- Beranda
- Stories from the Heart
Everything's Gonna Be Allright
...
TS
pattysmyth
Everything's Gonna Be Allright
1. Puisi
"Binasa, By David.
Kata-kata yang ku katakan tak sama dengan rasa yang yang ada di dada
Bualan demi bualan mengalir lancar tanpa halangan
Rasa ini terasa seperti nyata
Meluncur cepat kedalam arteri dan vena
‘Ini saja yang ku punya, apa lagi yang kau pinta?’
Sambil merogoh rasa yang katanya nyata ini di dalam jiwa yang hampir binasa
Menyerahkan rasa itu pada nya
Dia tersenyum,
‘Aku tak perlu rasa mu, yang aku mau jiwamu yang katanya hampir binasa itu’
‘Untuk apa?
Jiwa itu sudah lama tenggelam hampir tak terselamatkan dalam perkara yang kelam
Dengan pilu dari sembilu yang menyayat kalbu bertahun-tahun lalu’, kataku
Dia kembali tersenyum,
'Jiwamu yang hampir binasa itu mengingatkanku akan rasa yang kurasakan dulu
Hampir terpatri mati di dalam diri ini
Kalau saja hembusan nafasmu tak datang menyelamatkan ku
Dari duri menghujam sanubari membuatku mati suri
Biarkan aku membagikan nafas yang kudapat darimu
Agar jiwa yang hampir binasa itu kembali bernyawa seperti semula”.
“Ok, beri tepuk tangan untuk David” kata ibu guru kepada murid-murid di dalam kelas yang disambut dengan tepuk tangan pelan yang datang dari beberapa murid yang tidak antusias.
Sisanya? Hanya terdiam. Entah tercengang dengan apa yang gua ucapkan atau tak paham dengan maksud puisi yang penuh arti tertanam di dalam jiwa gua yang kelam.
Gua pun melangkahkan kaki, berjalan kembali menuju meja di ujung sana.
“Berakkkk…jiwa, binasa, pilu…prettt…” katanya segera setelah gua kembali duduk di samping nya.
“Biasa boy, jiplak!, mentok gua semalam” kata gua kepada Jono yang kini sedang mencoret beberapa kata-kata di dalam puisi yang di tulis di bukunya.
“Ok Jono, sekarang giliran kamu” Kata Ibu guru yang membuat Jono terperanjat
“I-Iya bu, sebentar” Jawab Jono sambil mencoba menghapus coretan barusan dengan penghapus karet
‘Plakkk’
“Belegug! Mana bisa tulisan pulpen di hapus pake penghapus karet” kata gua setelah telapak tangan gua melayang dengan sempurna di belakang kepalanya.
“Nih, ada satu lagi, pake aja” lanjut gua sambil memberikan sebuah buku dengan lembaran yang sudah terbuka dan beberapa baris kalimat tertulis di atasnya.
“Dari tadi kek!” katanya sambil meraih buku yang gua sodorkan barusan lalu bergerak melangkah maju ke depan kelas.
“Ehm….Hujan by Da...Eh, By Jono
Hujan…
Basahlah sepatu dan seragamku
Menunggu di tepi portal dengan tetesan kristal membasahi badan ku dengan brutal
‘Sial!’ teriak ku
Demi ilmu yang pada akhirnya datang sepintas tertulis di dalam kertas
Kubakar rok….ehh….”
Jono berhenti membaca dan melihat gua dibelakang sedang membuat kepulan asap imajenasi dari mulut.
“Kubakar…emmm….kubakar…kertas, yah, kubakar kertas dibawah atap yang hampir bobrok
Mencoba menghangatkan tubuh menunggu hujan ini berhenti tumbuh
Lalu kembali berlari mencari ilmu yang ku rasa semu”
Suasana kelas hening.
“Sudah bu” kata Jono menutup buku lalu berdiri terpaku
“Oh, Ok…ok, beri tepuk tangan untuk Jono” kata ibu guru tersebut memicingkan sepasang matanya menatap Jono seperti ingin meminta penjelasan tentang puisi yang baru di bacanya diikuti dengan tepuk tangan meriah dari para murid, cukup meriah di bandingkan gua tadi.
Jono pun berjalan menuju tempat duduk nya sambil tersenyum sesekali membungkukkan badannya dengan tangan di dada memberi salut ke beberapa sisi ruangan kelas.
‘Ternyata perasaan jujur masih layak untuk di apresiasi di dunia ini, paling tidak di kelas ini’ kata gua dalam hati sambil memberi selamat kepada Jono.
“Good job!” Ucap gua sambil menyambutnya yang baru saja duduk di sebelah gua.
“Untung aja gua jago improvisasi!” katanya sambil menyerahkan buku yang sudah tergulung kepada gua.
Gua pun kembali menghadap ke depan kelas, Kali ini giliran seorang gadis sudah berdiri bersiap untuk membacakan puisi buatannya.
Menarik, gua menangkap sekilas senyum yang tiba-tiba hilang setelah tertangkap basah menatap gua dari depan sana lalu tatapan nya kembali di alihkan ke pada buku yang di pegang dengan kedua tangan nya.
Gua menoleh kebelakang memastikan bahwa hanya ada dinding tembok berlapiskan cat berwarna putih.
“Ayo Kirana, kamu sudah bisa mulai” kata ibu guru tersebut meminta kirana segera membacakan puisi nya.
“Jatuh Cinta, by Kirana”
“Cieehhhhhh…” teriak belasan murid setelah kirana membacakan Judul puisinya.
“Sttttttttt…” Suara yang terdengar dari sela-sela mulut yang tertutup jari telunjuk ibu guru yang mencoba untuk menenangkan kelas.
“Ayo, lanjut” kata ibu guru tersebut setelah keadan kelas mulai tenang.
Hening. Wajahnya kini memerah, kepalanya tertunduk.
Seperti tercium keraguan dari dalam dirinya untuk tidak melanjutkan isi puisi yang tertulis di dalam buku dihadapan nya.
‘Ini baru judul boy, gimana isinya?’ kata Jono berbisik kepada gua.
"Binasa, By David.
Kata-kata yang ku katakan tak sama dengan rasa yang yang ada di dada
Bualan demi bualan mengalir lancar tanpa halangan
Rasa ini terasa seperti nyata
Meluncur cepat kedalam arteri dan vena
‘Ini saja yang ku punya, apa lagi yang kau pinta?’
Sambil merogoh rasa yang katanya nyata ini di dalam jiwa yang hampir binasa
Menyerahkan rasa itu pada nya
Dia tersenyum,
‘Aku tak perlu rasa mu, yang aku mau jiwamu yang katanya hampir binasa itu’
‘Untuk apa?
Jiwa itu sudah lama tenggelam hampir tak terselamatkan dalam perkara yang kelam
Dengan pilu dari sembilu yang menyayat kalbu bertahun-tahun lalu’, kataku
Dia kembali tersenyum,
'Jiwamu yang hampir binasa itu mengingatkanku akan rasa yang kurasakan dulu
Hampir terpatri mati di dalam diri ini
Kalau saja hembusan nafasmu tak datang menyelamatkan ku
Dari duri menghujam sanubari membuatku mati suri
Biarkan aku membagikan nafas yang kudapat darimu
Agar jiwa yang hampir binasa itu kembali bernyawa seperti semula”.
“Ok, beri tepuk tangan untuk David” kata ibu guru kepada murid-murid di dalam kelas yang disambut dengan tepuk tangan pelan yang datang dari beberapa murid yang tidak antusias.
Sisanya? Hanya terdiam. Entah tercengang dengan apa yang gua ucapkan atau tak paham dengan maksud puisi yang penuh arti tertanam di dalam jiwa gua yang kelam.
Gua pun melangkahkan kaki, berjalan kembali menuju meja di ujung sana.
“Berakkkk…jiwa, binasa, pilu…prettt…” katanya segera setelah gua kembali duduk di samping nya.
“Biasa boy, jiplak!, mentok gua semalam” kata gua kepada Jono yang kini sedang mencoret beberapa kata-kata di dalam puisi yang di tulis di bukunya.
“Ok Jono, sekarang giliran kamu” Kata Ibu guru yang membuat Jono terperanjat
“I-Iya bu, sebentar” Jawab Jono sambil mencoba menghapus coretan barusan dengan penghapus karet
‘Plakkk’
“Belegug! Mana bisa tulisan pulpen di hapus pake penghapus karet” kata gua setelah telapak tangan gua melayang dengan sempurna di belakang kepalanya.
“Nih, ada satu lagi, pake aja” lanjut gua sambil memberikan sebuah buku dengan lembaran yang sudah terbuka dan beberapa baris kalimat tertulis di atasnya.
“Dari tadi kek!” katanya sambil meraih buku yang gua sodorkan barusan lalu bergerak melangkah maju ke depan kelas.
“Ehm….Hujan by Da...Eh, By Jono
Hujan…
Basahlah sepatu dan seragamku
Menunggu di tepi portal dengan tetesan kristal membasahi badan ku dengan brutal
‘Sial!’ teriak ku
Demi ilmu yang pada akhirnya datang sepintas tertulis di dalam kertas
Kubakar rok….ehh….”
Jono berhenti membaca dan melihat gua dibelakang sedang membuat kepulan asap imajenasi dari mulut.
“Kubakar…emmm….kubakar…kertas, yah, kubakar kertas dibawah atap yang hampir bobrok
Mencoba menghangatkan tubuh menunggu hujan ini berhenti tumbuh
Lalu kembali berlari mencari ilmu yang ku rasa semu”
Suasana kelas hening.
“Sudah bu” kata Jono menutup buku lalu berdiri terpaku
“Oh, Ok…ok, beri tepuk tangan untuk Jono” kata ibu guru tersebut memicingkan sepasang matanya menatap Jono seperti ingin meminta penjelasan tentang puisi yang baru di bacanya diikuti dengan tepuk tangan meriah dari para murid, cukup meriah di bandingkan gua tadi.
Jono pun berjalan menuju tempat duduk nya sambil tersenyum sesekali membungkukkan badannya dengan tangan di dada memberi salut ke beberapa sisi ruangan kelas.
‘Ternyata perasaan jujur masih layak untuk di apresiasi di dunia ini, paling tidak di kelas ini’ kata gua dalam hati sambil memberi selamat kepada Jono.
“Good job!” Ucap gua sambil menyambutnya yang baru saja duduk di sebelah gua.
“Untung aja gua jago improvisasi!” katanya sambil menyerahkan buku yang sudah tergulung kepada gua.
Gua pun kembali menghadap ke depan kelas, Kali ini giliran seorang gadis sudah berdiri bersiap untuk membacakan puisi buatannya.
Menarik, gua menangkap sekilas senyum yang tiba-tiba hilang setelah tertangkap basah menatap gua dari depan sana lalu tatapan nya kembali di alihkan ke pada buku yang di pegang dengan kedua tangan nya.
Gua menoleh kebelakang memastikan bahwa hanya ada dinding tembok berlapiskan cat berwarna putih.
“Ayo Kirana, kamu sudah bisa mulai” kata ibu guru tersebut meminta kirana segera membacakan puisi nya.
“Jatuh Cinta, by Kirana”
“Cieehhhhhh…” teriak belasan murid setelah kirana membacakan Judul puisinya.
“Sttttttttt…” Suara yang terdengar dari sela-sela mulut yang tertutup jari telunjuk ibu guru yang mencoba untuk menenangkan kelas.
“Ayo, lanjut” kata ibu guru tersebut setelah keadan kelas mulai tenang.
Hening. Wajahnya kini memerah, kepalanya tertunduk.
Seperti tercium keraguan dari dalam dirinya untuk tidak melanjutkan isi puisi yang tertulis di dalam buku dihadapan nya.
‘Ini baru judul boy, gimana isinya?’ kata Jono berbisik kepada gua.
Diubah oleh pattysmyth 14-01-2022 08:55
bukhorigan dan nandocuomo memberi reputasi
2
743
1
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•41.6KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru