Sea Games ke 31 di Vietnam baru aja selesai.

Dan ane mau memberikan rate dan review tentang pelaksanaan Sea Games Vietnam dari kapasitas ane sebagai penonton.


Pict by Skor

Tentunya ane gak nonton semua cabor dan match. Yang ane tonton tentu cuma match tim Indonesia, itupun gak bisa semua karena keterbatasan waktu. Dan untuk spesifik cabornya yaitu sepak bola, futsal, basket, voli, badminton. Dan sesekali menengok ke esport (PUBG-M dan Mobile Legends).

Sebagai permulaan, ane mau kasih gambaran. Saat Indonesia jadi tuan rumah multi-event olahraga terakhir, baik Asian Games (2018) maupun Sea Games (2011) cukup sukses.

Patokannya apa? Gak ada berita miring mengenai venue baik latihan dan pertandingan yang muncul ke permukaan.


Beda dengan apa yang dialami skuad timnas bola barusan kemaren. Mereka mendapat jatah lapangan latihan jelek, ukuran gak standar (kecil) dan jauh dari pusat kota. Baru setelah mendapatkan tekanan dari netizen, panitia memberikan lapangan latihan yang lebih layak.


Panitia pun seolah menunjukkan sikap kurang profesional mereka dengan mengubah jadwal pertandingan dengan alasan yang kurang kuat. Serta inkonsistensi adanya babak tambahan. Kadang ada, kadang langsung ke babak adu penalti.


Di futsal pun ada keluhan. Utamanya tentang masalah jadwal. Dimana jadwal match timnas futsal Indonesia sangat mepet dan ditumpuk di hari-hari awal. Akibatnya mereka lebih kelelahan dibanding tim lain dan terpaksa menyelesaikan rentetan match lebih awal.

Bandingkan dengan tim Vietnam yang saat Indonesia sudah menyelesaikan semua match, masih menyisakan 2 match lagi. Wajar kalo pelatih timnas futsal garuda merasa dikerjai.



Lebih aneh lagi di badminton. Saat pertandingan semifinal perseorangan putri. Gregori Mariska dan Putri Kusuma Wardani yang kebetulan keduanya berhadapan dengan wakil Thailand.

Para atlit negeri gajah putih itu mendapat dukungan dan sorak sorai dari fans tuan rumah yang hadir.

" Thailand! Thailand!.. "

Sayangnya sedikit banyak kedua tunggal putri terpengaruh. Dan akhirnya kalah dari lawan masing-masing.

Pertanyaannya, Kenapa Vietnam seolah sangat sensi dengan Indonesia?



Hal lain yang cukup menarik perhatian ane, adalah kurangnya efisiensi tuan rumah dalam mengelola para penerjemah. Yang mana cukup aneh menurut ane karena mereka menyediakan 3 (inc. MC) penerjemah untuk setiap negara.

Saat penyerahan medali emas cabor PUBG-M misalnya. Cukup ribet pas wawancara. Alurnya begini.

Orang pertama (MC) bertanya dalam bahasa Vietnam. Kemudian orang kedua (Penerjemah 1) akan menerjemahkan pertanyaan tersebut ke Inggris. Baru orang ketiga (Penerjemah 2) menerjemahkan ke Bahasa Indonesia.



Padahal bisa aja jalurnya bisa dipotong. Tinggal cari 1 orang MC Vietnam yang bisa bahasa Inggris, dan 1 orang Indonesia yang paham bahasa Inggris. Yakin pasti gak sulit.

Dan untuk pelaksanaan olahraga indor beregu (basket, voli, futsal, badminton) dan esport untuk venuenya sudah cukup baik. Sayangnya beberapa GOR menurut ane kapasitas penontonnya terlalu kecil. Bahkan secara kasat mata, mungkin GOR UNY (sering dipakai untuk liga pro basket dan futsal) punya kapasitas penonton yang lebih besar.

Padahal ini multi-event olahraga besar bagi para penduduk SEA. Rasanya atmosfirnya jadi kurang aja.

=====

Beberapa minggu yang lalu, beberapa sportcaster lokal sempat menyinggung tentang effort negara-negara SEA saat jadi tuan rumah ajang olahraga. Menurut mereka yang sudah pernah keliling SEA, ada empat negara yang selalu memberikan effort 100% jika dibandingkan dengan negara lain.

Negara tersebut adalah Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Dan setelah menyaksikan sendiri bagaimana Vietnam saat jadi tuan rumah, mau gak mau ane harus mengamini.

Rating for the host (Vietnam): 4/10

=====