rizkykhoirilAvatar border
TS
rizkykhoiril
Hukum Merayakan Tahun Baru 2021 di Masa Pandemi
Bagaimana hukum merayakan tahun baru 2021 di masa pandemi saat ini?



Dari data terbaru yang diperoleh dari aplikasi “Bersatu Lawan Covid-19” (aplikasi resmi yang dibangun oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19), data per 30 Desember 2020 disebutkan:

Kasus positif bertambah: 8.002 orang, total menjadi 735.124

Sembuh: 6.958 orang, total menjadi 603.741

Meninggal dunia: 241 orang, total menjadi 21.944


Kalau kita melihat dari grafik tren nasional, jumlah kasus terkonfirmasi covid terus bertambah, walau kecenderungan untuk sembuh juga bertambah.





Kasus positif bertambah lebih dari angka delapan ribu belakangan ini.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Instagram @infocovidgk tentang update informasi sebaran covid-19 per 30 Desember 2020 di Gunungkidul DIY, kasus konfirmasi yang dirawat sebanyak 286, yang sembuh 529, dan yang meninggal 24.

Sepuluh daerah sampai melarang perayaan tahun baru 2021 yaitu: Medan, Palembang, Bali, Surakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta, Surabaya, Daerah Istimewa Yogyakarta, Riau, dan Aceh. Hal ini seperti diberitakan oleh Kompas.Com pada 30 Desember 2020.

Kalau kita pandang dari sisi keadaan pandemi, merayakan tahun baru memiliki mudarat karena kasus pertambahan covid-19 yang luar biasa.



Pandangan Islam tentang perayaan tahun baru
Dari sisi syariat, Islam melarang perayaan tahun baru Masehi bagi umat Islam ditinjau dari beberapa sisi berikut ini.



Pertama: Orang beriman dilarang menghadiri perayaan orang musyrik.

Hal ini berdasarkan ayat,

وَالذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزورَ وَإِذَا مَروا بِاللغْوِ مَروا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)

Yang dimaksud ayat adalah orang beriman itu tidak menghadiri az-zuur yaitu perayaan orang musyrik. Ini adalah di antara tafsiran ayat tersebut. Yang berpendapat demikian adalah Abul ‘Aliyah, Thawus, Ibnu Sirin, Adh-Dhahak, dan Ar-Rabi’ bin Anas. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:614, Penerbit Dar Ibnul Jauzi.




Kedua: Perayaan orang musyrik dahulu sudah diganti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanda beliau tidak menyetujuinya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, dahulu orang-orang Jahiliyyah memiliki dua haridi setiap tahun yang malan mereka biasa bersenang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau bersabda,

كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Abu Daud no. 1134; An-Nasa’i no. 1556. Sanad hadits ini shahih menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 4: 142)




Ketiga: Dari dahulu orang Yahudi dan Nasrani sudah merayakan perayaan mereka, tetapi tidak satu pun dari kaum muslimin di masa salaf yang turut serta dalam perayaan tersebut.

‘Umar pernah berkata,

إياكم ورطانة الأعاجم، وأن تدخلوا على المشركين يوم عيدهم في كنائسهم فإن السخطة تتنزل عليهم.

“Hati-hati kalian berbicara dengan bahasa asing. Hati-hati pula jika kalian turut serta dalam merayakan perayaan orang musyrik di dalam tempat ibadah mereka karena murka Allah bisa turun pada mereka saat itu.” (Diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahaani dan Al-Baihaqi dengan sanad sahih).

‘Umar juga berkata,

اجتنبوا أعداء الله في عيدهم.

“Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari raya mereka.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Inilah larangan ‘Umar. Ia melarang mempelajari bahasa asing dan melarang masuk tempat ibadah non-muslim saat perayaan mereka. Kalau ini saja terlarang, bagaimana lagi dengan hukum merayakannya atau sampai melakukan hal yang merupakan konsekuensi ajaran mereka?! Perbuatan merayakan bukankah lebih parah daripada sekadar belajar bahasa mereka? Bukankah melakukan sebagian perayaan mereka itu lebih parah dibandingkan sekadar masuk tempat ibadah mereka pada saat perayaan mereka?

‘Umar ingatkan bahwa jika saat itu turun azab Allah karena amaliyah mereka, bukankah orang yang turut serta pada amalan atau sebagiannya tentu akan mendapatkan hukuman yang sama?

‘Umar juga mengatakan, “Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari raya mereka.” Bukankah ini adalah larangan bertemu mereka dan berkumpul bersama mereka. Bagaimana lagi dengan merayakannya?” (Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1:515, Tahqiq dan Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al-‘Aql)


Kesimpulan

Kami sarankan tidak merayakan tahun baru apalagi sampai kumpul-kumpul dalam keramaian di masa pandemi ini. Kami ingatkan untuk tidak menganggap remeh virus covid-19. Apalagi mengingat pertimbangan agama Islam yang melarang meniru-niru non-muslim merayakan tahun baru. Termasuk dalam merayakan tahun baru adalah kita mengistimewakan malam ini dari malam-malam lainnya.

Semoga Allah beri taufik dan hidayah.


0
1.9K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Melek Hukum
Melek Hukum
7.5KThread2.1KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.