jalantengah132Avatar border
TS
jalantengah132
Menata Melupa
BEBERAPA kali saya menghadiri acara yang bertempat di kawasan semacam central business district di pusat kota Jakarta. Kawasan ini pasti sengaja dibangun sebagai area prestisius, tempat transaksi bisnis besar. Setidaknya, namanya saja sudah menunjukkan hal itu. 

Trotoarnya licin dengan pijakan lempeng batu granit yang kokoh dan keramik yang mengkilap, ditambah aksesoris pot-pot dan beberapa karya seni. Orang-orang yang lewat, berjalan dengan cepat dan tentu saja dengan gaya dan pakaian yang sesuai dengan nama tempatnya sebagai tempat bisnis. Hotel, restauran dan kafe juga tersedia lengkap dengan pilihan menu berbagai bangsa di dunia. 

Tampaknya, bukan hanya di Jakarta, gagasan menata kota seperti ini, adalah mimpi dari setiap penataan kota. Di kota besar seperti Bandung, pusat kota dirancang sebagai tempat yang “rapih” seperti jika kita melihat-lihat foto-foto pusat perbelanjaan dan pusat bisnis di kota-kota besar di Eropa.

Satu kali, karena datang terlalu pagi, saya berjalan ke luar area itu. Hanya beberapa meter di depan gerbang megahnya, sederet pedagang makanan dan buah-buahan tersembunyi di bawah tangga jembatan penyeberangan. Makanan dan buah-buahan sudah terbungkus dalam kemasan praktis, dan banyak orang membelinya mungkin untuk bekal sarapan sebelum masuk gedung tinggi tempatnya berkantor. Ada pula yang menikmati sarapan di sana, sambil berdiri atau duduk sekenanya.

Begitu selesai acara di siang hari, saya turun menggunakan tangga berjalan, melewati lantai demi lantai. Kafe-kafe yang nyaris memenuhi dua lantai, tidak bisa dibilang terlalu penuh dibanding dengan jumlah orang yang ada di gedung berbelas lantai. 

Tempat yang ramai, ya warung nasi di tempat-tempat tersembunyi, di bawah pohon di pinggir lapangan parkir, atau di tempat yang tersembunyi di bawah tangga besi penyeberangan jalan. Jelas mereka tidak seharusnya berada di situ. Dalam cetak biru, maket atau disain penataan kota tidak ada tempat dan ruang untuk aktivitas seperti ini di area itu.  

Tetapi, kenyataannya ruang ini ada. Dan saya yakin, lebih banyak orang membutuhkannya karena tidak tiap hari juga sebagian besar orang yang berada dalam gedung itu tidak cukup punya dompet yang tebal untuk selalu makan di kafe.

**

Merujuk penulis buku Postmodern Geographies, Edward W. Soja, justru jumlah terbesar dalam sebuah kota modern adalah masyarakat yang disebutnya ‘dunia ketiga’. Soja mengatakan dalam perkembangan kota modern terutama di negara berkembang saat ini, perbedaan tingkat ekonomi masyarakat justru makin membesar. 

Dalam bukunya, Soja menggambarkan perubahan sebuah kota dari tahun 1820, 1870, 1920 dan 1970 berdasarkan pembagian sektor kota dan kelas masyarakat. Dalam gambar tersebut, tampak bahwa pertumbuhan pusat industri dan pusat kota, selalu dibarengi membesarnya ruang kelas pekerja serta makin menjamur dan menyebarnya titik-titik ‘ghetto’.  

Kekuatan dan penumpukan modal internasional, kata Soja, menurunkan peran ekonomi lokal, antara lain karena kepentingan dan keperluannya pada sumber daya manusia terbatas pada kelas pekerja. “Kota ‘dunia pertama’ terisi oleh populasi ‘dunia ketiga’, dan di banyak kota, malah jadi mayoritas,” tulis penggagas konsep Ruang Ketiga ini. 

Mungkin realitas inilah yang sering dilupakan ketika dilakukan perancangan dan penataan sebuah wilayah atau kota. Mayoritas penduduk kota, bukan pada tingkat yang bisa setiap hari belanja atau makan di kafe, walaupun sering jalan-jalan di pusat kota. Bahkan termasuk pula orang-orang yang beraktivitas sehari-hari di pusat bisnis itu. 

Sebagian besar mereka adalah penyintas dalam ruang interaksi ‘dunia pertama’. 

Dan, kebutuhan para penyintas ini, antara lain mungkin hanya bisa dipenuhi oleh para penyintas lain, misalnya para pedagang kecil dan para pedagang kaki lima. 

Walaupun begitu nyata, tidak sering kita lihat ada maket atau penataan yang secara khusus memberi ruang dan waktu interaksi bagi para penyintas di sebuah kota modern ini. 

Dan, karena seringkali tidak ada dalam cetak biru desain tata ruang, keberadaan dan interaksi alamiah mereka kemudian menjadi sesuatu yang merusak dan mengganggu. Jika pun ada “penataan”, lebih merupakan respon yang terlalu terlambat, dan lebih berupa “penertiban”: dihilangkan atau ditempatkan pada ruang yang memang bukan dirancang untuk itu, misalnya di basement parkir atau lahan kosong sementara. 

Padahal ruang ini lebih nyata keberadaannya. Namun mungkin terlupakan sejak awal.  
Diubah oleh jalantengah132 03-09-2021 04:32
klentingsAvatar border
telu.suriAvatar border
telu.suri dan klentings memberi reputasi
2
428
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Out Of Topic
Out Of Topic
20.7KThread1.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.