• Beranda
  • ...
  • Budaya
  • Ketidaksetaraan Gender terhadap Pekerja Wanita di Indonesia dan Jepang

nadhiramAvatar border
TS
nadhiram
Ketidaksetaraan Gender terhadap Pekerja Wanita di Indonesia dan Jepang
UAS Kajian Gender dan Perempuan Jepang - Nadhira Meizahra 121911333065

Perempuan seringkali dianggap sebagai seseorang yang sepenuhnya bertanggung jawab pada lingkup domestik. Hingga saat ini masih ada persepsi negatif terhadap perempuan yang bekerja, khususnya bagi yang sudah berumah tangga. Beberapa masyarakat yang sudah terbiasa dengan budaya patriarki, merasa bahwa laki-laki adalah sosok yang harus bekerja untuk menafkahi keluarga, sedangkan perempuan diharap untuk tinggal di rumah dan mengatur urusan rumah tangga. Terkadang perempuan juga dituntut untuk tidak mengejar ilmu di jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena kultur patriarki yang mendorong mereka untuk ‘hanya’ mengurus rumah tangga sehingga mereka tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menambah ilmu dan mengembangkan potensi diri.
Di Era Globalisasi ini, mulai banyak perempuan yang turut bekerja khususnya di bidang perusahaan. Namun, hal ini tidak serta merta menghilangkan ketidaksetaraan gender dalam perlakuan pihak perusahaan terhadap pekerja wanita di dalamnya. Masih terdapat perlakuan tidak adil yang harus diterima oleh pekerja wanita setiap harinya.Sari (2020:358) mengatakan bahwa Jepang adalah negara maju yang menduduki peringkat indeks kehidupan di atas rata-rata yang meliputi kekayaan, pendidikan, keterampilan, pekerjaan, pendapatan, keamanan personal, serta kualitas lingkungan, yang didukung oleh kualitas penanganan kesehatan serta pendidikan. Namun meski begitu, Jepang masih berada di peringkat bawah rata-rata dalam hal perumahan, keterlibatan sipil, koneksi sosial, kehidupan dan status kesehatan, serta keseimbangan pekerjaan. Melalui The Global Gender Gap Report yang dirilis oleh World Economy Forum, Jepang menduduki peringkat ke-114 dalam indeks global kesenjangan gender dari 140 negara. Ini dipengaruhi oleh terjadinya diskriminasi gender khususnya pada perempuan di Jepang.Dalam bidang ketenagakerjaan, pekerja perempuan mendapat upah yang lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Di tahun 2018, ditinjau dari laporan yang dirilis oleh Organization for Economic Cooperation and Development, terdapat kesenjangan upah terhadap pekerja perempuan dan pekerja laki-laki sejumlah 24.5%. Sedikit jumlah pekerja perempuan yang dapat menduduki jabatan manajerial. Terdapat pula faktor dari ekspektasi gender terhadap perempuan Jepang yang cukup konservatif, Steel (2019) mengatakan salah satu bentuknya adalah menjadi ibu rumah tangga (Sari, 2020: 362). Selain itu, Vogt (2018) menjelaskan bentuk lain; perempuan dituntut untuk dapat mengurus keluarga berusia lanjut sebagai bentuk normalisasi nilai-nilai ibu rumah tangga untuk melayani (Muta, 2006, dalam Steel, 2019) negara sehingga perempuan tidak memiliki waktu yang cukup dalam mengembangkan diri mereka di lingkup karir. (Sari, 2020: 362-363). Oleh karena itu, partisipasi laki-laki dalam mengurus rumah tangga tergolong rendah.
Pada lingkup pekerjaan, perempuan juga kerap mendapat perlakuan yang tidak baik. Hampir 1/3 pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual saat bekerja, hingga dipaksa untuk melakukan hubungan seksual. Dalam survey Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, menunjukkan sejumlah 30% dari total keseluruhan responden pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Sedangkan 40% pekerja perempuan pernah disentuh secara tidak menyenangkan oleh rekan kerja, dan 17% pekerja perempuan pernah diajak atau dipaksa untuk melakukan hubungan seksual. Menurut Mainichi Japan (2019), terdapat pula survey yang diadakan oleh sekelompok pekerja lepas di Tokyo, survey ini menunjukkan 60% pekerja lepas dari total responden pernah mengalami power harrasment dan hampir 40% dari keseluruhan responden mengalami pelecehan seksual. Tidak hanya itu, menurut Hernon (2010), banyak perempuan di Jepang yang juga mengalami maternity harassment. (Sari, 2020:364)
Pada era pemerintahan Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang ini di tahun 2015 telah mengeluarkan kebijakan womenomics dimana kebijakan ekonomi tersebut diciptakan untuk meningkatkan jumlah pekerja perempuan dalam memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja di Jepang. Pekerja perempuan mendapat privilege untuk cuti melahirkan, mengurus anak, serta jam kerja yang lebih sedikit dibanding pekerja laki-laki, mayoritas pekerja perempuan yang sudah berkeluarga masih tidak terlepas dari kewajiban mengurus anak dan rumah tangga (fenomena M-curve). Namun karena hal ini, partisipasi pekerja perempuan dalam bekerja menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja laki-laki, dan mengakibatkan mereka lebih sulit mendapat promosi ke jabatan yang lebih tinggi dalam karir. Dengan adanya ekspektasi gender dari masyarakat dan kultur yang cukup konservatif, serta upah bagi pekerja wanita yang tidak setara dengan pekerja laki-laki, tidak sedikit perempuan yang meninggalkan karirnya setelah berkeluarga.
Tidak jauh berbeda dengan Jepang, sebagian pekerja perempuan di Indonesia juga masih mendapat perlakuan yang tidak setara dalam bekerja. Meski perempuan yang bekerja dianggap tidak asing lagi di Indonesia, namun masih ada diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Menurut Wiladatika (2016:4), faktor penyebab adanya diskriminasi ini adalah fisik laki-laki yang cenderung lebih kuat dibanding perempuan karena faktor hormonal. Faktor biologis dimana perempuan mengalami haid, melahirkan, menyusui, nifas, dan sebagainya sehingga mengurangi produktivitas dalam bekerja, adanya faktor sosio-kultural yang menuntut perempuan berada di rumah dan bertugas di dapur, serta peran ganda perempuan dalam bekerja dan mengurus keluarga.Namun meski perlakuan ketidaksetaraan bagi pekerja perempuan tidak jauh berbeda dengan di Jepang, Wiladatika (2016:5) juga menjelaskan adanya hak yang sering diabaikan perusahaan terhadap pekerja perempuan, yaitu adanya larangan hamil bagi pekerja perempuan selama periode kerja tertentu, perlindungan untuk pekerja wanita pada masa kehamilan, cuti hamil dan melahirkan, cuti keguguran, tidak adanya biaya persalinan, hak menyusui dan hak cuti menstruasi. Dilansir dari The Conversation (2020), mengacu pada Data Organisasi Buruh Internasional pada 2018, hanya setengah dari populasi pekerja perempuan di Indonesia dan jumlahnya tidak pernah bertambah. Sedangkan jumlah tenaga kerja laki-laki mencapai hampir 80% populasi. Salah satu faktor mengapa pihak perusahaan cenderung sukar merekrut pekerja perempuan adalah karena stigma bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki dalam bekerja. Seorang Peneliti Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia, Diahhadi Setyonaluri berkata “Tenaga kerja perempuan dianggap lemah. Misalnya ketika harus mengurus anak, dianggap beban pekerjaannya harus dikurangi. Kepercayaan saat rekrutmen juga berkurang karena acap kali dianggap sering tidak masuk kerja”. Staf pengajar di FH Universitas Sriwijaya juga menjelaskan bahwa buruh perempuan cenderung dianggap sebagai orang kedua. Akibatnya, buruh perempuan sering diperlakukan semena-mena, bahkan tidak sedikit dari mereka yang dipersulit dalam mendapat cuti haid yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Di akhir tahun 2017, terdapat penelitian yang menunjukkan hasil bahwa dari 773 buruh perempuan, 437 di antaranya pernah mengalami pelecehan seksual, 106 buruh perempuan mengalami pelecehan verbal, 79 buruh perempuan mengalami pelecehan fisik, serta 252 buruh perempuan mengalami kedua bentuk pelecehan ini. Dari 437 buruh perempuan yang mengalami pelecehan seksual, hanya 26 yang berani melapor karena takut pekerjaan mereka dapat terancam.
Dari hasil analisis yang didapat dari kedua negara ini, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat ketidaksetaraan gender dalam perlakuan sekitar terhadap pekerja wanita. Seperti contohnya pihak perusahaan yang cenderung mengutamakan pekerja laki-laki dibanding pekerja perempuan karena faktor sosio-kultural, dimana persepsi masyarakat yang memberi ekspektasi gender pada perempuan untuk mengurus rumah tangga dan laki-laki bertanggung jawab untuk mencari uang dan menafkahi keluarga. Lalu faktor biologis, dimana perempuan mengalami haid, melahirkan, menyusui, dan secara fisik cenderung lebih lemah dibanding laki-laki karena hormonal, sehingga sebagian perusahaan cenderung sulit menerima pekerja perempuan. Adapun perlakuan tidak mengenakan yang harus diterima oleh sebagian pekerja perempuan seperti pelecehan seksual, power harassment, dan maternity harrasment.
Diubah oleh nadhiram 13-01-2022 04:41
0
2.8K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
Budaya
icon
2.3KThread1KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.