event3Avatar border
TS
event3
Membunuh Petaka Bab 1
(Di mana pun kaki berpijak, di sanalah kesopanan dipertanyakan.)

Bab 1

"Nih, ya. Kalian yang maksa aku buat ikut, kan, ya? Tolong, deh, jangan bicara aneh-aneh apalagi di tempat yang baru kalian injak."

Ucapan Dini menggantung tatkala Indri lebih dulu mendorong tubuhnya ke tembok. Dia merasakan ada sesuatu yang aneh dari diri Dini. Terlihat bibir perempuan itu berucap, tetapi tak ada satu pun suara yang terdengar.

Indri kemudian memeluk tubuh Dini yang mulai melemah, dia merasa bersalah. Pikiran semua orang yang ada di sana kacau-balau semenjak terus saja diteror. Kesehatan Dini saban hari semakin memburuk karena terlalu memikirkan hal itu.

"Ingat perkataanmu sendiri, bahwa mati itu di tangan Allah. Manusia hanya bisa berencana, kita harus berpasrah dengan yang Maha Kuasa."

***

"Loh, kayak pernah ke sini."

Pikiran Dini tiba-tiba melayang ke masa lalu, tetapi perempuan itu mulai memandang ke arah Indri yang tersenyum. Pandangan gadis di sebelahnya seolah-seolah kosong.

"Ah, masa? Perasaan kita belum pernah ke sini, loh,” sahut gadis yang tingginya hanya lebih beberapa senti dari Dini. Baru terlihat tanda-tanda kehidupan dari cahaya mata perempuan itu.

Perempuan yang merasa linglung itu hanya menatap dengan tatapan tak percaya sembari menggeleng tanpa berkata. Mereka semula hanya mencari tempat yang pas untuk mengisi waktu berlibur, kemudian menaiki sepeda motor untuk kembali ke rumah masing-masing.

Mereka sedang bersiap sebelum nanti jam tiga petang akan berkumpul lagi di sana.

Degup jantung Dini terasa begitu kencang. Sekian lama dirinya tak mendaki karena trauma, sekarang malah mencoba menantang rasa takutnya sendiri.

Entah mengapa, hatinya seolah-seolah tak mengizinkan raga untuk pergi, tetapi teman-teman memaksa untuk ikut meneliti dan mencari kebenaran sesuatu. Padahal, diri itu sama sekali tidak menginginkannya.

Motor itu kembali berpacu. Angin segar terasa begitu menusuk bagi Dini. Ada suatu hal yang mengganjal di hatinya saat ini, terutama rasa rindu yang mendalam kepada kedua orang tua membuatnya sering berhalusinasi.

"Aku kuat, ya Allah."

***
Revan sedang berada di rumah Azka. Mereka berdua juga sedang mempersiapkan barang yang akan dibawa. Sesekali Revan menyeletuk yang membuat Azka tersulut emosi.

"Eh, gue bawa guling, loh!" seru Revan antusias, tetapi Azka malah sebaliknya.

Lelaki itu mencoba menahan takut yang mulai hadir. Dipandangnya mata Revan dengan kesal, tetapi Azka memilih untuk tetap diam. Fobianya terhadap guling kadang membuat lelaki itu dijauhi oleh banyak orang.

Saat sedang merapikan rak buku, tangan lelaki itu terhenti karena melihat sesuatu. Dilihatnya buku-buku milik sang kakek yang sudah begitu usang, tetapi kedua orang tuanya begitu menjaga kualitas buku tersebut.

"Woi! Ini senter kagak lu cas, ha?"

Namun, pertanyaan dari Revan membuat Azka melepaskan pandangannya. Lelaki itu mulai berjalan gontai ke arah teman sebayanya.

Dia mulai menepuk pelan punggung senter. Memang benar, senter itu sama sekali tidak mengeluarkan cahaya. Dengan berat hati, dia mencoba menelepon semua temannya agar membatalkan rencana mendaki hari itu.

"Ih, sia-sia, deh, semua usahaku. Udah mana susah banget buat bangun pagi. Giliran udah capek, malah batal berangkat. Dasar cowok!" gerutu Indri yang tanpa aba-aba langsung memutuskan sambungan telepon.

Revan hanya bisa mendengkus kesal. Sebenarnya dia juga ikut emosi karena rencana yang telah disiapkan jauh-jauh hari harus batal di tengah jalan hanya karena senter yang lupa diisi dan dia tidak punya senter cadangan.

"Jangan lupa telepon Dini! Lo tahu, kan, dia kayak gimana orangnya."

Revan memberi peringatan yang hanya dibalas anggukkan oleh Azka. Berkali-kali lelaki itu mencoba menghubungi Dini, tetapi selalu saja di luar jangkauan.

"Dini gak bisa ditelepon."
Azka berucap pelan. Nada suaranya terdengar pasrah. Keduanya langsung pergi ke rumah Dini dengan terburu-buru. Mereka takut jika perempuan itu sudah pergi terlebih dahulu ke posko dan mengira mereka semua sudah berangkat.

"Lo, sih, ngapain pakai lupa segala? Aduh, semoga aja kejadian beberapa tahun yang lalu gak keulang lagi!” Dua manusia yang menaiki motor dengan sangat cepat itu langsung segera meneriaki nama Dini ketika sampai di tempat.

Sebenarnya mereka ingin langsung ke posko, tetapi jaraknya yang lumayan jauh menghalangi niat kedua manusia itu. Rasa pusing semakin menghantui dua orang yang ada di sana. Dini masih berada di kamar. Anehnya, dia sama sekali tidak mendengar suara panggilan dari luar rumah.

Ponsel yang ada di genggaman pun aman-aman saja, tak ada satu pun panggilan masuk yang tak terjawab. Saat hendak memasukkan senter, barulah terdengar jelas suara seseorang yang memanggil namanya sambil berteriak beberapa kali.

Dini mengangkat ranselnya perlahan sebelum menjatuhkannya kembali.

"Ya ampun, Dini! Kenapa nggak angkat telepon dari Azka, sih? Kita nggak jadi mendaki!” jelas Revan sedikit berteriak saat Dini membuka pintu.

Perempuan itu hanya menautkan kedua alis. Bingung mengisi relung hatinya untuk beberapa saat. Dia mencoba mencerna setiap kata, hingga pada akhirnya paham akan arah percakapan yang dimaksud.

"Yang benar saja."

Histori panggilan dari Azka baru terlihat sekarang,
Beberapa saat yang lalu Dini mengaktifkan mode pesawat karena risi dengan panggilan penipuan yang membuat dirinya geram. Padahal, dia sama sekali tidak memiliki aplikasi yang disebutkan.

"Gue sama ni bocah takut guling, balik dulu, bye!" pamit Revan setelah mengobrol singkat. Dini hanya mengangguk dan langsung masuk kembali. Mata perempuan itu terlihat sangat sayu karena merasa lelah dengan semuanya.

Hampir saja kegilaan yang mengisi batin perempuan itu. Sudah lelah dia dengan semuanya. Semakin dewasa, semua tak terasa baik-baik saja, masalah demi masalah seakan-akan terus bermunculan.

Hidup seorang diri membuat Dini kadang merasa sendirian dan tak punya teman. Sifatnya yang tak suka merepotkan orang lain membuat gadis itu selalu dihantui rasa bersalah. Teman-temannya pun sering kali mencoba menghibur, tetapi semua seakan-akan tak ada gunanya.

Perasaan Dini sudah tak enak. “Apa Azka tidak mengirimkan pesan online? Lalu, kenapa aku tadi tak mendengar teriakan mereka dari luar rumah?”
Akan tetapi, sisi positif Dini mencoba menghibur dirinya sendiri. "Aku, kan, budeg. Jadi mungkin aja, kan, ya?" Senyum penuh harapan kembali terbit, walau jiwanya seakan-akan telah hilang.

Suara pintu yang digedor membuat Dini menghentikan aktivitas berwudunya. Tadinya dia tak ingin terlalu memedulikan suara itu, tetapi suara yang menjadi semakin kencang membuat dia mulai terganggu.

"Heh, siapa, sih? Gak sopan banget!" Dini berteriak ketika membuka pintu. Akan tetapi, hanya ada suara angin yang menyambut dirinya. Hati perempuan itu merasa ditipu, tetapi inilah kenyataannya, tak ada satu pun makhluk hidup yang berdiri di depan pintu.

Hanya ada kardus yang agak usang di kakinya saat itu. Tadinya ingin didiamkan, tetapi hatinya penasaran juga dengan isi kardus. Padahal, dia saja gemetar ketika mengangkat kardus itu.

Dini membersihkan kardus itu pelan. Saat dibuka, ada tumpukan buku yang terasa sangat usang. Ada sekitar sepuluh buku yang tertumpuk di sana. Debu-debu terasa begitu menusuk bagi Dini.

Manik mata Dini terfokus dengan buku yang ada di paling bawah. Dia terdiam ketika membersihkan debu yang ada di buku itu. Baru membaca sampulnya saja, dia langsung melempar buku itu jauh-jauh.

'Dosa Masa Lalu.'

Hanya tiga kata, tetapi mampu membuat Dini bergidik ngeri sendiri. Dia buru-buru bangkit agar bisa menyelesaikan salatnya yang sempat tertunda. Apalagi ada tulisan yang terselip di sampul buku itu.

"Para pengkhianat harus mati dengan perlahan dan harus merasakan sakitnya disiksa, termasuk kamu dan keluargamu."

Hati Dini sudah tak menentu. Hanya kepada Allah dia berpasrah. Harusnya, dia tak mengambil kardus itu dan membiarkannya saja.

Apalagi selama dirinya sedang salat, terdengar suara jendela yang digedor. Dalam panik yang mulai menyerang hati, dia masih berusaha untuk tenang sambil mencoba menguatkan iman.

"Sebenarnya, dosa apa yang dimaksud?" tanya Dini dengan gemetar setelah usai menunaikan salat. Terlihat di jendela kamarnya ada tulisan yang membuat dia bergidik ngeri.

'Masih bertanya dosa apa?'

*Maaf jika part pertamanya membuat gagal paham, akan dijelaskan di part 2.

0
15.2K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.