dikkysudrajatAvatar border
TS
dikkysudrajat
Lee, Tetsuko dan Anak Kita


Lee, Tetsuko dan Anak Kita (1)

Membaca To Kill A Mockingbird, karya Harper Lee membawa saya mengingat ulang pengalaman masa kecil di kota kecil, buku masa SD yang kubaca dan "Toto Chan" karya Tetsuko Kurayanagi. Karya ini, yang ujar sahabatku menjadi bacaan wajib murid jenjang SMA di USA juga mendukung tesis saya tentang lebih baiknya anak anak bersekolah di SD Inpres di pelosok Indonesia daripada SD "bermerk", lho ?
Di SD Inpres, guru lebih sering tak ada drpd SD bermerk sehingga waktu kosong (scholae) banyak dipakai murid2 bermain sesuai imajinasi seusia mereka. Scout gadis kecil yg tanpa dipaksa mampu membaca majalah, meski banyak yg tak faham artinya, dengan sebal mengikuti cara guru mengajari kelasnya mengeja huruf secara desimal dewey, karena bosan, scout menggambar dan bertingkah lain dan dihukum gurunya.

Saya tersenyum ketika Scout menolak dipangku ayahnya sambil membaca majalah, karena dia bercerita kepada bu guru tentang "ritus" yg menyebabkan dia bisa membaca dan disalahkan bu guru dan dilarang melakukan kegiatan itu lagi dan ketika dia ngeyel, scout dihukum berdiri di depan kelas. Karena tak ingin dihukum lagi, scout menolak.

Mungkin Scout mirip dengan Toto Chan yang selalu dihukum guru karena selalu berulah, ketika dia bersekolah di SD Umum dan berubah ketika sekolah di SD khusus. Membaca dua buku ini seperti mengaca dan melihat bayangan kondisi SD kita saat ini yang masih seperti SD di Amerika di akhir Tahun 1800 an di Alabama USA.

Setting kisah itu adalah sebuah kota kecil yg masih menyisakan sentimen perbudakan, dominasi gereja yang tekstual, etika masa itu yg sangat stereotipis sexis: perempuan terhormat itu memakai rok, di dalam rumah saja dan sebaiknya di dapur dan semua tradisi abad ke 19. Di kota kecil itu, meski budak sudah tiada, namun masyarakat masih terbelah menjadi dua komunitas, kulit hitam dan kulit putih dan di sebuah gereja episkopal kulit hitam, semua jamaahnya, hanya 4 yg melek huruf.

Bayangkan seru dan unik, mengharukan, scout gadis kecil dan kakaknya Jeremy lelaki kecil hidup dan dididik oleh Atticus ayah yang pengacara negara dalam kebebasan sikap, nalar, hak namun masih wajib mengakomodasi tradisi masa itu. Scout dibiarkan tomboy di masa bocahnya dan bisa tersingung dan berkelahi dengan kawan lelakinya ketika dia diejek berperilaku seperti perempuan (karena dia bermain dengan anak anak lelaki).
_______________________________________________________________________________

Lee, Tetsuko dan Anak Kita (2)

Toto Chan menemukan kebahagiaan masa kecilnya dan potensi nalar dan sikap serta semua potensi kemanusiaannya tumbuh dan menjadi dasar kala dewasa, Toto Chan sempat menjadi Dubes di PBB.

Sekolah di bekas Bis seperti SD Toto Chan, akan sangat sulit diduplikasi oleh sistem sekolah masa kini, karena ujaran seorang Gubernur seakan menemukan pembenaran "Murid kita ini abad ke 21, sementara gedung sekolahnya ala abad ke 20 dan (maaf) gurunya masih sama sepetti abad ke 19" Sungguh panjang "time lag" ketika anasir penting persekolahan itu.

Harper Lee memberi kita "kaca benggala" yang akhirnya jika mau mengikuti nurani yang tak akan terkuasai oleh kebenaran mayoritas, menemani anak bertumbuh sesuai potensi dan imajinasi dan karakter kebebasan manusia adalah sesuatu yg asasi. Potensi manusia sejak bayi ini seringkali dibonsai oleh kesoktahuan orang tua yang berselingkuh dengan gurunya. Kreatifitas dipasung mengikuti kreatifitas mereka yang sering tidak kreatif.

Pantas saja Bertrand Russel berang dan mengatakan bahwa pendidikan (yg tak benar-AR) lah yang membuat bodoh manusia. Cilaka 13, saya menelaah RUU Sisdiknas, pembodohan ini akan dilembagakan pula dengan isi RUU yg mengutamakan Pengajaran daripada Pendidikan. Dengan hanya pengajaran, maka yang akan diperbudak adalah nalar manusia Indonesia.

Lee juga menuliskan dengan indah, bahwa Atticus hanya berpura pura marah kepada Scout meski paman Scout yg dokter itu marah beneran, saat Scout si gadis kecil yg pemberang itu menyelipi kata "perempuan jalang" dalam kata2nya jika kesal. "Bahasa yg buruk adalah tahap yg akan dilalui oleh semua anak dan mereka akan stop dengan sendirinya ketika mereka mengetahui bahwa tak akan mendapatkan perhatian dengan cara itu".

Lee, mengajari kita melalui Atticus yg sedang menasehati adiknya, paman Scout yang tak kimpoi itu, bahwa manusia itu harus terus menjadi manusia yang abu abu, bukan malaikat yg tak pernah salah atau setan yang tak pernah betul.
_______________________________________________________________________________

Lee, Tetsuko dan Anak Kita (3-Habis)

Bagaimana paras muka kita, ketika anak gadis kecil kita yang masih SD kelas 2 tetiba di depan pamannya memaki "Balon....WTS !... Perempuan Jalang" lantas sang paman menegurnya dan dengan spontan si anak gadis bertanya "Perempuan Jalang itu apa sih paman ?"

Ketika sang paman "nylimur" tak menjawab dan mengisahkan sesuatu untuk mengalihkan perhatian si gadis ttg arti perempuan jalang, maka ketika Atticus tahu, dia nasehati sang adik, bahwa anak anak itu tahu yang ditanya menghindar "jawab saja apa adanya dengan lugas". Saya teringat almarhum sohib senior naik gunung saya, arek Malang, yg dengan ringan menyebut "baik" kepada putranya yg masih kecil.

Boleh jadi, eufemisme kita yang dianggap sebuah budaya sopan sudah semakin tak membuat kata dan diksi itu artikulatif. Cobalah perhatikan transformasi kata "pramuria, Balon, Perempuan Jalang" menjadi WTS (Wanita Tuna Susila) dan saat ini menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) ? Tata Nilainya sudah berubah. Jika ada PSK, maka tentu ada PSN (Nirlaba) alias suka sama suka, ah sudahlah.
Calpurina, seorang perempuan negro berkulit hitam, PRT keluarga Atticus Finch yg sudah ikut keluarga Finch sejak Atticus muda, menjadi pengganti pengasuh Scout dan Jem sejak ibu mereka wafat. Calpurina tua suatu saat mengajak kedua bocah kulit putih ini ikut kebaktian di gereja episkopal khusus kulit hitam.

"Engkau tidak akan bisa memahami seseorang hingga engkau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya.... hingga engkau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya" ujar Lee.  Jelas dengan ijin Atticus, Calpurina mengajak kedua bocah itu "menyusup ke balik kulit" kehidupan komunitas Calpurina.

Scout tersentak ketika ikut menyanyi himne dipandu oleh seseorang yg membaca himne tersebut baris demi baris. Scout jengkel dan dia yakin mampu membelikan buku himne untuk semua jemaat gereja. Calpurina hanya mengatakan "Tidak ada gunanya Scout, mereka buta huruf". Semakin bingung lagi dirinya ketika Cal menceritakan hanya 4 orang yg bisa membaca, termasuk dirinya dan putranya yg tadi membacakan Himne.

Saya mulai menikmati dan menjelajahi keberagaman itu ketika senang2nya bertualang di alam, banyak sekali hal yg bertabrakan dengan pola pikir (mindset) ku, kisah Lee ini membuat saya tersenyum. Scout dan Jem sudah dilatih oleh keluarganya dengan keberagaman itu, dalam setting kisah di USA yang tidak seberagam (bhineka) Indonesia.

Bayangkan, apakah jadinya bangsa ini, jika sejak usia muda, anak bangsanya tidak terlatih hidup dalam keberagaman dan ketika masih gamang, maka dipaksa menjadi warga dunia dengan tata nilai keberagaman global. Akan tegakkah sosok diri seorang warga bangsa Indonesia di dunia keberagaman global, jika mereka tak faham dan terlatih dengan keberagaman antar suku, agama, pola pikir, budaya/tradisi ? Tidak bisa ditawar Warga Indonesia (dulu), Warga Dunia (kemudian).

Penulisan oleh dikkysudrajat
Cerita Pendek Tentang Kegiatan Keseharian, dan Pengalaman.
Karya.Original

Diubah oleh dikkysudrajat 27-03-2022 09:40
0
212
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.