bajer.dinar212
TS
bajer.dinar212
Mengenang Daan Mogot hingga Paman Prabowo Subianto dalam Tragedi Lengkong



Mengenang Tragedi Lengkong

Suasana sepi begitu terasa ketika memasuki Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna, Tangerang Selatan Sabtu pekan lalu. Daun-daun pohon yang gugur memenuhi areal pemakaman. Makam-makam itu ditata rapi. Di atasnya terdapat topi baja putih milik para pahlawan.

Di Taman Makam Pahlawan ini berbaring abadi jasad ke-48 pasukan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan taruna muda dari Akademi Militer (Militaire Academie) Tangerang dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot. Ketika gugur, Mayor Daan Mogot baru berusia 17 tahun dan sedang melaksanakan tugas di Desa Lengkong, Tangerang Selatan. Peristiwa memilukan itu dikenal dengan sebutan Tragedi Lengkong.



"Ini makam Daan Mogot dan para taruna. Mereka pahlawan di perang Lengkong dulu," kata Jari, 52 tahun, juru makam di TMP Taruna ketika berbincang dengan merdeka.com, Sabtu pekan lalu.

Tragedi Lengkong merupakan salah satu bukti sejarah pergerakan pasukan Indonesia dalam merebut kemerdekaan sepenuhnya dari tangan Belanda. Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak serta-merta mengakui begitu saja kemerdekaan Indonesia. Pada 24 Januari 1946, Mayor Daan Jahja selaku Kepala Staf Resimen menerima informasi jika pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan hendak mengambil alih markas senjata Jepang di Lengkong. Agresi militer yang provokatif ini pun dikhwatirkan akan membahayakan kedudukan Resimen IV di Tangerang.

Mayor Daan Jahja pun tak mau senjata tentara Jepang jatuh ke tangan NICA-Belanda. Untuk melakukan pengamanan, Mayor Daan Jahja memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang. Setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang, Letkol Singgih keesokan harinya, berangkatlah Mayor Daan Mogot dengan kekuatan 70 taruna dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, daam pasukan itu terdapat juga beberapa perwira yakni Mayor Wibowo,Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo dan Lettu Soetopo.



Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo sendiri merupakan paman dari mantan Pangkostrad Letjen (purn) Prabowo Subianto.

"Mereka disuruh ke Lengkong untuk mengambil senjata dari tentara Jepang. Begitu yang saya dengar ceritanya," tutur Jari.

Awalnya pertemuan dengan pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayor Abe berjalan mulus. Bahkan tentara Jepang ini terkesan dengan cara Daan Mogot bersama kawan-kawannya. Adapun yang menemui Mayor Abe adalah Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan Alex Sajoeti, seorang taruna yang fasih berbahasa Jepang kala itu. Mayor Abe ternyata keberatan untuk memberikan begitu saja senjata. Dengan alasan belum mendengar perintah dari atasannya untuk pelucutan senjata, Abe meminta waktu tanpa menghentikan perundingan. Sementara perundingan berjalan, Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo ternyata sudah mulai para taruna untuk memasuki barak senjata Jepang.

Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana sumbernya. Letusan senjata itu pun disusul oleh rentetan senapan mesin pasukan Jepang. Dalam waktu singkat perang yang tak seimbang tak dapat dihindarkan. Sebagian tentara Jepang yang sudah menyerahkan senjatanya kembali merebut senjata dari para taruna. Dikisahkan Jari, terjadi lemparan granat dan pertempuran satu lawan satu menggunakan sangkur.

"Perang tidak seimbang, mereka hanya andalkan senjata seadanya. Lagian pada waktu itu mereka tidak bertujuan untuk berperang melawan Jepang," cerita Jari.

Melihat kejadian yang tak pernah terbayangkan itu, Mayor Daan Mogot keluar dari meja perundingan. Dia berusaha menghentikan pertempuran itu namun gagal. Tak lama kemudian mereka mengugurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong. Selain itu, faktor senjata menjadi salah satu kendala yang sangat berat. Para taruna belum terbiasa menggunakan senapan jenis caraben Terni. Ditambah lagi, sering kali peluru yang dimasukkan tidak sesuai dengan spesifikasi senjata sehingga menyebabkan macet saat dipakai.

Akhirnya, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira, yaitu Mayor Daan Mogot, Lettu Soebianto Djojohadikusumo, dan Lettu Soetopo meninggal dalam pertempuran Lengkong. Para taruna yang masih hidup disandera Jepang dan disuruh menggali kubur bagi teman-temannya yang meninggal. Mendengar kabar itu, Pimpinan Resimen Tangerang kemudian meminta izin kepada Jepang untuk mengambil jenazah para pejuang. Setelah diizinkan, jenazah-jenazah tersebut kemudian dikebumikan di dekat penjara anak-anak Tangerang.

Empat hari setelah Tragedi Lengkong tepatnya pada 29 Januari 1946, dilaksanakan pemakaman kembali ke-36 jenazah yang gugur dalam pertempuran itu. Seorang taruna bernama Soekardi yang mengalami luka berat ahhirnya menghembuskan napas di Rumah Sakit Tangerang.

TMP Taruna kini merupakan lokasi pemakaman ulang. Melalui Keppres RI No. 28/BTK/Tahun 1966 tentang Pemberian Tanda-Tanda Kehormatan tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1966, Presiden Soekarno menetapkan penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III untuk Mayor Daan Mogot dan Letkol Ignatius Slamet Riyadi atas jasa-jasa mereka terhadap negara dan khususnya Akademi Militer Tangerang.

Untuk mengenang Tragedi Lengkong, dibangun sebuah monumen yang terletak di Lengkong Wetan, Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan dengan sebuah rumah tua bercat hijau. Sementara itu di TMP Taruna dibangun pula sebuah monumen senada di mana tertulis kejadian Lengkong lengkap dengan nama-nama ke-48 pahlawan. Sedihnya, dari ke-48 nama ini, tiga pahlawan di antaranya tidak diketahui identitas mereka. Di batu nisan mereka hanya tertulis 'tak dikenal'.

Adapun di monumen TMP Taruna sebuah sajak diukir dengan rapi. Sajak itu dulunya berbahasa Belanda buatan Henriette Roland Holst ditemukan di saku seragam Lettu Soebianto Djojohadikusumo pada saat proses pemindahan makam dari Lengkong ke TMP Taruna. Sajak itu kemudian digubah ke dalam Bahasa Indonesia, bunyinya demikian:

Kami bukan pembina candi,

Kami hanya pengangkut batu,

Kamilah angkatan yang mesti musnah,

Agar menjelma angkatan baru,

Di atas kuburan kami telah sempurna.




Pertempuran Lengkong Part 2

"Orangnya ganteng, gagah dan masih muda. Namanya Daan Mogot," kata Jari (64), juru makam di Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna, Tangerang Selatan sembari menunjukkan sebuah makam dengan sebilah salib di atasnya. Di batu nisan, tertulis nama Daan Mogot. Diqa lahir tanggal 28 Desember 1927 dan wafat tanggal 25 Januari 1946.

Mayor Daan Mogot atau Elias Daan Mogot, 17 tahun merupakan perwira ditugaskan untuk memimpin pasukan Barisan Keamanan Rakyat dan para taruna binaannya dari Akademi Militer Tangerang untuk melucuti senjata pasukan Jepang agar tidak jatuh ke tangan NICA-Belanda pada 25 Januari 1946. Sebelum mendapatkan kesepakatan dengan pasukan Jepang di bawah komando Mayor Abe, Daan Mogot dan pasukannya di brondong peluru oleh pasukan Jepang di Desa Lengkong, Tangerang Selatan. Peristiwa berdarah nan memilukan itu dikenal sebagai Tragedi Lengkong. Daan Mogot dan pasukannya gugur sebagai pahlawan.

"Dia itu orangnya masih muda tapi sudah bisa memimpin. Ketika ada perintah merebut senjata dari Jepang, Daan Mogot ditugaskan ke Lengkong untuk melucuti senjata tentara Jepang di barak Lengkong," ujar Jari.

Tak saja karena usianya yang masih muda untuk memimpin sebuah pasukan, Daan Mogot dikenal sebagai perwira yang loyal kepada anak buahnya. Kejadian itu terjadi ketika anak binaannya dari Akademi Militer Tangerang dibantai oleh pasukan Jepang. Daan Mogot yang kala itu masih mengadakan perundingan dengan Mayor Abe seketika keluar dari ruangan dan serta merta mengambil senapan mengadang tembakan pasukan Jepang. Daan Mogot dikabarkan terkena tembakan di bahu kanannya.

"Katanya dia mau cegah agar tidak terjadi tembakan tapi gagal, lalu dia ambil senapan dan mengadang tentara Jepang yang membantai pasukannya dengan senapan mesin," cerita Jari.

Dilansir dari Wikipedia, Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 28 Desember 1928. Perwira muda ini merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Daan Mogot memiliki saudara sepupu yakni, Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta), dan Irjen Pol A. Gordon Mogot, mantan Kapolda Sulut.

Daan Mogot memiliki serangkaian pengalaman kemiliteran, mulai dari menjadi Anggota Seinen Dojo angkatan pertama (1942-1943), Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1 (1943), Shodancho PETA di Bali (1943-1944), Staf Markas PETA i di Jakarta (1944-1945), Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor) pada 1945, dan merupakan salah seorang pendiri, sekaligus menjadi Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) atau Akademi Militer Tangerang dalam kurun waktu yang singkat (1945-1946).

Daan Mogot terhitung sebagai tentara yang cepat mendapat gelar Mayor pada usia muda (16). Ketika Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1845, Daan Mogot ditunjuk menjadi salah satu tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR), dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). BKR yang dibentuk pada 23 Agustus 1945, mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Karesidenan Jakarta, atau empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya.

Salah satu prestasi yang berhasil diukir Daan Mogot adalah idenya dalam membentuk sekolah akademik militer. Tepat pada pada 18 November 1945, Daan Mogot dilantik menjadi Direktur Akadami Militer Tangerang pada saat baru berusia 17 tahun. Namun demikian, gagasan membentuk sekolah militer ini sebenarnya tak hanya datang dari Daan Mogot tapi juga dari Kemal Idris, Daan Jahja dan Taswin.

Untuk mengabadikan nama Daan Mogot dan mengenang jasa-jasa ke pahlawannya, ruas Jalan di daerah Grogol, Jakarta Barat menuju Kota Tangerang pun diberikan nama Jalan Daan Mogot.

Tragedi Lengkong terjadi pada 25 Januari 76 tahun lalu. Pertempuran di Tangerang ini membuat Mayor Daan Mogot hingga Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo gugur.


Menhan Prabowo Subianto menabur bunga di TMP Taruna, Tangerang, Banten, Rabu (26/1/2022) pada peringatan Hari Bhakti Taruna.


Di sinilah para perwira TRI (kini TNI) dan Taruna Akmil Tangerang dimakamkan usai tragedi Lengkong (kini berlokasi di Tangsel) tanggal 25 Januari 1946.


Mengingat kembali, pada tanggal 25 Januari 1946, mayor bernama lengkap Elias Daniel Mogot itu ditugaskan untuk melucuti senjata tentara Jepang di Tangerang. Saat itu Jepang telah resmi dinyatakan kalah dari Sekutu dalam Perang Dunia II.












Sumber :

- https://www.merdeka.com/khas/mengena...engkong-1.html

- https://www.merdeka.com/khas/daan-mo...engkong-2.html

- https://news.detik.com/foto-news/d-5...agedi-lengkong
masaditiadauarranilwatikta1965
nilwatikta1965 dan 32 lainnya memberi reputasi
29
6.5K
42
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
icon
6.5KThread10.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.