shellaanggieAvatar border
TS
shellaanggie
HUKUM INDONESIA DAN RELEVANSINYA BAGI KAUM TERTINDAS

   Berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945, disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya, Indonesia didasarkan pada asas hukum. Segala kehidupan berbangsa dan bernegara, semuanya berlandaskan pada hukum. Jika ada individu yang melanggar ketentuan hukum, maka individu tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana hukum yang mengatur pelanggaran yang dilakukannya berlaku. Namun, apa realitas yang terjadi di sekitar kita memang demikian?

Di Indonesia, rasanya sudah tidak asing bagi masyarakatnya dalam mendengar “hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas”. Banyaknya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai latar belakang pangkat atau kedudukan tinggi di pemerintahan namun tidak mendapatkan penyelesaian yang sesuai dengan hukum yang mengatur, pelakunya masih dibiarkan berkeliaran atau hanya menjalankan masa hukuman dalam kurun waktu yang sangat singkat; sebaliknya mereka yang berasal dari kalangan bawah—orang-orang yang miskin secara ekonomi, sosial, politik, sipil, dan budaya—mendapatkan perlakuan hukum yang sepenuhnya berbeda ketika mereka melakukan pelanggaran hukum.

   

   Sebut saja Kasus Nenek Minah di mana nenek Minah yang berusia 55 tahun mendapatkan hukuman selama 1 bulan 15 hari penjara karena mencuri 3 buah kakao, Kasus Kaus Bekas di mana seorang buruh tani mendapatkan hukuman selama 3 bulan penjara karena memungut kaus lusuh di pagar tetangganya, atau Kasus Nenek Asiani di mana nenek Asiani yang berusia 63 tahun terancam mendapatkan hukuman selama 1 tahun penjara serta sebanyak lima ratus juta karena mencuri 7 batang kayu jati milik Perhutani Situbondo. Jika dibandingkan dengan kasus-kasus pelanggaran hukum yang menimpa mereka yang berasal dari status ekonomi, sosial, dan politik tinggi, rasanya hukum di Indonesia memang belum dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi kaum yang tertindas, dan sebaliknya, hukum malah dijadikan alat bagi mereka yang berkuasa untuk berlaku sewenang-wenang.

    

     Mereka yang tertindas di masyarakat bukan hanya 27,55 juta orang yang tercatat miskin oleh Badan Pusat Statistik pada bulan September 2020, melainkan termasuk perempuan yang dalam ranah sosial kedudukannya dianggap berada di bawah laki-laki, kelompok masyarakat adat, buruh, kelompok minoritas, dan kaum lain yang tidak berdaya. Menurut pasal 5 ayat 3 UU Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah mereka yang berusia lanjut, anak-anak, orang miskin, perempuan hamil, dan orang dengan disabilitas. Beberapa organisasi HAM Internasional menambahkan pengungsi, internally displaced person, orang tanpa kewarganegaraan, buruh migran, penyandang HIV/AIDS, dan kelompok LGBT sebagai kelompok rentan.Dikutip dari situs resmi HuMa, ada beberapa faktor yang menyebabkan hukum di Indonesia berada di kondisi stagnan atau kondisi di mana negara gagal menjadikan sistem hukum sebagai pemberi perlindungan dan keadilan bagi kelompok tertindas.

     Faktor-faktor tersebut yaitu politik dan arah pembaharuan hukum yang eksklusif, kualitas penegakan hukum yang rendah, maraknya korupsi di lembaga hukum, lembaga peradilan yang gagal menjadi wadah pembaharuan hukum, dimanfaatkannya Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan pengawal konstitusi oleh kelompok elit, edukasi hukum yang orientasinya bergeser menjadi budak pasar, dan gagalnya korporasi hukum serta pemerintah dalam menyelesaikan sengketa yang melibatkan masyarakat miskin dengan cara adil. Jika kondisi stagnan ini dibiarkan berlarut-larut, maka status Indonesia sebagai negara hukum hanya tinggal status belaka yang berujung pada kematian hukum di Indonesia.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak kaum tertindas di bidang hukum adalah dengan memberikan pemberdayaan hukum. Pemberdayaan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu pengacara, aktivis, petani, tokoh masyakarat, mahasiswa, bahkan kelompok rentan itu sendiri dan bertujuan untuk memerdekakan kaum tertindas. Bentuk-bentuk pemberdayaan hukum dapat berupa street lawatau pengajaran praktik hukum ke kelompok grassroot (akar rumput) dengan menggunakan metodologi interaktif; clinical legal education, yaitu suatu bentuk pengajaran di mana mahasiswa hukum mempraktikkan hukum untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang meminta kasusnya diadvokasi oleh fakultas hukum; pendidikan kritis atau pendidikan yang bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada kelompok tertindas tentang hak-hak mereka; ghost lawyer yaitu kelompok tertindas menjadi lawyer bagi diri mereka sendiri; dan pengorganisasian masyarakat. Dengan cara-cara ini, diharapkan ketidakadilan hukum yang sering menimpa kaum tertindas di Indonesia dapat diminimalisasi, jika perlu dihilangkan sekalian. Adanya Aparat Penegak Hukum (APH) yang berspektif keadilan sosial juga diperlukan untuk mengembalikan hakikat hukum sebagai pemberi keadilan dan perlindungan kepada setiap orang, tidak hanya mereka yang berada di puncak hierarki ekonomi, sosial, dan politik.




Penulis: Sela Anggie (191011500020)

Tulisan dibuat guna memenuhi tugas salah satu mata kuliah

Dosen Pengampuh: Amelia Haryanti S.H.,M.H.


avanta2Avatar border
cepakersAvatar border
eyefirst2Avatar border
eyefirst2 dan 5 lainnya memberi reputasi
2
1.4K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Citizen Journalism
Citizen Journalism
icon
12.5KThread3.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.