• Beranda
  • ...
  • Inspirasi
  • Menyambut Hari Sumpah Pemuda: Merajut Untaian Cinta Dengan Dongeng Gembira

apriliaskmwtAvatar border
TS
apriliaskmwt
Menyambut Hari Sumpah Pemuda: Merajut Untaian Cinta Dengan Dongeng Gembira



 Konflik kekerasan di Ambon, dan  menyebar ke sejumlah pulau di Maluku, yang berlangsung pada tahun 1999 hingga 2003, ternyata meninggalkan luka berkepanjangan. Bentrok fisik telah terhenti, namun cerita-cerita tentang aksi kekerasan, kebencian, kemarahan, kepedihan, intoleransi bahkan baku bunuh, masih dituturkan dan diglorifikasikan.

Tidak terhindarkan pula, cerita-cerita kelam itu merembes melewati batas waktu dan terwariskan kepada anak-anak. Tak pelak, anak-anak yang tumbuh di daerah konflik dan peperangan rentan mengalami depresi, kecemasan, dan  perasaan tidak aman. Mereka menjadi korban letupan konflik sosial yang kemudian tergelincir dengan penggunaan kedok agama.

Amat disayangkan dalam masa tumbuh kembangnya, jsuteru sebagian anak-anak Maluku dijauhkan dari perasaan kasih sayang, penghormatan satu sama lain, dan nilai-nilai positif. Dalam hal ini, selain sosok yang melindungi dan mengasihi, media hiburan bisa membantu, salah satunya melalui cerita-cerita dongeng yang membawa aura positif.

Dongeng bisa menjadi sarana menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang berguna untuk ditanamkan pada anak-anak. Kisah dongeng bisa dibacakan melalui buku cerita atau secara lisan dari mulut ayah dan ibu untuk kisah menjelang tidur, bisa juga oleh guru-guru di sekolah atau  madrasah, dari kakak kepada adik, atau di antara teman sebaya.

Eklin Amtor De Fretes, 30 tahun, yang  biasa disapa Kak Eklin, menjadi sosok yang mencoba mengisi kekosongan itu di Ambon dan Maluku. Ia mendatangi kelompok-kelompok anak dan dengan senang hati ia bercerita kisah-kisah tentang perdamaian, persahabatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada binatang, alam lingkungan, dan tema lainnya yang menyampaikan nilai-nilai kebaikan.

Eklin mendongeng secara berkeliling dari kampung ke kampung. Dalam mendongeng, ia membawa sebuah boneka yang menjadi teman setianya saat menuturkan cerita. Boneka ventriloquist  dengan karakter anak laki-laki rambut hitam itu diberinya nama Dodi. Ia bisa berbicara dengan suara perut, dan menjadi kawan dialog Eklim. Mereka mendongengkan cinta dan kasih sayang dalam  spektrum yang luas dan dari sudut pandang yang universal.

Sejak 2017, bersama Dodi, Eklin  berkelana dari satu desa ke desa lain, dari satu komunitas yang lain. Di lapangan, Eklin masih bisa merasakan adanya rasa takut dan curiga di antara mereka yang pernah bertikai. ‘’Yang membahagiakan ialah, dengan medium dongeng  anak-anak itu kami bisa datang ke komunitas yang berbeda tanpa hambatan dan tanpa kecurigaan,’’ katanya.

Dongeng anak-anak juga seperti menjadi sarana pelepasan sisa-sisa perasaan terbelah di kalangan anak-anak. ‘’Kalau mereka bisa tertawa lepas lima menit saja, itu sudah bermanfaat  meringankan beban yang mereka tanggung,’’ kata Eklin seperti disampaikan dalam kanal youtube LVE Indonesia. Ia yakin dongeng anak-anak yang positif itu bisa mengurangi dampat tekanan akibat cerita kelam di sekitar konflik yang masih saja dituturkan orang-orang dewasa

Keinginan Eklin mendongeng didorong oleh pengalamannya pribadinya. Pada awal konflik di tahun 1999, Eklin masih berusia 8 tahun, dan ia menyaksikan kerusuhan tersebut dari mata seorang anak-anak. Ia beruntung ayahnya seorang anggota militer, rumahnya tidak terusik, dan  keadaan dirinya cukup aman. Tapi, ia menyaksikan teman-temannya dan anak-anak lainnya  yang tak seberuntung dirinya. Banyak dari mereka yang kehidupannya hancur oleh konflik.

Di sisi lain, dari konflik itu ia belajar tentang bagaimana sikap saling mengasihi dan saling toleransi, bisa membantu melalui masa-masa mencekam. Di lingkungannya, Eklin merasakan hadirnya ikatan kuat untuk saling melindungi tanpa memandang perbedaan keyakinan. Keluarga Eklin ini penganut Kristen Protestan, dan smereka tinggal di  wilayah yang penduduknya sebagian besar Muslim.

Eklin ingat ada seorang tetangganya kerap kali bercerita tentang kisah-kisah perdamaian. Kisahnya seperti mengobati kepiluan yang muncul dari cerita-cerita kekerasan dan kebencian. Sosok ini yang menjadi sumber inspirasinya untuk kelak menjadi pendongeng yang menjunjung nilai-nilai kebaikan dan membawa pengaruh positif di lingkungannya.


Rumah Dongeng

Pada tahun 2016, Eklin  Amtor de Fretes mengikuti training tentang Living Values Education(LVE) di Bogor. Pelatihan tersebut bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya persatuan di tengah perbedaan latar belakang dan kepercayaan. Ia sangat terkesan. Maka, terinspirasi pelatihan tersebut, Eklin membentuk Youth Interfaith Peace Camp pada tahun 2017 di Ambon.

Perkemahan lintas agama itu adalah sebuah forum yang menjadi wadah berdiskusi, menumbuhkan rasa toleransi, menyebarkan nilai positif dan perdamaian, dengan cara-cara sehat, segar dan kreatif. Forum ini diikuti sejumlah muda-mudi Maluku lintas-iman. Ada yang memeluk Islam, Kristen, Katolik, sampai  kepercayaan dari suku di Nuaulu. Saat ini forum Youth Interfaith Peace Camp sudah diikuti oleh 90 orang. Mereka menyebarkan semangat perdamaian dengan cara masing-masing.

Eklin memilih cara mendongeng. Agar lebih atraktif, ia perlu teman dialog, dan dipilihlah si boneka Dodi itu. Banyak pesohor melakukannya seperti Ria Enes, artis asal Surabaya sengan boneka Susan-nya pada awal 1990-an, dan hingga kini masih banyak yang melakukannya, termasuk Eklin. Ia harus bersusah payah belajar bicara dengan suara perut sealama beberapa minggu dari youtube.

Sejak itulah ia menjadi pendongeng. Bukan hanya untuk anak-anak di bekas kawasan konflik, Eklin juga biasa mendatangi area terdapak bencana alam dan ruang rawat anak-anak di rumah sakit.

Pada 2019, Eklin mendirikan program Belajar di Rumah Dongeng Damai, yang dimaksudkan untuk memberi pendidikan nilai-nilai perdamaian dan toleransi pada anak-anak. Para alumni dari  Youth Interfaith Peace Camp bisa mengisi acara di sana. Jadi, rumah  dongeng adalah tempat netral yang tak dikoptasi agama apapun.

Menurut Eklin, anak-anak yang bias mendengar cerita konfik dan kekerasan dari orangtua mereka, rentan memiliki paham serupa dan berpotensi mengulang konflik di masa dewasanya. Di salah satu daerah yang disambanginya, anak-anaknya terbiasa menyebut orang-orang dengan istilah “Acang”, sebutan untuk ‘Hasan’ untuk mengidentifikasikan orang Islam, dan “Obet”, sebutan untuk ‘Robert’ syang merujuk ke orang Kristen. Sebutan itu berkonotasi negatif dan menempatkan kedua sosok itu dalam posisi berseberangan..

Bisa jadi, para orangtua membebani anak-anaknya dengan cerita kelam tersebut karena mereka tak paham dampaknya di kemudian hari. Eklin berusaha melawan beban cerita kelam itu dengan cerita lain yang kreatif, positif dan menyenangkan. Melalui Dongeng Damai, dia mengolah kisah mengenai isu-isu di dunia nyata dengan cara yg mudah diterima oleh anak-anak.

Rumah Dongeng Damai juga menghadirkan program pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, dan kelas seni, untuk mempermudah penyampaian dongeng untuk anak-anak dengan berbagai bahasa.

Namun, perjalanan Eklin dalam memperkenalkan Dongeng Damai tak selamanya menyenangkan. Ia sempat mengalami penolaka saat mendatangi sebuah desa di Pulau Seram. Ia ditolak warga, karena ia dicurigai  berniat melakukan kristenisasi. Eklin sendiri seorang pendeta. Eklin mengalah, bergeser ke desa lain.

Cerita Bulan dan Bintang

Dalam perjalanan mendongeng, ia tak sendirian. Ia dibantu tim relawan Jalan Merawat Perdamaian (JMP), kelompok lintas-keyakinan yang bertujuan membangun kerukunan, toleransi dan kerja sama di antara warga masyarakat tanpa terkotak-kotak oleh identitas primoordialnya.

Salah satu dongeng yang disampaikan Eklin dan Dodi adalah cerita tentang persahabatan Bulan dan Bintang. Mereka kerap bermain bersama, namun suatu hari Bintang jatuh sakit dan mereka tak bisa bermain bersama lagi. Untuk menyembuhkan, Bulan membagi cahayanya dengan Bintang sehingga Bintang bisa sembuh dan bermain lagi. Kisah tersebut berisi nilai mengenai saling berbagi.

 

Kisah lainnya adalah tentang burung pipit yang bertanya pada pohon :  mengapa daun-daun yang masih muda cepat menguning dan rontok. Pohon menjelaskan, bahwa daun-daun muda tersebut rontok karena mereka sakit karena polusi udara dan kerusakan lingkungan. Pohon pun menitipkan pesan pada burung pipit untuk menasihati manusia untuk menjaga kebersihan udara dengan tidak membakar sampah dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Dongeng itu menyampaikan pesan untuk mencintai bumi dan lingkungan.

Berkat buah karyanya, Eklin kerap mendapat apresiasi dari berbagai pihak, dan salah satunya lewat program kontribusi sosial yang berkelanjutan dari Astra bertajuk  ‘’Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards’’. Eklin dianggap sebagai sosok muda inspiratif penerima apresiasi Bidang Pendidikan di  tahun 2020.

Sekarang Eklin sudah menjajaki ratusan desa dan mendongeng di hadapan puluhan ribu anak-anak di dalam dan luar Maluku. Ia mendongeng berbagai cerita dengan bahasa Indonesia yang dipahami oleh semua anak-anak itu.

Dari pergaulan dengan anak-anak desa dari berbagai ppelosok negeri, ia merasakan semangat yang sama : semangat menjunjung tinggi Bahasa Indonesia, semangat menyayangi kebinekaan Tanah Air Indonesia, dan menguntai rasa persatuan dalam bingkai Bangsa Indonesia. Melalui dongeng, Eklin ikut menglorifikasi Semangat Sumpah Pemuda 1928.

Penulis : Indy Keningar

 





0
518
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Inspirasi
Inspirasi
icon
10.5KThread6.7KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.