• Beranda
  • ...
  • Tanaman
  • EKSPEDISI MENEMUKAN KAYU CENDANA TERTUA DI JAWA TIMUR

rocket2019
TS
rocket2019
EKSPEDISI MENEMUKAN KAYU CENDANA TERTUA DI JAWA TIMUR

(Sumber Gambar:Dokumentasi Pribadi Tim Rocket 2019, 2021)

Menyelam ke Samudera Literatur, Menggali Data Cendana dari Masa Lampau

Bicara mengenai cendana yang terlintas di pikiran kita adalah suatu jenis pohon yang harum kayunya. Selain harum, ternyata cendana juga bermanfaat bagi manusia. Disebutkan bahwa kayu cendana dapat diolah menjadi rempah-rempah untuk keperluan pengobatan, wewangian dan juga kegiatan ritual keagamaan [1]. Dari segi religi tanaman ini cukup sakral. Cendana sering disebut-sebut dalam kitab suci maupun ucapan tokoh-tokoh agama besar, seperti Hindu, Buddha, Yahudi-Nasrani dan juga Islam.

Di pelajaran sekolah dulu, jika membahas mengenai kayu cendana, maka guru kita akan mengaitkan dengan daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai pemasok kayu cendana baik dalam negeri maupun luar negeri. Karena kami berasal dari Jawa, maka kami bertanya-tanya apakah di Pulau Jawa ini pada zaman dahulu juga menghasilkan kayu cendana sebagaimana di NTT? Rasa penasaran kami pun terjawab berkat studi kepustakaan. Dalam literatur yang kami dapatkan, Kronik Tiongkok, yakni Sejarah Dinasti Song (960-1279 Masehi) Buku 489dan Yingya Shenglan (1416 Masehi) menyebutkan bahwa Jawa adalah salah satu daerah penghasil kayu cendana [2].


Lukisan Pohon Cendana, Original Art by:Febtia Intan Adyatami (2021)

Kami puas mendapatkan jawaban itu. Tiba-tiba terbesit pertanyaan lanjutan di benak kami. Jawa bagian mana yang dahulu menghasilkan kayu-kayu cendana itu?Kemudian, kami teringat tentang toponimi (ilmu nama asal-usul suatu tempat). Di Jawa, nama-nama tempat desa atau kelurahan kebanyakan menggunakan nama tumbuhan yang hidup di daerah tersebut. Berdasarkan studi pustaka, setidaknya terdapat enam desa bernama “cendana atau cendono” di Pulau Jawa. Tiga berada di Jawa Tengah dan tiga lainnya berada di Jawa Timur [3]. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah itulah yang dahulu diduga kuat menghasilkan kayu cendana sebagai komoditi.

Bagaimana dengan daerah Malang Raya (sebutan untuk wilayah Kabupaten Malang, Kota Malang dan juga Kota Batu) apakah ada cendana di tempat kami ini? Kami penasaran dengan hal ini. Mengingat di sini tidak ada nama desa, kelurahan bahkan dusun atau dukuh yang bernama cendana atau cendono. Kami jadi pesimis akan adanya keberadaan pohon cendana di bumi Malang Raya ini. Sampai suatu ketika kami teringat akan keberadaan sebuah bukti sejarah tertulis dan tertua di Jawa Timur. Bukti itu adalah “Prasasti Dinoyo I” dari abad ke-8 Masehi.


(Sumber Gambar:www.wearemania.net)

Prasasti Dinoyo I ditemukan di Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Diinformasikan bahwa prasasti Dinoyo I dikeluarkan pada hari Jumat tanggal 28 November 760 Masehi (682 Śaka)oleh A-nanah (cicit pendiri Kerajaan Kañjuruhan). Pada baris ke-6 prasasti itu, diinformasikan bahwa kayu cendana (suradāru) adalah bahan dasar pembuatan arca (patung) “Maharesi Agastya”. Arca itu dibuat oleh Raja Dewasingha, pendiri Kerajaan Kañjuruhan (kerajaan tertua di Jawa Timur) untuk memuliakan tokoh legendaris Maharesi Agastya [4].

Kami tertegun ketika membaca kembali prasasti kebanggaan warga Malang Raya itu. Ternyata cendana sudah ada di sini sejak berabad-abad yang lalu. Kami yang penasaran kembali melakukan riset pustaka terkait arca, tokoh Maharesi Agastya dan kayu cendana itu pada masa Hindu-Buddha di Jawa. Akhirnya kami mendapatkan data, bahwa di Jawa, Agastya juga dikenal dengan nama “Haricandana” dalam berbagai prasasti-prasasti raja-raja masa Hindu-Buddha [5]. Dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna, haricandanadiartikan juga sebagai pohon “cendana kuning” [6]. Maka tidak mengherankan jika arca Maharesi Agastya yang dibuat oleh Raja Dewasingha dalam prasasti Dinoyo I terbuat dari kayu cendana.

Masalah timbul di sini, kira-kira dari mana kayu cendana yang digunakan Raja Dewasingha untuk membuat arca Agastya itu? Apakah didatangkan dari Nusa Tenggara Timur? Atau dari Pulau Jawa bagian lain yang kita tidak ketahui? Ataukah justru dari Malang Raya sendiri? Jika dari Malang Raya, di mana orang-orang kerajaan tersebut mendapatkan kayu itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggelayuti pikiran kami. Sampai seorang rekan memberikan kami data berupa “Laporan Kepurbakalan Hindia-Belanda Tahun 1923” [7].

Kami pun bergegas membaca laporan itu. Dalam laporan tersebut terdapat artikel tulisan Frederik David Kan Bosch, yang berjudul “De Sanskrit-Inscriptie op den Steen van Dinaja” (Prasasti batu berbahasa Sanskerta dari Dinoyo). Frederik David Kan Bosch mendapat informasi dari Gerret Pieter Rouffaer, bahwa kayu cendana untuk membuat arca Agastya dalam prasasti Dinoyo I berasal dari Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Dengan alasan bahwa komoditi utama yang dihasilkan oleh Pulau Timor adalah kayu cendana (di sana disebut Ai Nitu). Bahkan di Pulau Timor cendana begitu disakralkan dan dianggap sebagai “Kayu Dewaatau Kayu Roh”.

Sebelum terburu-buru menyimpulkan kayu cendana yang digunakan arca Maharesi Agastya dari Pulau Timor, Frederik David Kan Bosch diberi tahu pula sebuah informasi penting dari mantan asisten Residen Malang, yakni Mr. F.L. Broekveldt(menjabat tahun 1915-1918). Menurut informasi Mr. F.L. Broekveldt, di wilayah Malang, terdapat banyak kayu cendana yang tumbuh liar di dekat daerah Songgoriti dan “hanya di daerah itu” satu-satunya tempat yang ditumbuhi kayu cendana di wilayah Malang.

Satu kata “wow” informasi ini membuat kami tercengang. Di wilayah Malang Raya ternyata ada habitat kayu cendana. Disaat bersamaan, tiba-tiba kami teringat buku kami yang berjudul “Antologi Visual Cerita Rakyat Malang”. Buku itu adalah kumpulan cerita rakyat dari segala penjuru Malang Raya yang kami inventaris dan susun.

Dalam buku tersebut, kami mendapatkan cerita mengenai seorang pandai besi legendaris dari akhir abad ke-15 Masehi bernama “Empu Supa” (empu sakti keturunan Majapahit sekaligus adik ipar Sunan Kalijaga). Dikisahkan dalam cerita lokal daerah Batu, Empu Supa mendirikan desa bagi para pandai besi yang diberi nama “Songgoriti” (dari kata Jawa Kuna ‘Sangghariti’ yang artinya ‘Perkampungan Para Pandai Besi’) di lereng Gunung Welirang-Arjuna dan Gunung Kawi, daerah Batu [8].

Jika dikorelasikan mengapa Empu Supa mendirikan desa di sana (yang notabene dekat dengan habitat kayu cendana), maka boleh jadi alasannya karena Empu Supa dan para pandai besi lainnya, jelas membutuhkan kayu cendana untuk warangka(selubung atau penutup) keris, tombak dan senjata pusaka lainnya. Dalam alam pikiran magis orang Jawa, kayu cendana dipercaya memiliki “tuah”. Kayu ini dianggap disukai makhluk ghaib atau roh leluhur dan bisa jadi media mediumisasi bagi mereka. Kayu cendana yang sering dimanfaatkan untuk warangka keris, tombak atau kotak pusaka oleh orang Jawa, dipercaya wanginya bisa memberikan “tuah” pada besi-besi pusaka itu agar tidak cepat berkarat [9].

Ekspedisi Menemukan Bukti Keberadaan Pohon Cendana di Kota Batu

Bagaikan detektif yang mendapat petunjuk atas kasus yang sedang ditangani. Kami bersemangat dan segera bergegas mencari di mana lokasi habitat kayu cendana di sekitar Songgoriti tersebut. Jika sudah ditemukan kami ingin memeriksa masih adakah pohon-pohon cendana itu di habitat aslinya. Pertama-tama, kami bertanya adakah tempat yang ditumbuhi pohon cendana di sekitar Songgoriti, kepada rekan-rekan kami yang berdomisili di Kota Batu via daring. Secara mengejutkan mereka serempak menjawab “tidak tahu”. Tak patah arang kami meminta tolong kepada rekan-rekan kami itu, untuk menanyakan ke orang tua mereka prihal tempat yang ditumbuhi pohon cendana tersebut.

Nahasnya ternyata orang tua mereka juga tidak tahu menahu tentang tempat yang kami maksud. Kami hampir putus asa. Beruntung salah seorang tim kami, yakni saudara Miftahul Rasyidin Nurul Iman menemukan informan yang dapat memberikan kami petunjuk. Infroman itu adalah Achmad Berlin Rifai (51 tahun), alias “Cak Mad Berlin”. Beliau adalah seorang pegiat lingkungan dan budaya Kota Batu. Menurut Cak Mad, di Desa Gunungsari, yang berada di utara dan tak begitu jauh dari Songgoriti, terdapat sebuah bukit yang oleh orang-orang sepuh (tua) disebut “Pusung Cendono”. Di gunung itu masih terdapat pohon-pohon cendana yang masih bisa kami temui.


(Sumber Gambar:Dokumentasi Pribadi Tim Rocket 2019, 2021)

Berbekal informasi tersebut, kami iseng berselancar di dunia maya, apakah ada ulasan daring mengenai keberadaan bukit itu. Ternyata ada, dan di dunia maya hanya ada tiga situs berjejaring yang memuat informasi terkait Bukit Pusung Cendono [10]. Laman-laman daring itu memberi kami informasi bahwa memang benar ada bukit atau gunung yang bernama “Pusung Cendono” di Desa Gunungsari. Dikatakan pula bahwa di sana memang benar masih ada habitat pohon cendana. Akan tetapi dikabarkan bahwa daerah itu pernah terjadi kebakaran hutan pada tahun 2018 dan 2019.



Uniknya ada beberapa pohon cendana yang selamat dari kebakaran hutan tersebut. Oleh penduduk pohon-pohon yang selamat itu diberi tanda “kain kuning” sebagai bentuk keajaibannya. Keesokan harinya, kami bergegas mencari lokasi bukit cendana itu. Kami segera berangkat menuju De Klein Switzerland(Negeri Swiss Kecil, sebutan orang Eropa zaman dulu untuk Kota Batu) berbekal perangkat google map, alat tulis, air minum botolan, dan sebagainya untuk menunjang aksi kami.

Perjalanan menggunakan sepeda motor itu mengantarkan kami ke daerah Agrowisata Petik Bunga Mawar Desa Gunungsari. Hamparan pegunungan dan perbukitan serta sejuknya udara Kota Batu menyapa kehadiran kami. Di ujung jalan desa, tampak tiga orang warga sedang asyik duduk tengah mengolah, membersihkan duri dan daun bunga-bunga mawar yang telah dipanen. Tak melewatkan kesempatan, kami pun bertanya dan berbincang kecil mengenai keberadaan pohon cendana di Bukit Pusung Cendono kepada mereka.

Ibu Tumiyati (56 tahun), salah satu dari mereka bertiga, mulai bercerita. Menurut beliau, Bukit Pusung Cendono yang kami cari ada tepat disebelah rumah tempat kami berbincang. Secara administratif bukit Pusung Cendono, berada di wilayah Dusun Ngebruk, Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Masyarakat sekitar mengabadikan nama cendana menjadi nama jalan dusun yakni “Jalan Cendana Gunungsari”. Jalan itu melewati RT 003, RT 002 dan RT 001, RW 007, Dusun Ngebruk. Jalan ini merupakan salah satu akses masuk ke Bukit Pusung Cendono, jika lewat rute Dusun Ngebruk.



Sebelumnya sempat ada rencana untuk menjadikan Bukit Pusung Cendono sebagai destinasi wisata. Rencana itu terhambat sejak hilangnya 50-an lebih pohon cendana akibat dicuri oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Kini masih terdapat pohon cendana yang tumbuh di Bukit Pusung Cendono, namun hanya cendana muda yang tersisa. Masyarakat setempat mengadakan ronda rutin agar pencurian kayu itu dapat dihentikan.

Demikianlah penuturan ibu Tumiyati kepada kami. Mendengar penuturan itu, kami sedikit geram. Perjalanan kami lanjutkan. Kami meminta ijin untuk menitipkan sepeda motor di tempat ibu Tumiyati bekerja, sekaligus pamit untuk melanjutkan perjalanan ke bukit. Pada tanjakan ± 500 meter pertama nafas kami terengah-engah. Kami beristirahat sejenak untuk mengambil nafas dan meneguk sebotol air mineral untuk menghilangkan dahaga.

Setelah istirahat kami cukup, kami melanjutkan perjalanan dengan medan yang cukup berat. Tanjakan, tikungan dan semak belukar berhasil kami lewati. Dan tampaknya sudah lebih 3 km kami lalui. Dan tetap saja, kami kesulitan mencari mana yang pohon cendana dan mana yang bukan, karena hanya berbekal foto. Beruntung disaat itu kami bertemu dengan orang yang kebetulan pulang dari tegalan di bukit itu. Ia adalah Bapak Suharso (69 tahun). Beliaulah yang membantu kami menunjukan mana pohon cendana dan mana yang bukan. Hati kami begitu gembira, karena ini adalah pertama kalinya kami melihat pohon cendana dengan mata kepala kami sendiri.


(Sumber Gambar:Dokumentasi Pribadi Tim Rocket 2019, 2021)

Setelah memberikan “kuliah etnobotani” kepada kami selama 20 menit. Beliau menuturkan keunikan pohon cendana di bukit ini. Menurutnya, tanaman ini adalah “tanaman endemik”. Ia tidak bisa tumbuh ditempat lain. Jika dicoba ditanam di tempat lainnya, ia segera mati. Begitu juga sebaliknya, jika ada yang menanam bibit cendana lain di bukit ini. Maka bisa dipastikan seratus persen bibit itu juga akan langsung mati. Kami terkejut mendengar hal itu, dengan kata lain apa yang dikatakan Asisten Residen Malang Mr. F.L. Broekveldt pada tahun 1923 memang benar adanya. Bahwa tidak ada daerah lain di Malang yang ditumbuhi pohon cendana selain di daerah ini. Dan dugaan Frederik David Kan Bosch bahwa kayu cendana yang digunakan Raja Dewa Singha pendiri Kerajaan Kanjuruhan untuk membuat arca Maharesi Agastya adalah dari daerah ini boleh jadi benar adanya.

Karena hari mulai sore dan cuaca juga mulai mendung, Bapak Suharso kemudian mengarahkan kami untuk segera bergegas menuju puncak pusung(bukit), karena disanalah kami bisa menemukan banyak pohon cendana seperti yang ada di foto-foto laman-laman daring di ponsel kami. Tak ingin buang waktu, kami segera bergegas menuju puncak. Dan benar saja, sepanjang perjalanan, kami banyak menemui pohon cendana muda mulai banyak bertumbuh. Kami pun puas penelusuran kami terbukti adanya.

***





Quote:


Quote:


Quote:


Quote:
Diubah oleh rocket2019 11-01-2022 00:26
clay45brigadexiiiiqiekantata
iqiekantata dan 57 lainnya memberi reputasi
58
12K
136
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Tanaman
Tanaman
icon
3.9KThread2.4KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.