• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Kali Ilang Kedhunge: Ramalan Jayabaya yang Relevan untuk Saat Ini

cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Kali Ilang Kedhunge: Ramalan Jayabaya yang Relevan untuk Saat Ini


Cangkeman.net - Jangka Jayabaya atau ramalan Jayabaya begitu populer di kalangan masyarakat Jawa. Mayoritas orang jawa yang kini berusia 40an tahun ke-atas pasti mengenal ramalan ini. Meskipun tidak mengetahui secara utuh, minimal pernah mendengar beberapa bagian dari ramalan tersebut.

Jangka Jayabaya yang kita kenal saat ini sebenarnya merupakan gubahan ulang dari versi aslinya. Gubahan ulang tersebut termuat dalam kitab Musasar(Asrar) yang ditulis oleh Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) pada tahun 1618 M.

Ada banyak hal yang dinubuatkan dalam kitab tersebut. Jika ditotal ada 212 poin ramalan. Jumlah angka yang cantik, angka yang identik dengan seorang pendekar berkapak dan setengah gila. Juga identik dengan geng yang suka bikin acara reuni di Monas sono. Sebuah kebetulan yang embuh banget.


Kali ilang kedhunge: makna harfiah 

Salah satu poin dalam ramalan Jayabaya berbunyi 'kali ilang kedhunge'. Jika dialihbahasakan artinya adalah sungai telah kehilangan palungnya (bagian yang dalamnya). Semasa kecil saya, hampir semua aliran sungai di kampung ada kedhung-nya. Di mana ada sungai yang menurun agak curam, di situ pasti ada kedhung.

Kedhung ini menjadi bagian vital dari sungai, ia menjadi semacam tempat pengolahan sampah secara alamiah. Di bagian ini segala macam sampah dan kotoran mengalami proses penguraian. Sampah-sampah yang mayoritas organik (jaman dulu mana ada plastik) akan mulek, berputar mengikuti pusaran air hingga terurai dan menjadi makanan bagi binatang penghuni sungai.

Selain itu kedhung juga menjadi tempat favorit bagi anak-anak untuk mandi sambil bermain. Bocah-bocah kampung biasanya belajar berenang secara otodidak di sini. Kadang juga sambil latihan loncat indah dari pohon di kiri-kanan sungai. Sedangkan bagi orang dewasa, kedhung adalah tempat paling menjanjikan untuk memancing ikan.

Jika ditinjau secara harafiah kalimat ramalan kali ilang kedhunge telah terbukti saat ini. Faktanya hampir semua sungai di kota-kota besar di Pulau Jawa telah mengalami pendangkalan, tak lagi memiliki kedhung. Sebut saja ciliwung, citarum, cimanuk, bengawan solo, brantas, dan lain-lain. Apalagi nasib sungai di perkampungan, lebih ngenes lagi. Sudah menciut drastis seukurunan wangan (semacam selokan).

Akibatnya sampah tak lagi bisa terurai secara alami, lagian jenis sampah jaman sekarang juga mayoritas anorganik. Anak-anak kelangan tempat mandi dan bermain. Orang-orang dewasa juga kehilangan spot mancing gratisan.


Kali ilang kedhunge: lebih dari sekadar harfiah

Apakah selesai hanya sampai di sini? Saya kira tidak. Seorang pujangga besar semacam Sunan Giri Prapen mustahil menulis karya yang hanya berbicara di level harfiah saja. Apalagi Sastra Jawa sungguh sangat kaya akan simbol. Pasti ada makna yang tersirat di dalam teks ramalan tersebut, yang patut untuk dikaji lebih dalam.

Bagi saya pribadi nubuat kali ilang kedhunge tersebut juga mengandung dimensi sosio kultural. Berkaitan dengan pola hubungan masyarakat Jawa. Dalam hal ini masyarakat dianalogikan sang pujangga sebagai kali atau sungai. Sebuah analogi yang cerdas mengingat sifat keduanya yang sama-sama dinamis, selalu mengalir menuju hilir.

Sedangkan kedhung merupakan pengibaratan untuk pamong, tokoh atau tetua dalam masyarakat. Dalam tatanan masyarakat jawa kuno, pamong berasal dari kata pamomong yang berarti pengasuh. Maka seorang pamong adalah tempat jujugan untuk mengadukan segala permasalahan. Juga menjadi sumber kawruh serta wawasan bagi anak-anak dan generasi muda.

Seorang tetua masyarakat pantang menolak warga yang sowan. Entah kedatangan warga tersebut dengan maksud untuk sekadar silaturahmi ataupun mengadukan suatu masalah. Kalaupun belum mampu memberikan solusi, minimal sang pamong tetap mendengarkan curhatan para warganya.

Nah, dalam hal ini ramalan kali ilang kedhunge telah menemukan konteksnya. Masyarakat modern saat ini, terutama yang tinggal di perkotaan mulai kehilangan tokoh yang bisa menjadi pamomong. Memang masih ada jabatan Ketua RT, RW maupun Lurah, namun peran mereka tak lebih dari urusan administratif saja.

Dalam tatanan masyarakat modern di perkotaan, sudah jarang ada ketua lingkungan yang masih peduli secara personal kepada warganya. Jangankan untuk mendengarkan keluh kesah dan membantu mengatasi masalah warga, untuk sekadar jagongan saja kadang tak lagi sempat. Semua disibukkan oleh urusan pekerjaan masing-masing.

Jika warga yang bermasalah dianalogikan sebagai sampah, maka ia telah kehilangan kedhung. Dahulu kala apabila ada warga yang berpotensi menjadi sampah masyarakat maka ia akan diajak bicara dari hati ke hati oleh pamong. Melalui pembicaraan yang intens tersebut tak jarang si ‘sampah’ bisa terurai, bisa memberi manfaat bagi masyarakat.

Jaman sekarang segala macam ‘sampah’ telah kehilangan tempat untuk sekadar berputar mengikuti pusaran (curhat). Juga kehilangan sarana untuk terurai secara alamiah. Permasalahan tersebut akan terus menumpuk. Dan seiring waktu ia akan menyumbat aliran hingga menimbulkan luapan (masalah) air. Kita mengenalnya sebagai banjir. Sebab kali wis ilang kedhunge.


Tulisan ini ditulis oleh Rois Pakne Sekar di Cangkeman pada tanggal 18 Maret 2022.
knoopyAvatar border
indrandrAvatar border
rois.milan206Avatar border
rois.milan206 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2.3K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.