dryanimaAvatar border
TS
dryanima
Your Mind #Cerpen
Yang aku hanya ingat adalah bagaimana aku selamat beberapa jam yang lalu.

Saat mungkin saja kepalaku terhantam batu karang, sebuah tangan menarik lenganku dari arah atas. Secercah cahaya dari atas permukaan air itu masih mampu kulihat karena menyorot persis ke mataku yang tak berkedip. Napasku mulai habis bersamaan dengan banyaknya air yang masuk ke dalam mulut dan hidungku. Rasa pening dan sesak juga membuat tubuhku makin melemah. Dan saat aku berharap kematian itu datang, sebuah tangan menarikku. Sial.

Aku loncat dari tebing. Kegiatan kampus, yaitu bungee jumping adalah salah tiga dari beberapa pilihan lain untuk out bound anak-anak semester lima dan aku memilih ini sebagai yang aku inginkan. Aku suka sebuah adrenalin yang melegakan hatiku walau hanya untuk beberapa saat. Sebenarnya beberapa temanku tidak menyarankan karena alasan keamanan atau apalah itu alasannya, tetapi aku tetap keras kepala. Terakhir kuingat, semuanya sudah siap dan aman. Keamanan yang memasangkan alat-alat itu juga sudah yakin semuanya akan baik-baik saja. Namun, entah mengapa ketika aku loncat ternyata tali belum dipasangkan dengan kuat. Kecerobohan pihak yang bertugas tapi juga karena ketidaksengajaanku. Aku sedikit melonggarkan kaitan tali itu karena membuatku sesak dan aku melakukannya tanpa disadari oleh pihak keamanan rekreasi ini. Alhasil, ketika aku meloncat, tiba-tiba kaitan itu terlepas. Aku lepas dari cengkraman pengaman dan terjun bebas. Semua berteriak panik dan histeris.

Aku sudah berpikir kalau kepalaku mungkin saja akan terbentur dasar laut. Hentakan air cukup keras kurasakan tepat di kepalaku karena kepalaku jatuh duluan ke permukaan air. Rasanya menyenangkan. Jujur. Aku seperti senang saja menghadapi kematian jika pada saat itu memang benar terjadi. Aku tidak memejamkan mata sedikitpun. Aku benar-benar siap. Aku bahkan tidak berusaha untuk berenang naik ke permukaan. Aku membiarkan tubuhku perlahan tenggelam berayun menuju dasar laut sedalam mungkin. Kalaupun berusaha berenang, aku yakin seribu persen meski tenagaku melawan arus air, tidak akan kuat. Berenang di kolam dan di laut adalah dua hal berbeda. Aku memang belum pernah berenang di laut tapi aku pernah dulu mencoba berenang di pantai dan terseret ombak tapi selamat.

Jadi rasanya begitu, pikirku. Mataku masih terpejam walau samar-samar aku mulai bisa mendengar suara sekelilingku. Bincangan mengenai apakah kepalaku terbentur atau tidak dan lain sebagainya malah membuat kepalaku dan telinga ini makin sakit. Aku masih berusaha memejamkan mataku, seakan-akan kritis dan mati tapi akhirnya aku buka kelopak mataku. Silau.

Aroma obat—khas rumah sakit—menyeruak masuk ke indera penciumanku yang entah mengapa jadi lebih peka. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke penglihatanku. Dadaku sakit. Tunggu, sudah berapa lama aku tidak sadar? “Dua hari.” Seorang dokter lantas mengatakan hal tersebut seakan membaca pikiranku. “Dua hari kamu tidak sadar, Katya.” Aneh. Belum apa-apa aku sudah dibuat pusing. Pertanyaan saja belum terucap, bagaimana dia bisa—
          “Baca pikiran? Oh, ayolah… ini hal terjadi juga sama saya.” Dokter laki-laki itu berdiri tegap mengecek tensi darahku sambil berkata dengan santai. “Katya Elena.” Dia mengucapkan namaku dengan logat yang amat familiar. “…Rusia?” kali ini dokter itu menebak. “Ah, pantas. Indo?” celetuknya lagi. Sungguh, demi apapun, aku benar-benar bingung.
          Ayah orang Rusia atau ibu? 
          Apa itu pikirannya?
          “Nenek.” Aku menjawabnya. Aku mengernyitkan dahi. Apa orang ini punya bakat supernatural atau apa? Seakan-akan memang bisa membaca pikiran, dokter itu tersenyum jahil namun tak mengeluarkan respons apapun. Tidak berkata sepatah kata apapun. Dari parasnya terlihat bukan seperti orang Indonesia asli. Dokter itu sepertinya berdarah campuran, tapi bukan Eropa.
          “Korea.” Senyuman meledek itu lagi-lagi ditunjukkan. Aku tersentak. Coba dengar pikiran saya, bisa? Aku mendengar suara itu, sorot matanya menelesak masuk kepadaku. Menohokku. Apa ini? Aku seakan bermimpi. Wajah pria itu makin serius dan tajam. Aku mendengar pikiran siapa? Apakah aku halusinasi? Atau ini efek benturan batu karang itu?  
          “Kayaknya memang dikarenakan benturan itu, tapi bisa jadi karena Tuhan masih kasih kesempatan—” Dokter itu kemudian menyuntikkan semacam obat ke dalam infus yang menggantung di tiang gantung infus di samping ranjangku. “—dan kamu tidak sedang berhalusinasi.”
          Persetan, pikirku.
          “Wow, kasar sekali,” tawa pelan dokter tersebut menggaung di seluruh penjuru ruangan. “Kurangi berpikir dan bicara kasar, oke? Kamu masih muda.” Pria itu sekitar berusia akhir 20-an. Parasnya menarik dan menenangkan. Jika benar pria itu keturunan Korea, maka memang terlihat jelas pada kulitnya yang bersih meski tak seputih dan sepucat orang asli Korea. Sepertinya tidak hanya Korea, mungkin saja…
          “Kakek Rusia, nenek Indonesia. Ayah Korea dan ibu Indonesia-Rusia—keturunan Sunda juga lebih tepatnya. Menarik, bukan? Indahnya DNA manusia yang bercampur dan melahirkan sebuah manusia aneh ini ke dunia. Keanehan yang tercipta karena percampuran dari keindahan…” Pria itu mengalungkan stetoskopnya di leher, satu tangannya menggulung bagian lengan kemejanya sampai ke siku yang agak melorot. Dokter itu tersenyum, “Istirahat yang cukup. Tanggung jawab dengan amanah Tuhan itu. Jaga.”  
 
         Belum sempat aku bertanya, dokter itu sudah lebih dulu berlalu dan meninggalkan ruangan. Sekilas kulihat dokter itu mengenakan earpods ke telinganya. Apa benar itu manusia? Jangan-jangan itu roh penasaran yang datang menyerupai seorang dokter yang memeriksaku tadi. Tidak. Pasti ini khayalan. Ini imajinasi. Ini—
          Bagaimana kalau terjadi apa-apa?
          Apa yang bisa dilakukan seseorang untuk menyenangkan pasangannya?
          Kenapa juga bisa ketemu mantan?
Tidak. Kenapa berisik sekali? Suara-suara siapa ini? Kenapa begini? Aku menutup telingaku tapi suara-suara itu menggema dan bersahut-sahutan. Makin lama makin banyak dan berisik. Kepalaku pusing. Sakit, seakan-akan semuanya tumpang tindih. Apakah aku semacam kerasukan? Entah dari mana tiba-tiba aku mendengar Katya, apakah dia baik-baik saja? Aku tidak tahu kalimat itu suara atau pikiran. Berisik.

          Aku teriak. Teriak histeris sambil menutup rapat kedua telingaku. Teriakanku melengking. Seisi ruangan seakan bergetar karena suaraku. Kalaupun mungkin, vas bunga pasti akan pecah berhamburan di lantai akibat lengkingan suaraku. Aku menangis. Bagaimana ini? Kenapa begini? Air mataku berderai deras. Baru kali ini seorang Katya ketakutan.
          Para staf perawat dan dua orang dokter masuk ke dalam kamar rawat. Beberapa diantara mereka panik dan berusaha memegang tanganku. Sepertinya mulai kambuh… apa ini reaksi benturan?... kayaknya kepalanya terluka parah… sepertinya mengalami shock berat… oh, apa ini namanya trauma dan gangguan psikis karena kecelakaan… Hal itu terdengar ramai dalam pikiranku. Orang-orang ini menduga lewat pikiran mereka masing-masing dan aku dengar...
          Seorang perawat wanita mengeluarkan suntikan entah dari mana. Ia menyuntikan itu ke lenganku. Selama beberapa detik setelahnya pergerakanku yang meronta-ronta perlahan melemah dan tubuhku lunglai. Tangisanku terhenti. Napasku yang tersenggal mulai teratur dan semuanya gelap.


To be continued... (?)

bukhoriganAvatar border
evywahyuniAvatar border
phyu.03Avatar border
phyu.03 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
843
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.