mikanseina03
TS
mikanseina03
Siti Si Anak Pelangi


Sumber gambar : karya sendiri menggambar di ibis paint

"Siti…!"


Gadis berusia sekitar enam tahun itu berlari keluar rumah. Ia mengenakan kemeja putih dengan bawahan berwarna merah. Baru pertama kali ini baju itu menempel pada kulit tubuhnya yang mungil. Ia sangat senang. Ia begitu gembira sampai tidak menghiraukan panggilan Ibunya yang ada di dalam rumah.


"Siti…!" Bu Sumiya, ibu Siti mengulangi panggilannya pada anaknya dengan intonasi suara yang sedikit lebih keras dari yang tadi.


Siti sama sekali tidak menoleh ke belakang. Ia terus saja berlari menjauh dari rumah dengan langkahnya yang kecil.


"Siti…!" Untuk ke tiga kalinya Bu Sumiya memanggil. Bu Sumiya berjalan ke teras rumah untuk mendapati anaknya.


Bu Sumiya melihat anaknya semakin jauh dari rumah. Ia berlari kecil untuk menghampiri anaknya.


"Siti…!"


Kali ini Siti menoleh ke belakang. Terlihat ibunya dengan kulit keriput di wajahnya berjalan menghampirinya dengan napas yang terengah-engah.


"Siti mau sekolah Mak…"


"Siti izin gak nyapu dulu ya hari ini…" Merasa ketahuan, Siti segera angkat bicara sebelum ditanya. Sedari kecil Siti selalu diajarkan untuk mandiri.


Dengan napas yang masih terengah - engah Bu Sumiya menanggapi omongan gadis kecilnya,


"Kamu mau ke mana?"


"Sekolah," jawab Siti dengan senang sambil memegangi bajunya.


"Kamu baru umur enam tahun"


"Kalau masuk sekolah itu harus tujuh tahun," ucap Bu Sumiya memberi penjelasan


Nyali Siti menjadi menciut. Ia tidak semangat lagi setelah mendengar penjelasan ibunya. Senyumnya yang mengembang menjadi hilang.


"Kamu dapat baju itu dari mana?" tanya Bu Sumiya


"Dari Abang." Detik kemudian senyumnya kembali merekah. Ia menjawab dengan antusias. Berharap ia bisa berangkat sekolah hari ini.


"Sama Bang Adi dikasihkan ke Siti"


Bu Sumiya tertawa kecil. Saat ia menyadari Siti mengenakan seragam sekolah dengan bawahan berupa celana pendek selutut.


"Kamu salah kostum…"


Salah kostum? Batin Siti.


"Kalo perempuan ya nggak pake celana…"


"Perempuan itu pake rok…" ucap Bu Sumiya sambil menahan tawa.


Siti diam saja mencerna perkataan Bu Sumiya. Ia menatap ibunya yang sedang tertawa.


"Katanya… seragam itu sejenis dan semuanya sama… tapi, kenapa ada dua macam Mak…?"


"Namanya bukan seragam dong…."


"Tapi, dua gram…"


"Eh, salah dua ragam maksudnya…" ucap Siti sambil menunjukkan deretan giginya yang kecil hitam penuh lubang.


Bu Sumiya makin tertawa. Sedangkan Siti diam mematung, melihat ibunya dengan heran.


"Ya bukan begitu maksudnya…" ucap Bu Sumiya


Siti mengerutkan kening. Terus gimana? Batin Siti. Ibu yang melihat Siti seperti sedang menunggu jawabannya segera mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. Karena ia sendiri tidak tahu harus bagaimana harus menjelaskannya pada Siti. Karena sekali dijelaskan akan menjadi kereta yang amat panjang karena pertanyaan Siti yang tiada henti.


"Kamu tahu seperti itu dari mana?"


"Dari siapa?"


"Siapa yang menjelaskan seperti itu?"


"Bang Adi," jawab Siti dengan singkat.


Seketika Bu Sumiya ingat dengan anak sulungnya. Ia pergi dengan langkah cepat menuju rumah. Apakah dia tidak pergi sekolah? Apakah dia membolos lagi? Pikir Bu Sumiya. Siti membuntuti ibunya. Mengikuti langkah kakinya untuk menemui Bang Adi.


"Adi…!"


"Adi…!" Bu Sumiya memanggil - manggil anaknya. Mencarinya di setiap sudut rumah.


"Adi ke mana Pak?" tanya Bu Sumiya pada suaminya.


"Adi tak suruh merumput Buk…" jawab Pak Bagus.


Bu Sumiya menghela napas.


"Ya Allah Gusti… anak yang seharusnya pergi sekolah kok disuruh merumput tho Pak…."


"Adi sendiri yang gak mau pergi sekolah…"


"Dia bilang sudah gak mau sekolah…"


"Dia ingin berhenti sekolah…"


Bu Sumiya kembali menghela napas. Sedangkan, Siti hanya menyimak percakapan ke dua orang tuanya. Bang Adi gak mau sekolah? Kenapa? Itulah yang terlintas di pikirannya. Padahal dirinya sendiri ingin sekali bersekolah tapi kenapa Bang Adi tidak.


Matahari semakin meninggi. Adi sudah pulang dari ladang. Bu Sumiya menghampiri Adi yang duduk di kursi teras rumah.


"Mau ke mana Mak…?" tanya Adi yang melihat Bu Sumiya berpakaian rapi.


"Adi… kamu ikut emak ya…!"


"Ayoo…" Bu Sumiya menarik lengan putranya.


"Mak… Mak… kita mau ke mana Mak…?" 


"Udah kamu ikut aja…"


"Tapi… Adi belum ganti baju Mak…"


Bu Sumiya mengeluarkan sesuatu dari tas yang dibawanya.


"Pakai ini!" ucap Bu Sumiya sambil meletakkan selembar kain putih di tangan Adi. Adi terbengong melihat itu.


"Seragam?"


Bu Sumiya mengangguk.


"Cepat ganti bajumu sana…" Bu Sumiya menyuruh putranya untuk mengganti pakaiannya di balik pohon.


Adi hanya diam menunduk. Ia tahu pasti bahwa ia akan pergi ke sekolah bersama ibunya. Entah apa yang akan dikatakan ibunya nanti di sekolah.


"Tapi Mak…"


"Hmmm???"


"Adi…"


"Adi…"


"Adi mau berhenti sekolah…"


"Adi mau bantu bapak saja di rumah…" ucap Adi terbata - bata


Bu Sumiya menghela napas.


"Itu sama sekali tidak membantu bapak dan emak Adi…"


"Bayangkan, bapak sudah membiayaimu untuk bisa bersekolah…"


"Tapi… kamu malah berhenti di tengah jalan…"


"Bahkan… emak rela menunda sekolah adikmu selama dua tahun untuk menyelesaikan pendidikanmu Adi…"


"Kurang setengah tahun sudah kamu selesai sekolah dan lulus… tapi kenapa ingin berhenti?"


Adi hanya terdiam. Di kejauhan tanpa mereka ketahui, ada Siti yang sedang menguping pembicaraan mereka. Siti tidak begitu mengerti arti percakapan mereka. Yang Siti tahu hanya satu. Ibunya menunda sekolahnya sampai dua tahun. Itu berarti umurnya sekarang bukanlah enam tahun, melainkan delapan tahun.


***


Setiba di sekolah. Bu Sumiya memohon maaf atas kesalahan putranya yang sering membolos. Di ruangan kantor sekolah yang bersih. Terdapat wali kelas, Bu Sumiya, Adi dan juga Siti. Siti yang sedari tadi bersembunyi akhirnya ketahuan Ibunya. Dan Bu Sumiya terpaksa mengajaknya ikut serta ke sekolah. Karena tak mungkin Bu Sumiya menyuruhnya kembali ke rumah sendirian. Melakukan hal itu hanya akan membuat diri Bu Sumiya khawatir. Di sepanjang perjalanan Siti begitu senang setelah tahu ia akan pergi ke sekolah. Di sekolah pun kini ia tidak berhenti - henti keluar masuk kantor untuk melihat suasana sekolah sekitar.


"Namamu siapa anak manis?" ucap Bu guru pada Siti saking gemasnya.


"Siti," ucap Siti menunjukkan deretan giginya yang berlubang.


"Siti gak sekolah…?" Saking gemasnya Bu guru melontarkan pertanyaan asal - asalan pada Siti.


Bukan Siti yang menjawab tapi malah ibunya.


"Iya Bu, Siti masih berumur…"


"Delapan tahun," sahut Siti. Ia kembali memperlihatkan deretan giginya.


Bu Sumiya kaget mendengar pernyataan putrinya. Bagaimana dia bisa tahu tentang umurnya yang sebenarnya.


"Loh… delapan tahun…?"


"Berarti sudah sekolah dong…"


"Siti sekolah di mana?" Bu Guru yang mengernyitkan kening bertanya.


"Siti belum sekolah…"


"Siti pengen banget sekolah…" ucap Siti sambil memainkan jari - jemarinya.


Bu Sumiya hanya terdiam. Ia tidak mampu berkata apa - apa.


"Siti mau sekolah sama Bang Adi…?"


"Mau…" Ke dua bola matanya yang bulat berbinar.


Bu Guru menyiapkan beberapa berkas untuk menyiapkan data Siti. Meletakkannya di depan Bu Sumiya. Seakan - akan memerintah Bu Sumiya untuk mengisi data - data pribadi Siti. Bu Sumiya hanya terdiam mematung. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Adi yang melihat itu menjadi bingung, antara ingin berhenti atau terus melanjutkan. Jika terus melanjutkan, itu hanya akan menjadi beban ibunya dan bapaknya. Karena mereka harus membiayai mereka berdua. Pembiayaan menjadi double. Jika berhenti, ia tidak bisa mengawasi Siti di sekolah.


"Ibu tidak perlu bingung dengan masalah pembiayaan…"


"Lebih baik sekarang Ibu isi dulu data diri Siti…" ucap Bu Guru yang seperti mengerti apa yang dipikirkan Bu Sumiya.


***


Ini baru pertama kalinya Siti masuk ke dalam kelas. Mengenakan seragam yang selama ini ia tunggu-tunggu. Menjalani hari - harinya dengan gembira. Berangkat sekolah dengan Bang Adi. Ternyata tidak seburuk yang Adi kira. Ia justru lebih bergembira bisa satu sekolah dengan Siti. Tapi, kini ia bingung bagaimana Siti dengan sekolahnya nanti kalau Adi sudah lulus. Ia tidak lagi bisa melindungi adiknya dari tangan - tangan nakal mereka.


"Heh… Adi!" Seorang anak laki - laki mendorong pundak Adi.


"Seperti biasa…" anak laki - laki yang seumuran dengan Adi mengulurkan tangannya di depan Adi.


Adi mengambil selembar uang dari sakunya. Ia tidak ingin memperpanjang masalah dengannya. Anak laki - laki itu langsung menyahut uang yang dikeluarkan Adi.


"Di… jangan lupa kerjakan PR ku juga…" ucapnya sambil berlari menjauh. Hal - hal seperti inilah yang membuat Adi tidak betah di sekolah.


*Brak…


"Aduhh…" Siti merintih


"Heh… kalau jalan pake mata dong…"


"Udah bang…"


"Siti kalau jalan udah pake mata…"


"Mata kaki tapi…" ujar Siti pada laki - laki yang nakal pada abangnya tadi.


"Kalau mata ini gak bisa buat jalan…" lanjut Siti sambil menunjuk matanya.


Anak laki - laki itu tersenyum sinis. Terlintas dipikirannya untuk berbuat jahil.


"Heh… kamu punya uang saku kan?"


Siti menggeleng.


"Uang sakuku dibawa kamu…" ucap Siti


Anak laki - laki itu mendelik.


"Sini kembalikan uang sakuku…" minta Siti


"Enak aja… menganggap ini uang sakumu…"


"Tapi itu uang sakuku…"


"Uang sakuku ada pada Bang Adi…"


"Dan aku melihat kamu mengambilnya"


"Sekarang…"


"Kembalikan…" minta Siti dengan Paksa.


Laki - laki itu hendak kabur. Tapi, Siti segera menghalangi langkahnya. Laki - laki itu memukuli Siti agar minggir. Tapi, Siti membalas pukulan itu. Mereka berdua berkelahi. Dan ini untuk pertama kalinya Siti berkelahi. Seluruh siswa segera berkerumun melihat hal itu. Bukannya melerai tapi malah mendukung satu sama lain. Seperti melihat adu tinju dalam ring. Melihat keributan itu, Adi langsung menghampiri. Ia terkejut saat melihat yang berkelahi adalah Siti.


"Hentikan Siti…"


"Apa yang kamu lakukan…" Adi melerai mereka berdua dan sempat beberapa kali terkena pukulan.


"Dia mengambil uangku Bang…" ujar Siti.


"Kenapa Bang Adi memberi uang pada orang seperti dia sih?"


"Sst.. kamu tidak boleh bicara seperti itu Siti…"


"Udah kasih kan saja…"


"Nanti Abang ganti ya…"


"Enggak!" Siti mengenggam selembar uang di tangannya hingga uang itu kusut.


"Bang…. Siti enggak akan kasih uang ini hanya untuk digunakan hal yang sia - sia… Apalagi untuk dia yang dengan rakusnya meminta dengan cara memaksa…"


"Kasihan Emak sama Bapak Bang…"


"Ini barang begitu berharga buat Emak sama Bapak yang nantinya akan diberikan pada Siti… dan Siti akan mengembalikan pada Emak dan Bapak lebih dari ini… mengubahnya menjadi pelangi…" ujar Siti. Entah darimana kata-kata itu ia dapat. Tapi Adi melihat keseriusan mata adiknya dari ke dua matanya yang tulus.


***

Adi menatap keluar jendela. Ia baru saja terbangun dari mimpinya. Bertemu dengan Siti mengingatkannya dengan ke dua orang tuanya yang berada di desa. Sudah dua tahun ia tidak berkunjung. Ia selalu berkutat dengan pekerjaannya dan lupa terhadap orang tua. Ia begitu merasa bersalah. Ia mengemas semua pakaiannya. Berniat pergi ke kampung halaman. Tak terasa ke dua mata Adi mengembun.


Bahkan, saat dirinya tidak ada…

Tapi jiwanya selalu menemaniku…

Mengingatkanku…

Terima kasih adikku…

Pelangi yang kau sukai itu…

Kini melambung seperti jiwamu…

Mewarnai keluarga kecil kita…

Semoga kau selalu tenang di alam sana…


Batin Adi. Ia mengunci pintu apartemennya lalu pergi.
lsenseyel
lsenseyel memberi reputasi
1
368
3
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to Heart
icon
21.5KThread26.6KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.