evywahyuniAvatar border
TS
evywahyuni 
Kisah 6 Sekawan Dari SD Lemon Sari 03


emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

Di suatu hari di pagi yang mulai terang benderang,  suasana di halaman SD Lemon Sari 03 mulai tampak riuh dan semarak. Beberapa siswa sudah mulai berdatangan satu per satu. Efek normalisasi pembelajaran yang kini lepas dari status sekolah online,  menyebabkan sekolah tidak lagi menjadi bangunan yang  sepi dan hening.

Dengan aturan sekolah offline, pemakaian masker tetap diberlakukan dengan masih diikutinya protokol kesehatan, walau dalam setiap upacara dan apel pagi sudah tidak diberlakukan lagi sistem jaga jarak. Sungguh suatu pemandangan yang menggairahkan suasana belajar mengajar.

Di kelas VI B, beberapa bangku sudah terisi siswa yang datang. Akibat dari pandemi Covid-19 dua tahun lalu menyebabkan beberapa siswa hengkang dari sekolah karena dipindahkan oleh orang tua mereka ke pondok pesantren yang tetap melakukan proses pembelajaran dengan penjagaan yang super ketat.
Di ujung bangku depan sebelah kiri, tempat duduk Minggus yang didapuk kawan-kawannya menjadi ketua kelas, sudah hadir sejak pagi tadi sedang sibuk membersihkan meja wali kelas dan menyiapkan spidol dan penghapus untuk dipakai hari ini di atas meja wali kelas.

Sementara itu, beberapa siswa yang datang langsung mengambil beberapa peralatan untuk menyapu kelas. Memey, Wayan, Slamet, dan beberapa teman lainnya ikut bekerja sama membersihkan kelas termasuk membersihkan meja dan bangku dari debu yang menempel.

Dari luar terdengar suara memberi salam. “Assalamualaikum, selamat pagi kawan-kawan ... apa kabar kalian hari ini?” sapa Togar dengan percaya dirinya.

Serentak mereka yang membersihkan kelas menjawab salam Togar, ada yang saling bercakap dengan memberitahukan kabar mereka.

“Hei, Togar. Ayo, bantu Aku menaikkan kursi ini di atas meja dulu,” pinta Slamet. Dia sedang menyapu di bawah meja dan terhalang kursi wali kelas.

“Siap! Aku taruh tasku dulu.”

Setelah membantu membersihkan ruang kelas. Togar gegas ke depan kelas, membantu kawan-kawannya mengambil ember dan gayung untuk kemudian mengisinya dengan air. Wayan mengangkat ember itu dan Memey kemudian menyiram tanaman bunga yang berjejer rapi dalam pot-pot buatan mereka ketika pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan.

Tidak terasa, piket hari ini membersihkan kelas telah selesai. Saatnya menunggu apel pagi dimulai. Wali kelas mereka sudah datang dan kini sedang berada di ruang guru.
Ada pemandangan yang tidak biasa ketika seorang pedagang sayur memasuki sekolah elit itu dan tidak luput dari pandangan Memey. Dia segera menghampiri Wayan yang sedang duduk di bawah pohon mahoni depan kelas.

“Yan, itu siapa ya?”

“Maksudmu laki-laki yang sedang berjalan bersama bapak tua itu?” tanya Wayan balik.

“Iyalah, siapa lagi?”

“Paling murid baru atau murid pindahkan sekolah lain, kenapa kamu perhatian sekali, Mey?”

“Aku cuma bertanya saja, semoga murid baru itu sekelas dengan kita ya, Yan.” Memey balas menjawab, sambil tersenyum melangkah menuju kelas.

Wayan hanya mengedikkan bahu, sambil ikut memperhatikan seseorang yang baru saja dibahas oleh Memey. Kenapa Memey jadi perhatian begitu? Biasanya dia cuek saja dengan apa dan siapa pun yang lalu lalang di hadapannya. 

“Hei, kok melamun? Ayo, ikut apel pagi,” tegur Minggus sambil menepuk bahu Wayan yang seakan fokus pada satu titik.

‘Eh, sudah mulai apel pagi, kok bisa-bisanya aku gak sadar kalau bel sudah berbunyi', gumam Wayan sambil melangkah  menuju lapangan sekolah, hendak mengikuti apel pagi.

emoticon-Cape d...


Setelah apel pagi selesai, para siswa berbondong-bondong mulai memasuki kelas secara teratur, tidak terkecuali kelas Minggus yang mulai heboh karena kelakar Togar yang selalu bisa meramaikan kelas.

“Ssstt, jangan gaduh-gaduh lagi, ayo ... duduk di bangku kalian masing-masing. Ibu guru sedang menuju ke sini sekarang,” ujar Minggus yang baru saja masuk kelas dengan membawa beberapa tumpukan buku tema di kedua tangannya.

Serentak mereka segera duduk yang rapi dan mulai menghentikan segala bahan candaan, setelah meletakkan tumpukan buku tema  yang dibawanya tadi, Minggus segera menuju ke bangku dan bersiap untuk memberi salam pada Ibu Dea, wali kelas mereka yang sangat humble dan murah senyum.

Sesaat kemudian, Ibu Dea masuk ke kelas, di belakangnya ikut pula seorang anak laki-laki berperawakan bersih, rapi, dan tampak sopan. Tetiba saja mata Memey membelalak tidak menyangka jika ternyata harapannya terkabul.

Minggus segera memberi komando, mengucap salam dan diikuti oleh teman-temannya yang lain. Ibu Dea membalas salam mereka dan meminta anak laki-laki itu untuk maju ke depan kelas.

“Para siswa sekalian yang Ibu sayangi, hari ini kelas kita kedatangan siswa baru, Ibu harap kalian bisa sama-sama belajar dan berteman dengan dia. Ayo, Cup. Perkenalkan dirimu dulu ….”

“Hai, teman-teman ... perkenalkan nama saya, Yusuf Ramadan biasa dipanggil Ucup. Saya pindahan dari kota sebelah, salam kenal untuk kalian semua.”

Sejak Ucup mulai berbicara, tatapan Memey tak lepas memperhatikan setiap gerak gerik Ucup, membuat lelaki itu jadi salah tingkah diperhatikan oleh teman kelas yang memakai kacamata berbingkai hitam.

“Nah, Ucup ... silakan duduk di bangku yang kosong di sebelah Slamet, kita akan segera memulai pelajaran,” imbau Ibu Dea.

“Baik, Bu Guru.”

Ucup melangkah menuju bangku yang ditunjukkan, kebetulan juga bangku itu berseberangan dengan bangku milik Memey. Setelah Ucup duduk, gadis belia itu segera mengulurkan tangan meminta bersalaman.

“Hai, Ucup. Aku Memey, salam kenal, ya?”

Ucup meraih jabat tangan Memey. “Salam kenal juga, Memey.”

Wayan yang melihat mereka langsung mengalihkan perhatian ke depan, di saat yang bersamaan Ibu Dea meminta Minggus membagikan buku tema untuk dipelajari.

Pelajaran hari ini berjalan sangat lamban bagi Memey yang seperti penasaran dengan Ucup, berkali-kali ia melirik ke arah Ucup, tetapi laki-laki itu tidak mengindahkan dan tetap konsentrasi pada apa yang dijelaskan Ibu Dea. Berkali-kali juga, Santi teman sebangkunya mengingatkan agar Memey kembali konsentrasi pada pelajaran.  

Tidak terasa, bel sekolah berbunyi. Menandakan jam istirahat telah tiba, Ibu Dea sudah keluar meninggalkan kelas dan diikuti oleh para siswa yang hendak menyerbu kantin sekolah.

“Hai, Gus! Tunggu!” seru Togar pada Minggus yang hendak ke luar kelas.

“Kenapa, Gar? Aku mau ke kantin, mau ikut?”

“Yup, bareng kita!” 

emoticon-Shakehand2


Memey dan Wayan juga keluar kelas, tampak oleh mereka ada Ucup yang sedang duduk di bawah pohon, Memey menarik tangan Wayan mendekati Ucup yang sedang asyik memperhatikan keramaian sekolah.
Wayan hanya mengikut, tidak bisa menolak juga.

"Hai, Ucup. Kenapa tidak ke kantin?" tanya Memey dengan senyum yang berseri di wajahnya.

Wayan yang sedikit pemalu hanya tersenyum dan memperhatikan kedua temannya. Dia ikut duduk di sebelah Memey yang pembawaannya selalu ceria dan baik hati, selalu menyapa siapa saja, walau kadang sikap cueknya membuat Wayan mati kutu.

"Aku masih kenyang, tadi sudah sarapan di rumah. Lagipula makanan di kantin itu ditujukan untuk mereka yang lapar, jadi kalau kalian lapar ke kantin saja dulu," balas Ucup tersenyum sambil menunjuk arah kantin.

"Aku juga tidak lapar, sudah sarapan tadi di rumah. Kamu juga, 'kan, Yan?" tanya Memey ke Wayan yang sejak tadi hanya berdiam diri.

"Iya, aku belum lapar juga, Mey."
 
"Ucup,  aku mau tanya. Boleh, ya? Siapa bapak-bapak yang tadi mengantarmu ke sini?" tanya Memey menuntaskan rasa penasarannya.

"Oh, itu bapakku. Kenapa, Mey?" jawab Ucup sekaligus melempar tanya.

"Oh, itu bapakmu ya, Cup? Aku sering melihat bapakmu lewat dan berjualan depan rumahku, bahkan ibuku sering membeli sayuran dari bapakmu. Kalau tidak keberatan kamu bisa jalan-jalan ke rumahku … kita bisa kerja tugas sekolah bareng-bareng."

"Oh, iya. Kebetulan kita ada tugas membuat kerajinan dari bahan bekas tidak terpakai, bagaimana kalau kita kerjanya bareng-bareng di rumahmu, Mey?" sahut Wayan mengingatkan PR mereka yang belum selesai dan sudah harus dikumpul minggu depan.

"Oh, ada PR ya? Sekalian ajak Slamet juga Kalau begitu, biar kita kerjanya jadi semangat!" seru Ucup gembira.

"Boleh, Slamet orangnya pandai dan banyak akal, kita bisa membuat banyak prakarya yang berbeda-beda dengan idenya. Bukannya semakin ramai semakin cepat selesai juga tugas kita," ucap Memey tersenyum senang.

"Kita tanya dulu orangnya, mau apa tidak bergabung?" Wayan menimpali.

"Nanti kita tanya," kata Memey yakin.

Mereka kembali melanjutkan percakapan, membicarakan hal-hal baru yang dibagi Ucup ke mereka. Ternyata Ucup pembawaannya ramah dan suka bercanda, tutur katanya yang lembut bisa menyenangkan siapa saja yang berada di dekatnya. Dari pembicaraan mereka, Memey dan Wayan baru tau kalau Ucup suka makan lalapan dan sayuran alias vegetarian, 

Dari cerita Ucup, sejak kecil dia sudah terbiasa memakan sayuran dan lauk tahu tempe saja. Pernah mencoba memakan ikan laut, ternyata dia alergi berat dan sempat masuk rumah sakit karena kulitnya jadi gatal-gatal dan penuh bercak merah di sekujur badan.

Namun, memakan lalapan dan sayuran segar juga baik untuk kembang tubuh di mana kandungan zat vitamin, mineral dan zat-zat penting lainnya memang banyak terkandung dalam sayuran hijau nan segar.

emoticon-2 Jempol


Jam istirahat masih panjang, di dalam kelas sudah ada Slamet, Togar, dan Minggus sedang duduk bertiga di depan meja Ibu Dea. Sementara itu teman-teman mereka yang lain juga sibuk dengan obrolan yang membuat kelas menjadi ramai dengan segala canda gurau.

"Hei! Kalian ini bikin ribut saja! Sana keluar, masih jam istirahat sudah nongkrong dalam kelas!" teriak Togar dengan tingkah sok premannya.

Serentak mereka balas meneriaki Togar yang semakin semangat tertawa terbahak-bahak. Rasa percaya diri manusia satu ini memang patut dijempoli, selain setia kawan … dia juga berani. Jika ada sesuatu yang diinginkannya, maka Togar akan pantang menyerah untuk mencapainya. Misal, kemaren dia ditantang Ibu Dea ikut lomba pidato antar sekolah. Walau terbilang kemampuannya dan kepandaiannya tidak lebih baik daripada Slamet, tetapi dengan modal percaya diri dan semangat yang menggebu, akhirnya Togar berhasil mendapat juara dua atas prestasinya tersebut.

Minggus yang duduk di sebelah Togar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, sudah maklum dengan pembawaan Togar yang seperti itu. Lain Togar lain pula Minggus, dengan karakter yang berbeda dia bisa merukunkan kawan-kawannya yang kadang berselisih pendapat. 

Kemampuannya yang bisa memimpin bahkan kadang membawa Minggus menjadi  pembawa acara dalam setiap diskusi dan lomba debat antar sekolah. Selain mandiri dan rajin, Minggus juga tidak mudah marah karena sejak kecil dia sudah terlatih mengendalikan emosi dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. 
Misal ketika marah ia akan mengambil sapu dan membersihkan halaman rumah orangtuanya yang seluas halaman sekolah hanya untuk mencegah dirinya mengumpat apalagi memaki orang lain. 

"Makin ribut kelas kita karena kamu, Togar," kata Slamet. Dia diam-diam mengamati keriuhan dalam kelas.

"Aku cuma menyuruh mereka keluar, Met. Daripada di dalam kelas, mending mereka ke lapangan saja sekalian teriak juga tidak apa-apa, paling nanti dikejar sama Pak Sukri pake pentungan," ujar Togar kembali tertawa. 

Membayangkan dia pernah di kejar sama Pak Sukri, satpam sekolah SD Lemon Sari 03. Cuma gara-gara salah melempar batu yang akhirnya mengenai kepala siswa kelas lain, untung saja kepala anak itu tidak bocor, cuma benjol saja di bagian dahi. 

"Oh ya, bagaimana kalau kita bertiga kerja kelompok untuk tugas keterampilan minggu depan?" tanya Slamet, tidak menghiraukan lagi gurauan Togar yang semakin menjadi-jadi.

"Wah, ide bagus juga, tuh! Ayo, kapan kita mulai?" sahut Minggus.

"Lusa juga bisa kita mulai, kalian datang saja ke rumahku, soalnya Aku dilarang Ibu ke mana-mana karena ayahku sedang sakit. Gimana?"

"Anak yang patuh juga kamu, Met! Baiklah, lusa nanti Aku sama Togar akan ke rumahmu, tidak usah repot siapin apa-apa. Nanti kami yang siapin bahan-bahan untuk prakarya kita." Minggus menepuk bahu Slamet bangga.

"Sip! Aku setuju!" seru Togar  sambil mengangkat jempolnya tanda setuju.

emoticon-Jempol


Bel masuk sudah berbunyi, kelas kembali ramai. Memey, Wayan, dan Ucup yang sedari tadi berbincang di bawah pohon juga sudah beranjak masuk ke kelas. Tidak lama kemudian, Ibu Dea masuk dan kelas kembali hening.

"Para siswa Ibu sekalian, Ibu ada kabar penting untuk kalian. Tadi kepala sekolah sudah mengumumkan di ruang guru, kalau sekolah kita akan ikut lomba kesenian antar sekolah tingkat kabupaten. Jika ada yang berminat ikut lomba, silakan menghubungi Ibu di ruang guru setelah jam pelajaran selesai."

"Lombanya apa saja, Bu?" Memey bertanya setelah mengacungkan jari.

"Apa ada batasan berapa orang per kelas yang bisa ikut, Bu?" Slamet juga ikut mengacungkan jari dan bertanya.

"Kalau boleh tau, lomba keseniannya dimulai kapan, Bu?" Tidak ketinggalan Ucup juga melontarkan pertanyaan.

Ibu Dea tersenyum menanggapi, belum disilahkan bertanya saja para siswa sudah terlihat begitu semangat menanggapi. Apalagi Ucup juga ikut bertanya, menandakan anak laki-laki itu sudah bisa beradaptasi dengan suasana kelas dan sekolah barunya.

"Apa masih ada yang mau bertanya?" Ibu Dea mengedarkan pandang menyapu seluruh kelas.

"Hadiahnya banyak gak, Bu?" tanya Togar yang mengundang gelak tawa kawan-kawannya.

"Sudah … sudah, jangan ribut. Ibu akan menjawab pertanyaan kalian. Memey, lomba kesenian ini beragam. Ada lomba menari tarian daerah, lomba menyanyi lagu daerah dan lagu nasional, lomba melukis, lomba mendongeng, juga lomba menulis cerita anak. Slamet, peserta lomba dibatasi sesuai dengan jenis lombanya, bertujuan supaya teman-teman kelas kalian bisa ikut jenis lomba yang ada. Ucup, lomba kesenian akan dimulai bulan depan. Jadi, jika ada yang mau ikut bisa punya waktu banyak untuk latihan. Oh iya, Togar ... jangan khawatir, hadiahnya banyak kok. Jangan lupa kalian yang ada di kelas ini ikut lomba juga, ya?"

"Bu Guru, Memey mau ikut lomba melukis." Memey langsung mengacungkan jari.

"Saya mau ikut lomba menyanyi dan menari, Bu!" seru Wayan tak mau kalah. Menyanyi dan menari adalah dua keahlian yang dimiliki Wayan, makanya Memey suka meminta diajari menari oleh Wayan.

"Kalau saya mau ikut lomba menulis cerita anak dan mendongeng, Bu." Slamet.

Ibu Dea tersenyum gembira mendengar antusias siswa-siswanya untuk mengikuti lomba. Pandangannya beralih ke arah Togar. "Togar ... tidak berminat ikut lomba?"

Anak laki-laki itu menjawab lemas. "Bagaimana mau ikut, Bu. Wayan sama Slamet saja sudah memborong sisa lomba. Saya tidak kebagian lomba, Bu," sahut Togar dengan wajah pura-pura memelas.

"Masih ada lomba yang belum Ibu beri tahu, lho? Kalau Togar mau ikut, Togar bisa ikut lomba membuat keterampilan dari dus bekas, dus tidak terpakai itu bisa Togar buat kapal laut atau pesawat terbang, atau mau buat rumah tingkat tiga juga boleh," kata Ibu Dea dengan senyum ramahnya.

Minggus yang sedari tadi diam, ikut ambil bagian. "Kalau begitu, saya mau ikut lomba menulis cerita anak, bisa, Bu?"

"Bisa, batas peserta lomba tiap kelas itu dua orang untuk satu jenis lomba, kenapa dibatasi? Supaya nanti kalian bisa latihan bersama dengan peserta lomba dari kelas lain, jadi ... jangan khawatir tidak bisa ikut. Bagi siswa yang mau ikut jangan lupa daftarkan nama kalian pada Ibu setelah jam pelajaran telah selesai, ya?"

"Siap, Bu Guru!"

emoticon-Siap Gan


Spoiler for Intisari Cerita:

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

Quote:


Diubah oleh evywahyuni 02-05-2022 02:00
aviepAvatar border
terbitcomytAvatar border
volcom77Avatar border
volcom77 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
3K
97
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.