wafafarhaAvatar border
TS
wafafarha
NODA DALAM PESANTREN
Prolog
___________

Ini hanya soal waktu Ibu. Semua akan terbongkar seiring berjalannya waktu yang kulalui bersama kekasihku. Jika saja hari itu aku memilihi jujur, perasaanku mungkin belum sebesar sekarang pada Gus Ubaidillah. Hingga rasa sakit kehilangannya tidak akan membuat terluka lebih dalam.

Namun, semua sudah terjadi. Masa lalu tak bisa diubah meski kita memilihnya sekali pun. Aku tak bisa menyalahkan Ibu. Sebab, wanita yang melahirkan dan membesarkanku hanya menginginkan kebaikan untuk putrinya.

Bukan hanya perut mual, kepala juga terasa sedikit berputar. Ada apa ini? Perasaan datang bulan yang kujalani selama ini tidak semenyakitkan sekarang.

****

Seseorang tiba-tiba mendorong tubuhku melesak kembali masuk ke kamar mandi. Napas hangatnya membuatku sesak. Bau busuk alkohol yang dulu sangat kusuka, menusuk penciuman hingga mendorong sesuatu dalam perut ingin keluar. Mual. Aku sangat mual.

"Fay!"

Mataku melebar sempurna, lelaki yang sudah kulupakan keberadaannya kini berdiri di depanku dan berbuat kurang ajar.

Ke mana semua orang?

Kenapa pria ini bisa masuk ke kamarku?

"Bah! Bu! Mas Indra! Tolong Lian!" Aku berteriak sekuat tenaga. Berharap satu dari mereka datang dan menolong. Tidak ada suara sesiapa. Rumah ini sangat sepi. Ya Tuhan, aku baru ingat tadi pagi Ibu bilang akan ke rumah Bude dengan Abah. Karena perjalanan lumayan jauh,  tidak mungkin mereka berboncengan, Mas Indra pasti menyetir mobil untuk mereka.

"Diam Jalang!" seru Fay meremas mulutku hingga rasa sakit dan perih menyusul kemudian.

"Tidak! Kamu mau apa di sini?" Ya Tuhan aku sangat takut. Apa yang akan pria ini lakukan? Handuk yang terlilit di tubuh bahkan tak menutupi dengan benar.

"Heh!" Fay memiringkan senyum. "Kamu sudah tau aku akan datang rupanya." Matanya melotot memandangi tubuhku. “Jika aku tak bisa memilikimu setidaknya biarkan aku yang merasakannya pertama kali."

"Tidak, Fay. Aku akan menikah! Lepaskan kumohon!"

Aku meronta sekuat yang kubisa sampai memohon-mohon padanya sambil menangis.

'Ibu, Abah ... aku takut.'

Upayaku gagal, pria itu sedang tidak waras karena di bawah pengaruh alkohol.

Tubuh ini tak bisa bergerak karena sudah terkunci olehnya. Air mata semakin deras seiring perbuatan kotor yang Fay lakukan padaku.

****

Suara-suara obrolan terdengar dari arah depan, tak lama menyusul suara derit pintu terbuka. Keluargaku sudah datang.

"Li!" Ibu memanggil. "Li!" Suara itu makin mendekat, karena tak ada jawaban dariku.

"Li kamu kenapa?" Ibu bertanya sembari menghambur ke arahku. Ia mulai panik melihatku menangis lebih keras karena kedatangannya.

Apa yang terjadi antara aku dan ibu, memancing Abah dan Mas Indra turut masuk ke kamar.

"Kamu kenapa Li?" Abah juga bingung melihat keadaan anaknya. Lidah ini masih kelu, aku merasa jijik pada tubuhku yang kotor.

"Katakan, Li. Jangan buat ibu dan Abah bingung." Ibu mulai mendesak.

Sekilas kulihat Mas Indra bergerak ke luar kamar seperti mencari sesuatu. Tak lama ia kembali. "Bah,  ada yang mendobrak pintu belakang!" seru Mas Indra. Pintu itu pasti Fay yang mendobraknya. Lelaki keparat yang nekat merenggut kehormatanku.

Aku tidak akan memaafkanmu, Fay! Tidak akan!

"Apa ada maling? Apa kamu dilukai?" Ibu yang sudah duduk di hadapan, memegang dua pundakku.

"Jawab Li, jawab!" teriaknya kemudian.

Apa yang harus kukatakan? Aku terlampau takut. Semua akan menghancurkan masa depanku jika terbongkar. Bagaimana dengan pernikahan dengan pria bernama Ubaidillah anak Kiai dari Pesantren Darul Falah?  Tidak semua gadis punya kesempatan bisa menikah dengan pria sebaik dia.

Aku takut, jika aku jujur keluargaku akan membatalkan pernikahan ini.

****

Lelaki yang sudah menikahiku, seperti panik mencari sesuatu. Ia bolak-balik sprei yang sudah berantakan karena malam pertama kami jadi semakin berantakan. Sementara aku menarik selimut menutupi tubuh.
"Ada apa, Gus?"

"Mana? Ke mana bercak darahnya?" Ia bertanya tanpa melihat ke arahku.

Gawat, apa dia akan tahu bahwa aku tak perawan lagi? Bagaimana aku akan menjelaskannya?

Sampai bosan ia tak menemukan apa yang  dicari, Gus Bed beralih padaku. Ia manatap lekat-lekat sampai kulihat dua manik mata hitam miliknya.

"Dek, katakan padaku sejujurnya. Kenapa tak ada bercak darah? Bukankah saat lamaran kamu bilang, kamu masih perawan?" Suara itu menekan dengan wajah yang mulai merah padam.

Allahu ... aku takut.

Ini kah yang dimaksud ujian hijrah? Aku memang pernah jadi pecandu narkoba. Tapi aku bukan seorang pramuria atau pun pezina, dan kini haruskah hidup bertahan dengan kebohongan dan menjadi noda dalam pesantren?

****

BAGIAN 1 : PERNIKAHAN

______

"Mana? Di mana bercak darahnya?"
Suamiku masih seperti orang kesurupan, membolak-balik sprey yang berantakan karena hubungan pertama kami.

"E-e-em-maafin adek," gagapku sambil menunduk dalam. Pria itu menghentikan pergerakan lalu menatap ke arahku.

"Aku, aku, aku ... sudah tidak perawan," ucapku dengan mata memanas. Air mata ini tumpah juga setelah kutahan-tahan.

"Kamu membohongiku dan keluargaku, Dik?" Pelan suara itu meluncur dan menekan.

Saat mendongak untuk melihat wajah suami, dua mata itu memerah dan basah. Mungkin kah sama sepertiku, matanya perih dan panas?

"Ma-maaf."

Aku kembali menunduk. Belum juga bisa menstabilkan deru takut dalam dada, lenganku ditarik kasar.

Sambil memegangi selimut aku pasrah mengikutinya.

"Jangan, Gus." Aku menggeleng saat sadar ia akan membuka pintu kamar. Berusaha menahan kemauannya.

Di luar banyak sekali orang. Mereka masih bantu-bantu, bahkan dua orang tua dan kakakku masih di sini. Apa suamiku akan mengatakan pada semua orang bahwa aku sudah tidak perawan dan membuangku ke luar? Bukan kah aib seorang istri juga aib suaminya? Tidak bisa kah ia menahan sebentar. Lalu mengusirku saat semua orang tidak ada di rumah ini?

Benar saja, tubuhku di lempar di tengah orang-orang yang masih sibuk dengan acara pernikahan kami.

Semua orang -yang didominasi wanita- terhenyak. Menatapku yang menangis terisak karena perlakuan Gus Bed. Ibu melihatku, ia segera menghambur dan memelukku. "Ada apa, Nduk!"

"Lihat dia! Dia tidak perawan dan sudah berzina dengan pria lain!" Suara Gus meninggi, membuat rumah yang ramai menjadi sunyi seketika.

Semua orang hanya fokus mendengarnya dan menatapku dengan pandangan jijik secara bergantian.

"Oh, sudah ndak perawan? Makanya, kan mbak sudah bilang, kamu nikah itu sama yang sekufu, bukan perempuan bebas seperti dia!" telunjuk Ning Aishwa mengarah padaku.

"Li ...." Ibu meremas pundak hingga aku tersadar.

Semua bayangan buruk malam pertama itu hilang. Aku mendesah berkali-kali. Jangan sampai petaka malam pertama dalam bayanganku terjadi. Aku harus jujur pada Ibu, Abah dan Mas Indra sekarang. Mereka tahu aku harus berbuat apa?

"Bu, Bah ...." Kusebut dua orang itu, menatap mereka secara bergantian lalu pandanganku mengarah pada Mas Indra yang sedari tadi menyorot pandangan pada adiknya.

Mas Indra menyilang tangan di dada, siap menyimak dengan serius. Ia sepertinya tahu aku akan menyampaikan sesuatu hal yang sangat penting.

"Katakan Li, jangan takut. Mas akan melindungimu."

Mendengar ucapannya aku malah makin menangis, tapi karena harus jujur kuusap kasar air mata yang menderas.
"Mas, aku dirudapaksa," ucapku sambil terisak.

"Apa?" Mereka bertiga mengucap terkejut.

"Argh! Brengsek! Sial!" Mas Indra refleks memukul pintu lemari kayuku hingga meninggalkan bekas yang retak di sana.

Tubuh Ibu bahkan sampai merosot ke bawah ranjang dalam posisi terduduk. Hanya Abah yang tampak bergeming, tapi tetap saja wajah tua miliknya terlihat syok.

Mas Indra marah luar biasa, aku yakin tangannya sekarang tengah terluka karena menghantam almari. Ia berbalik menatap dengan garang ke arahku.
"Li ... kamu kenal pria itu?!" tanyanya dengan dada naik turun lantaran amarah.

Aku mengangguk pelan. "Maafkan Li, Mas," lirihku. Suara ini seolah tercekat di kerongkongan saat mengucapnya.

Mungkin Fay sangat dendam. Hari di mana kami putus, aku mempermalukannya di depan semua orang. Termasuk di depan rekan satu lokal dan beberapa dosen kami. Ya Tuhan, aku hanya bisa merutuki kesombonganku dulu.

"Ngaca donk, Fay! Kita tidak mungkin menikah sementara satu semester saja kamu habiskan selama tiga tahun, masa depanku akan suram bersamamu!" teriakku tepat di depan wajahnya.

Sejak hari itu kami tak pernah bertemu, hingga kudengar kabar bahwa ia memilih pindah ke luar negeri.

"Fay, Mas." Bahkan menyebut namanya saja aku merasa jijik. Jijik pada perbuatannya juga jijik pada tubuhku sendiri.

"Brengsek! Datang-datang bawa mala petaka," geram Mas Indra sebelum meninggalkan ruangan. Ada api di matanya seolah siap membakar seseorang yang membuatnya murka.

"Indra! Tunggu!" seru Abah mengejar anak sulungnya yang dikuasai emosi.

"Jadi ... apa rencanamu, Li?" Ibu bertanya dengan tatapan kosong ke dinding.

"Kita jujur saja, Bu," jawabku tanpa ragu.

"Maksudmu jujur pada keluarga Kiai Abdullah?" Seketika Ibu menoleh. Ini adalah pembicaraan serius yang tentu saja mengundang perhatian lebih darinya.

"Li, nggak mau dipermalukan Gus di malam pertama, Bu."

"Dipermalukan?!" Ibu lebih antusias hingga tubuhnya yang sempat luruh ke lantai, bangkit dan kembali duduk di ranjang mengahdapku.

"Katakan apa maksudmu?"

Aku terdiam bingung bagaimana menjawabnya? Tidak mungkin semua itu terjadi dalam bayanganku karena tak jujur ada mereka. Kepalaku kembali menunduk, dan lagi ... hanya bisa menangis.

"Dengar, Li! Lihat ibu!" Wanita paruh baya itu kembali memegang dua pundakku. Bahkan lebih menekan dari sebelumnya.

Kudongakkan kepala sembari mengusap pelan pipi yang basah. Tampak jelas mata lebar Ibu yang dipenuhi kaca-kaca itu bergerak.
"Jangan turutkan asumsimu, Li. Ini musibah. Ini takdir yang tidak bisa kamu pilih. Selama mereka tidak bertanya, kita tak perlu menjawabnya. Benar, kan?" Ibu melebarkan matanya. Jelas sekali kalimatnya adalah sebuah paksaan.

"Tap-ta ...."

"Li, ibu tak mau lagi melihatmu jatuh dalam kenistaan, Sayang. Menurut lah pada Ibu." Ibu menyisihkan sebagian rambut yang menutup sebagian wajahku.

Belum lagi aku menjawab, wanita itu memelukku. "Ini bukan nasehat, Li. Ini perintah." Nada suara Ibu menekan.

Ya Rabb. Apa yang harus kulakukan? Semua yang Ibu katakan sepertinya benar, meski ada sisi hatiku yang lain memprotesnya.

****

Hari beranjak sore, setelah dua jam pergi akhirnya Abah dan Mas Indra datang. Wajah mereka tampak suram, lebih abangku.

"Bagaimana, Bah?" Ibu tak sabar ingin mendengar apa yang terjadi. Sedang pria tua itu hanya menggeleng.

"Brengsek! Fay tidak tinggal di rumahnya yang dulu, Bu!" dengkus Mas Indra.

"Ya, sudah. Biarkan saja." Ucapan Ibu sontak membuat Abah dan Mas Indra menoleh ke arahnya.

"Ini adalah takdir. Kita urus nanti saja, yang terpenting sekarang ini adalah pernikahan Li dengan putra Kiai Abdullah." Ibu bicara serius.

Seperti biasa, pendapatnya lah yang paling kuat di rumah ini. Bahkan Abah pun seringkali mengalah dan nurut apa maunya Ibu. Keberadaan wanita itu seperti kompas, saat kami kehilangan arah jalan. Untungnya apa yang ia putuskan menjadi jalan terbaik untuk kami.

Bissmillah! Ini adalah keputusan terbaik!

BERSAMBUNG ke HALAMAN INI
Diubah oleh wafafarha 22-05-2021 05:19
a.w.a.w.a.wAvatar border
bukhoriganAvatar border
mutia4943Avatar border
mutia4943 dan 7 lainnya memberi reputasi
6
1.7K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.