. Untuk beberapa menit,  Firly masih memandangi wajah ayu yang terpejam itu, rasa cintanya tumbuh kembali dengan dahsyat. Tapi dia harus pulang sekarang. Saat dia berbalik hendak pergi, satu tangan menahannya.

 "Tinggal dulu lah disini, malam ini..." pinta Karin.

 "Aku nggak bisa, aku harus pulang sekarang.." tukas  Firly.

 "Tolonglah, sebentar saja, temani aku..."


 Sekali lagi, tatapan lembut itu tak kuasa Firly tolak.  Mendadak Karin menarik tangan Firly hingga dia jatuh rebah di atas Karin, tau-tau saja bibir mereka bertemu. Lalu,  semuanya lenyap….

 Segala macam logika, norma susila dan rasa berdosa sudah hanyut ditelan dalamnya rasa cinta. Mereka bagai berdansa diiringi lagu-lagu cinta. Meniti tangga menuju puncak, berlari diantara awan, melayang di awang-awang, lalu jatuh terkapar bersimbah peluh.

 Tapi itu belum cukup,  dan petualangan ke angkasa itu terjadi lagi, lagi dan lagi. Seakan semua rasa cinta yang sudah lima belas tahun terkubur, kini meronta buas.. Bagaikan bendungan yang jebol mengirimkan banjir bandang gelora asmara. Bagai topan badai yang melibas segala norma, melabrak logika….

 Saat semua selesai, Firly terlentang menatap langit-langit kamar. Karin masih rebah di dadanya. Semua akal sehat dan logikanya kembali lagi, Firly merasa sangat berdosa. Bahkan sampai dini hari dia tak bisa memejamkan mata.

 "Kamu menyesal...?" suara Karin memecah keheningan dengan tiba-tiba.

 "Tidak…," jawab Firly.

 "Lalu, kenapa? Ada yang dipikirkan?"

 "Kamu tau, aku sayang sama kamu, bahkan jika kau minta, maka semua yang ada padaku akan kuberikan... Dan Meskipun aku juga sangat  menginginkan ini, tapi yang kulakukan ini adalah salah... salah besar, aku telah merusakmu…," gusar Firly.

 "Tidak,  Sayang… kamu tidak merusak, karena inilah yang kuinginkan…," jawab Karin.

 "Rin ... kamu perempuan terhormat, dan aku telah..." 

 "Inilah yang kumau.." potong Karin. "Bahkan seharusnya sudah sejak dari dulu kuserahkan padamu!"

 "Tapi keluargamu, kehidupanmu…," gusar Firly, tak henti menyesali.

 "Aku tidak tahu apa yang terjadi nantinya, dan aku tidak peduli. Yang penting sekarang, biarkan aku menikmati momen ini, kebahagian yang sudah dari dulu kuinginkan, kebahagiaan bersamamu!"


 Firly merengkuh Karin erat dalam pelukannya. Kata-kata Karin ada benarnya buat logika Firly yang sedang diamuk badai asmara. Apapun yang terjadi nantinya, yang penting sekarang dia telah menemukan kembali cinta lamanya yang dulu hilang.

 Logika Firly telah terbutakan oleh besarnya rasa sayang pada Karin. Entah untuk keberapa kalinya, mereka meniti lagi tangga demi tangga menuju  puncak bahagia , lalu terbang ke angkasa diantara arakan awan. Hingga pagi menjelang…


-----<<<{MJ}>>>-----



 Firly berdiri di depan gerbang keberangkatan bandara kota. Di depannya berdiri seorang perempuan yang menatapnya dengan berkaca-kaca. Hari ini adalah saat kepulangan Karin, kembali ke kota dimana keluarganya berada. Sudah tiga bulan,  Karin berada satu kota dengan Firly, untuk urusan kerja.

 "Aku nggak ingin pulang…," galau Karin penuh lirihan pilu.

 "Tapi kamu harus! Ada keluarga yang menunggumu!" tegas Firly..

 "Tapi aku maunya disini, sama kamu...." Karin menghambur memeluk Firly dengan erat, isak tangis pun pecah tak tertahankan.

 "Kembalilah, Karin. Kembali pada keluargamu, moga kamu bisa melupakan aku…," bujuk Firly meski sesak sungguh.

 "Demikian mudahnya kamu melupakan aku?" tanya Karin sambil menatap dengan mata yang bulat meski bersimbah air mata.

 "Kamu tau aku selalu sayang sama kamu. Ini juga sangat berat buatku... tapi harus dilakukan, kenyataan memang pahit," jawab Firly.

 "Tidak…!" tegas Karin. "dengar, Firly sayang, apapun yang terjadi, aku akan selalu sayang sama kamu... hati, jiwa dan raga ini sudah menjadi milikmu, aku tidak peduli apapun, yang bisa kulakukan adalah mengalir mengikuti arus, bersama cintamu di hatiku…!"


 Pelukan mereka pun semakin erat. Firly tak bisa berkata apa-apa, pikirannya seakan bertentangan, sungguh suatu pilihan keputusan yang sangat berat. Kebisuan mereka dipecahkan oleh suara  speaker pemberitahuan keberangkatan penerbangan.

 "Aku pergi sekarang,  sayang, jaga dirimu baik-baik, jaga kesehatanmu," pamit Karin.

 "Kamu juga jaga diri baik-baik, kabari aku kalau sudah mendarat nanti," jawab Firly.

 "Nanti aku akan kesini lagi, entah bulan depan atau tahun depan," janji Karin. "Sampai jumpa lagi. Aku sayang sama kamu."

 "Aku juga," jawab Firly pendek.


 Pelukan erat mengiringi perpisahan. Entah kapan mereka bisa bertemu kembali. Dalam keadaan 'waras' seperti ini, logika Firly normal lagi. Ini semua sungguh salah,  dia harus mengakhiri saat itu juga. Firly  terus meyakinkan diri sendiri.

 Dia bukan untukku, bukan jodohku... Meskipun aku sangat ingin memilihnya, tapi dia bukanlah pilihan. Aku harus mengakhiri sampai disini saja. Biarlah semua kepahitan ini kutelan sendiri.... Tidak semua cerita bisa berakhir dengan bahagia...



TAMAT


Diubah oleh Mbahjoyo911 25-06-2022 21:10
elyasputraAvatar border
johny251976Avatar border
SupermanBalapAvatar border
SupermanBalap dan 56 lainnya memberi reputasi
57
9.1K
302
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.