uliyatis
TS
uliyatis
Kutunggu Kau Dalam Penggalan Kisahku [COC] Cinta Lama Bersemi Kembali


pinterest


Pias

Tak bisakah jiwa berteriak, menyuarakan selaksa rasa, berpadu bersama benderangnya cahaya mentari.

Tak bolehkah nurani membentak hari, meniadakan denging yang membelut sukma.

Ragu, bimbang, berkeliaran, liar membelenggu raga. Mengitari jejak yang siap mengikat. Mesti kalbu serasa tersekap, berada dalam dua sisi.

Acap bertanya pada diri, tatkala kegelapan mulai menyapa. Memenuhi segenap napas kehidupan. Akankah mampu meniadakan kerapuhan atau tetap berputar dalam arusnya.

Biarlah nyanyian embun tetap menyapa, membasuh bilur, menjerat hati tuk tetap terjaga.

Raga bukan siapa-siapa, tak akan kekal dalam lingkaran masa. Biarkan saja berada dalam pusaran hingga terlelap di tepian kefanaan. Melebur dan menghilang, tak berbekas



Aku berubah menjadi pribadi yang tak banyak bicara semenjak hubunganku stagnan dengan Alang, lima bulan yang lalu. Rinai yang turun sore ini membuat jiwa kian lara. Aku mencoba memandang hamparan senja dengan mata basah, dari teras dengan harapan bisa mengobati kalbu yang terkoyak. Berharap bunyi titik air petang ini mampu membasuh luka yang tergores. Apa daya, nestapa itu masih tetap ingin bersama.

Penat, aku kemudian melangkah meninggalkan teras. Masuk ke dalam rumah. Tak ingin berlama menahan dingin. Hujan pun turun semakin deras, membasahi rerumputan dan tanaman di halaman.

[May, gimana keadaanmu. Udah mendingan?]

Sebuah chat dari sahabatku Karina terbaca olehku. Enggan sebenarnya bermain media sosial petang ini. Namun, lebih sungkan lagi membuat sahabatku itu menduga hal yang tidak-tidak tentangku.

[Aku nggak apa-apa, Rin. Sudah nggak demam lagi] balasku.

Sebuah emoji senyum, dikirim Karina. Sebagai balasannya aku pun mengirimkan emoji yang sama ditambah dua buah hati berwarna merah.

Aku meletakkan kembali gawai ke tempatnya semula. Seminggu ini, Ayah dan Ibu menginap di rumah paman. Jadi, aku bisa lebih banyak menghabiskan hari sendirian. Lagi pula masa perkuliahan juga masih beberapa minggu lagi.

Detak jarum jam di dinding membuatku mengerling ke sana. Ternyata sudah pukul setengah enam petang. Sebentar lagi magrib. Aku pun memutuskan untuk menuju kamar mandi, mempersiapkan diri menunaikan salat magrib.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk berjalan di sekitar rumah. Semenjak kuliah dan ngekost di kota, aku jadi jarang pulang. Ada saja hal-hal yang berubah.

"May ... May ... kamu May kan?"

Aku menoleh, berpaling menghadap ke pemilik suara. Mataku menyipit mencoba mengingat laki-laki sebaya di hadapanku itu.

"Iya, Kamu siapa yah?"

Bingung. Aku juga tidak mengenal siapa laki-laki itu.

"Masa kamu lupa, May? Aku Trisna, teman masa kecil dulu."

Mataku kian menyipit, menciba menggali ingatan masa bocah dulu.

"Kamu, Tristan yang suka nguber layangan itu, ya kan? Yang kalo nggak bisa dapat layangan putus, lari pulang nangis minta duit buat beli layangan."

Laki-laki itu mengangguk. Kami berdua lalu tertawa, lepas. Trisna kemudian mengajakku ke sebuah kedai makanan, tak jauh letaknya dari tempat kami bertemu tadi.

Berbincang, mengenang kejadian masa kumpul bocah dulu. Semangkuk bakso di hadapan kami ludes tak terasa. Trisna menyeruput segelas es jeruk, penghilang rasa pedas ucapnya. Kebiasaan lamanya menaruh sambal banyak-banyak di kuah bakso ternyata tak hilang.

"Kerjaanmu apa sekarang, Tris?" tanyaku berbasa-basi. Aku pernah mendengar selentingan kalau dia berhasil menjadi juragan di kota.

"Aku buka toko laundry, May. Alhamdulillah, sekarang sudah bisa mencukupi nafkah kami sekeluarga."

Aku mengangguk.Senang saja mendengar keberhasilan Trisna. Pantas saja beberapa gadis di sini selalubmengejar-mengejar dia.

"Kamu masih kuliah, May?" tanyanya perlahan, sangat lirih.

Aku tersenyum. Mengangguk kecil. Tanganku sesekali mempermainkan sedotan, sesekali pula menyeruput teh manis dingin.

"Iya, Tris," balasku.

Dia tersenyum. Aku tak tahu apa arti senyum itu. Beberapa gadis yang lewat di kedai bakso, tampak melemparkan senyum ke arah Tristan. Berusaha menarik perhatiannya.

Aku pura-pura sibuk memperbaiki kerudung biru yang sedikit terlipat ujungnya. Mengatakan pada Tristan kalau sudah saatnya aku pulang. Udara yang mulai panas membuatku terasa gerah.

Tristan tersenyum, lantas mencegahku yang akan berjalan menuju kasir. Dia terlebih dahulu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Siap membayar harga makanan kami.

Kami pun berpisah di depan kedai bakso tempat kami sering makan bersama saat memasuki masa remaja dulu. Saling elambai tangan. Sepertinya dia ingin meminta nomor telephoneku tapi urung. Mungkin dia sungkan.

Sepulang dari berjalan sekitar rumah, kubuka gawai yang tadi sengaja kutinggalkan. Terdapat banyak pesan. Ada dari Ibu, Karina dan hei, ada juga dari Alang. Orang yang memintaku untuk berpisah sementara dengan alasan ingin memenangkan hati kedua orang tuanya. Yah, dia ingin membujuk orang tuanya untuk membatalkan perjodohannya dengan seorang gadis.

[May, maafkan, Aku. Alhamdulillah, akhirnya perjodohan kami dibatalkan. Gadis yang dijodohkan denganku, memilih untuk lari dengan pilihan hatinya.]

Aku bungkam, tak tahu harus menulis apa. Benarkah yang kualami ini? Apa ini ilusi? Berkali-kali aku mencubit lengan, ingin memastikan kalau bukan sedang bermimpi. Ternyata terasa sakit. Berarti ini bukan mimpi.

[May, kata Karina Kamu sakit. Benarkah?] kembali pesan Alang tertera di gawai.

[Aku sudah nggak apa-apa, Lang. Tinggal pemulihan saja] balasku akhirnya.

AKu menduga, sepertinya Alang selalu bertanya pada Karina tentang keadaanku. Berarti selama 5 bulan ini dia tak pernah sedikit pun melupakanku. Ah, ternyata, cintanya tak pernah mati untukku.

Alang pun berjanji akan segera menyusulku ke kampung. Meski suasana pedesaan masih terasa kental tapi kehidupan perekonomian di kampungku sudah maju. Teknologi pun sudah banyak dipakai. Rata-rata mereka sudah memiliki smartphone.

[May, tunggu Aku ya. Aku akan ke tempatmu] pesannya lagi.

Aku semakin termangu. Tak mampu bergerak. Jemariku gemetar saat mengetik beberapa pesan setelahnya. Kembali seperti bermimpi. Sungguh besar Allah, karena di saat sedang hopeless, ternyata Allah tetap dekat dan memberikan jalan keluar terbaik.

Dua hari semenjak pesan Alang terakhir, akhirnya dia benar- benar datang ke kampungku. Saat ini aku sedang duduk di teras menikmati udara pagi. Sebuah motor matik tiba-tiba berhenti, pengendaranya melepas helm selanjutnya melempar senyum. Aku terperangah, benar-benar tidak menyangka kalau bisa bertemu Alang kembali.

Perlahan dia melangkah menuju tempatku duduk. Senyum masih mengembang di bibirnya. Tubuhnya terlihat lebih kurus.

"Kamu agak kurusan, Lang," ucapku miris.

"Iya, mikirin Kamu terus," candanya.

Aku tersenyum kecut mendengar jawabannya. Masih Alang yang sama ternyata. Masih suka bercanda walau terkadang ada masalah yang dihadapi.

Ketika sedang berbincang serius dengan Alang, di seberang terlihat sosok Tristan, memperhatikan kami. Jarak yang tidak terlalu jauh bisa membuatku memperhatikan ekspresinya yang tak kuduga. Sepertinya ada guratan kekecewaan di sana.

'Maafkan aku, Tris', batinku. Bukannya aku tak tahu perhatian yang ditujukannya padaku, tapi, rasa cintaku yang dalam pada Alang, menghalanginya.

Perlahan aku melihat kepergian Tristan. Mungkin dia harus rela melepaskan impiannya untuk dekat denganku bukan sebagai seorang teman. Ya, teman dan bukan seorang yang spesial.

Hubunganku dengan Alang pun seperti mendapat ridho dari Allah. Tetap berlanjut meski awalnya sudah pasrah harus berakhir.

Jalan hidup memang acap tak bisa diduga. Hanya kedekatan pada-Nya sajalah yang bisa menguatkan langkah di kala tersandung ujian atau pun di saat mengecap bahagia.


TAMAT


PIAS
Diubah oleh uliyatis 24-06-2022 00:02
black.03darmawati040muyasy
muyasy dan 16 lainnya memberi reputasi
17
1.8K
33
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.