sylviafizzhiadhAvatar border
TS
sylviafizzhiadh
kimpoi Sasuku
Pernikahan Sasuku


Sore baru saja berlalu, meninggalkan jejak lembayung senja di ufuk barat. Pertanda gelap kan segera menjelang. Namun debur ombak yang menghempas kokohnya tumpukan batu karang, masih seperti biasa. Tak pernah lelah, meski hari berganti minggu, dan bulan serta tahun pun berlalu.


Begitu pun dengan aku dan Zain, yang masih tetap membisu dalam keheningan. Meski jemari masih tetap berpagut erat, tapi tidak ada lagi sepatah kata jua yang terlontar.


Zain menghela napas berat, membawa tubuhnya bangkit seraya menarik jemari yang masih tetap dalam genggamannya. Tapi, sesenti pun aku enggan bergerak. Berkas lembayung yang berangsur menghilang ditelan kegelapan, jauh lebih menarik daripada harus pulang, menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Kenyataan kalau cinta yang telah kami bina selama hampir lima tahun ini, harus kandas di tengah jalan. Ditentang keluarga yang terlalu kukuh memegang fondasi adat yang menurutku sama sekali tidak masuk akal.


Aku dan Zain 'Sasuku'. Suku Koto, sebagai bagian dari Suku Minang Kabau yang beraneka ragam. Dan itulah alasan keluarga besar menentang pernikahan yang sudah kami rencanakan dari lama, bahkan dari saat kami berdua masih berseragam putih abu-abu.


*****


Ayah naik pitam, saat hubungan 'backstreet' itu kuungkapkan nyata di hadapannya. Begitu pun Amak, terlalu kaget hingga kedua belah tangannya otomatis membekap mulut. Selama ini yang mereka tahu, aku dan Zain hanya bersahabat. Tumbuh besar bersama dari kecil, tentu tak ada yang janggal, kalau kami dekat hingga melewatkan hari bersama. 


Tak ada yang menyadari, benih cinta telah tumbuh perlahan di sudut hati. Senantiasa menyemaikan rasa tak ingin berpisah, bersatu dalam ikatan yang paling kokoh di hadapan-Nya. Ikatan pernikahan.


Aku, ataupun Zain sadar betul. Hubungan 'sasuku' yang tengah kami jalani, akan ditentang adat lembaga Minang. Akan ada ganjaran yang akan kami terima, jika nekad menentang adat yang telah turun temurun melekat dalam jiwa.


Tapi cinta yang kami bina terlalu kokoh untuk terusik. Dengan bekal julukan 'anak kesayangan Ayah' kuberanikan diri, untuk menjaga cinta yang tak biasa. Meski ditentang adat, ada keyakinan dalam diri, Ayah akan selalu ada di baris depan sebagai pilar, untuk membelaku.


Namun ternyata aku salah. Jabatan penghulu dengan gelar 'Datuak', mengesampingkan kebahagiaanku sebagai anak tunggal. Ayah sepenuhnya menentang 'Cinto Sasuku' kami. Tidak ada tenggang rasa baginya soal penyelewengan adat.


Malam itu juga Ayah menghubungi Mamak Faizal, satu-satunya saudara laki-laki Amak. Meski bertanggung jawab sepenuhnya atas diriku, Ayah tetap tidak bisa memutuskan. Yang lebih berkuasa atas diri anak perempuan dalam Suku Minang, adalah mamaknya. Hitam katanya, hitam yang harus terjadi. Begitupun sebaliknya. Putih, pun putih yang harus terjadi.


Dan bisa ditebak, bagaimana murkanya Mak Faizal mendengar pengaduan Ayah. Suara Mak Faizal yang memang tegas, terdengar menggelegar hingga mampu membuat tubuhku tak berani beringsut dari sudut kamar.


Tubuh gemetarku berdiri di sisi pintu. Rasa takut pada Mak Faizal sedari kecil, belum juga mampu dihilangkan, meski gelar sarjana sudah lama kusandang. Tak pernah sekalipun netra berani menatap ke arah matanya yang senantiasa tajam, mampu menelanjangi.


"Tidak adakah toleransi bagi Shanum, Uda? Zain itu anak yang baik, berpendidikan, dan juga soleh. Dan Uni Farida, ibunya Zain ...."


Kudengar pembelaan Amak dari luar sana. Getaran sangat kentara dari suaranya. 


"Hentikan pembelaanmu, Salma. Ini penyelewengan adat, menyangkut nama baikku sebaik seorang 'Mamak'!" sanggah Mak Faizal tegas.


"Tapi, Uda ...."


"Cukup, Salma! Selagi nyawa masih bertakhta dalam jiwaku, tidak akan pernah ada izin untuk berlangsungnya pernikahan ini."


*****


Derai air mata jadi saksi, keputusan akhir perembukan itu. Tidak akan ada pernikahan, tidak ada toleransi. 'Cinto Sasuku' adalah aib bagi adat yang dijaga kemurniannya.


Namun cinta suci yang kukuh pada sosok Zain, sama sekali tidak bisa kuhapus. Terpisah nyawa akan lebih kurela, daripada harus berpisah raga darinya. Cinta yang ditanamkan selama bertahun-tahun, harus menuai bahagia. Harus, meski menentang Ayah, Mak Faizal, dan adat istiadat sekalipun.


Dan tekad ini sudah bulat.


*****


"Bawa aku pergi jauh, Uda. Sejauh yang kau inginkan. Agar tiada seorang pun yang bisa memisahkan kita."


Tanpa jeda, kututurkan kalimat itu di awal pertemuan kami di sore ini. Deburan ombak di tepian pantai, jadi saksi kuserahkan jiwa raga, hidup dan mati padanya.


Beribu janji yang satu demi satu pernah diurai Zain, jadi tiang kokoh tempatku berpegang saat jiwa terombang-ambing dihempas badai perasaan.


Aku rela melepas segalanya, agar mimpi dan angan yang dari lama, terwujud indah dalam pernikahan, meski tanpa restu di dalamnya. Tapi tidak dengan Zain. Laki-laki pujaan dengan wajah teduh itu, tidak memiliki keberanian untuk membawaku terbang jauh. Sayapnya masih terlalu kecil, tak mampu menopang raga lain bersamanya.


"Tidakkah Uda mencintaiku?" Pelan, kuajukan jua pertanyaan itu. Ketidaksanggupan Zain mengabulkan inginku, membuat rasa sangsi menggelepar dalam dada.


Zain menggenggam kedua tanganku, dengan jemarinya yang hangat namun tengah bergetar.


"Ini karena cinta Uda terlalu besar untukmu, Num."


Aku mencebik, memalingkan wajah ke hamparan nyiur yang terus melambai di terpa angin.


"Alasan yang sangat klise."


"Masihkah kau meragukan Uda, setelah kita lewati waktu bertahun-tahun lamanya? Uda tidak perlu menjawab pertanyaanmu, Num. Karena jawaban yang sangat pasti, ada di dalam hatimu."


Aku terdiam. Masih sama, tidak ada sedikit pun yang harus diragukan dari diri Zain.


"Uda tidak ingin kau jauh dari keluarga besarmu. Coba pikir, bagaimana perasaan apak dan etek, jika anak mereka satu-satunya lebih memilih kabur bersama laki-laki lain?"


"Tapi bagaimana dengan cinta kita, Uda? Bagaimana dengan mimpi-mimpi kita? Relakah Uda, kalau semuanya harus dikubur begitu saja?"


Dan kali ini, Zain yang diam tak berkutik. Hanya desah napas yang ia tinggalkan sebagai jawaban.


*****


Gelap telah sempurna membungkus malam. Tidak ada lagi secercah cahaya yang tersisa di ujung ufuk. Hanya debur ombak yang sesekali memecah, sebagai penanda malam tidak sepenuhnya berbalut sepi.


"Sampai kapan kita di sini, Num?" Zain kembali berbisik dalam keheningan. "Amak dan ayahmu pasti cemas menunggu di rumah."


"Aku tidak akan pulang, sebelum kutemukan jawaban atas kebimbangan hati ini, Uda. Biar pagi segera menjelang."


"Jangan naif, Num."


Kusunggingkan senyum sinis dalam gelap. Namun tiba-tiba, angin bertiup agak kencang, menyapu helaian rambut yang bertebaran di kening. Dan tepat di saat itu, entah setan dari mana datang membisikkan sebuah jawaban atas kegelisahan yang tidak berpenghujung ini. Jalan ke depan terlihat sangat terang.


"Maukah Uda melakukan sesuatu untukku? Untuk kita?"


Dengan gugup, kuajukan pertanyaan itu. Ada rasa takut untuk melakukan ini. Namun, sepertinya inilah satu-satunya jalan untuk mewujudkan mimpi, tanpa lagi mendapat pertentangan dari Mak Faizal dan juga Ayah.


"Apa, Num?"


Meski tak dapat kulihat wajahnya dalam keremangan malam, kudengar ada kebingungan dari nada suaranya.


Masih dengan gugup dan jantung yang berdebar tak menentu, kuraih jemari Zain yang ia lipat memangku lutut. Lalu tangan itu kutuntun ke dada, menyentuh aurat kebanggaan wanita yang biasanya senantiasa kujaga sangat rapat.


Zain yang biasanya selalu menjaga sikap, seperti disengat listrik, otomatis menarik tangannya dari dadaku.


"Apa yang kau lakukan, Num?"


Tidak ada jawaban yang terlontar. Diam dan bergeming. Kuarahkan tubuh menghadapnya. Mendekat lebih rapat ke arah dua kakinya yang terlipat.


"Lakukan saja, Uda." pintaku memelas. Sengaja kudesahkan suara untuk memancingnya. Tekad di dada sudah bulat, meski jauh di dalam lubuk hati ku akui ini salah.


"Kamu sudah gila, Num? Ingat Allah, atau setidaknya ingatlah ayah dan amakmu. Kau mau menghancurkan hidup?" Suara Zain masih pelan, meski terdengar mulai tegas.


Tubuhku terus mendesak ke arahnya. Hingga wajah kami nyaris bersentuhan. Dapat kudengar degup jantung Zain yang mulai tidak beraturan, pertanda hasrat mungkin sudah mulai bergolak di dadanya.


"Ini satu-satunya jalan, Uda. Aku mohon, lakukanlah, "bisikku di telinganya. "Uda pasti tidak mau 'kan, mendengar kabar aku sudah ditemukan mati gantung diri?"


"Astagfirullah, Shanum. Jangan buat Uda serba salah begini. Pasti ada jalan keluar untuk cinta kita."


Aku mendesis. "Jalan keluar apa? Jalan keluar, kalau aku akan dinikahpaksakan dengan Haikal? Anak Mak Faizal yang sudah duda itu?" Tiba-tiba bibirku mengeluarkan isak, tanpa bisa dicegah. "Kumohon, lakukan ini Uda. Demi cinta kita."


Sekali lagi kudorongkan tubuh ke arahnya, Zain akhirnya roboh ke hamparan pasir yang berderai. Dan saat itulah, pertahanannya patah. Debur ombak jadi saksi, cinta kami yang biasanya terjaga suci, harus ternoda. Bukan karena nafsu, namun rasa kecewa dan takut terpisahlah menjadi penyebabnya.


Tidak ada penyesalan, meski derai air mata tetap mengalir, sebagai akhir dari malam itu. Aku pulang dengan lega, karena sebentar lagi tentu tidak akan ada pertentangan 'Cinto Sasuku' yang menghalangi. Dan kami pasti akan tetap satu, dalam cinta yang halal.


*****


Namun ternyata semua tak semulus yang kubayangkan. Mak Faizal, Ayah, dan Amak bertambah murka mendengar pengakuanku. Bahkan jemari Ayah berhasil mendarat sempurna di pipi kiri, meski dulu seujung kuku pun tidak pernah ia derakan pada tubuhku.


Rasa bersalah dan permohonan maaf Zain di hadapan keluarga pun menjadi tak berguna. Jangankan pernikahan yang diidamkan terwujud nyata, untuk keluar saja aku sudah tidak diizinkan lagi. Hidup dikurung dalam rumah, menanti jadwal pernikahan dengan Haikal, karena si brengsek mata keranjang itu, dengan rela menerima, walau aku tidak lagi gadis yang suci.


Namun rencana itu pun gugur, tatkala hubungan terlarang yang pernah kulakukan bersama Zain, berbenih nyata. Aku dinyatakan hamil oleh dokter yang memeriksa.


Ayah, Amak, dan Mak Faizal berada di ambang kegelisahan. 'kimpoi Sasuku' memang menggores malu, namun tentu lebih malu lagi, ketika anak gadis hamil di luar nikah. Seketika saja, rumah yang dulunya damai dan tenteram, berubah layaknya neraka. Penuh dengan selisih paham dan jawab kata. Ayah dan Mak Faizal kukuh pada pendapatnya, pantang menikahkan anak dengan laki-laki sesuku. Tapi, jiwa seorang Amak datang membela. Dengan berani, ia bersikeras mempertahankan harga diriku.


Sementara aku, hanya bergeming tanpa suara dalam kamar, menanti penuh harap dan juga cemas. Entah ke mana nasib akan membawa diri.


*****


Akhirnya impian itu terwujud. Segala mimpi dan angan menyata, tapi jauh daripada indah. Karena setelah akad nikah berlangsung sepi di KUA, kami harus segera beranjak dari kampung tempat kami tumbuh, dan menghabiskan masa kecil. Tidak ada 'baralek gadang’ layaknya anak satu-satunya 'Datuak'. Ganjaran penyelewengan adat, tetap harus dijalani. Konsekuensi wajib atas ketidakpatuhan terhadap adat istiadat yang telah mendarah daging dalam 'Nagari'. Adat tetaplah adat. Dan hukuman tetaplah hukuman. Aku dan Zain terusir dari kampung halaman.


Inilah wujud nyata dari mimpi berlandas cinta, yang terpatri dalam jiwa. Mungkin tidak salah rasa, karena memang dari Sang Maha Kuasalah ia tercipta. Bukan juga salah adat istiadat yang turun temurun dalam Nagari. Salahkanlah aku, yang tidak bisa menjaga kesucian raga, pun begitu dengan cinta yang kupunya.


Bisikan setanlah membuat diri tersesat jauh.


Tamat
Diubah oleh sylviafizzhiadh 26-07-2021 14:25
bukhoriganAvatar border
scorpiolamaAvatar border
Bgssusanto88Avatar border
Bgssusanto88 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.4K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.