perojolan13Avatar border
TS
perojolan13
Kalau Ngomongin Utang, Ternyata BUMN Rajanya




Jakarta, CNBC Indonesia - Utang badan usaha milik negara (BUMN) masih akan menjadi perbincangan hangat semua kalangan. Pemerintah kini sedang dikejar tanggungjawabnya untuk kembali menyehatkan perusahaan miliknya.

Utang BUMN non lembaga keuangan tercatat naik 100% di era Presiden Joko Widodo. Saat awal menjabat utang yang tercatat mencapai Rp 500 triliun. Akhir tahun lalu utang sudah tembus Rp 1.000 triliun.

Kemudian untuk utang institusi keuangan pelat merah yang tidak memasukkan tabungan dan deposito juga meningkat secara tajam. Dengan laju yang hampir mirip utang BUMN keuangan naik dari Rp 560 triliun lima tahun lalu dan tembus Rp 1.000 triliun per akhir Desember 2020.

Total utang BUMN tercatat mencapai lebih dari Rp 2.000 triliun. Dari sekian banyak gunungan utang yang tertera di neraca laporan keuangan BUMN itu sebanyak lebih dari Rp 850 triliunnya merupakan utang luar negeri (ULN).

Berdasarkan statistik ULN BI, total utang luar negeri BUMN pada Februari 2021 mencapai hampir US$ 60 miliar atau nilainya setara dengan Rp 862 triliun jika menggunakan asumsi kurs Rp 14.000/US$. ULN naik 10% dalam satu tahun terakhir.

Tentu saja porsi utang luar negeri dan dalam denominasi mata uang asing menjadi risiko tersendiri ketika nilai tukar rupiah cenderung tertekan akibat adanya capital outflow.

Kalau dilihat-lihat penumpukan utang BUMN ini diakibatkan oleh penugasan yang dibebankan oleh pemerintah pusat mulai dari memberikan subsidi hingga pembangunan infrastruktur. Hanya saja penugasan tersebut bisa dibilang lumayan kebablasan karena kebanyakan di luar kapasitas perusahaan.

Pemerintah punya rencana menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui proyek-proyek infrastruktur. Ambisinya besar karena membutuhkan dana lebih dari Rp 6.400 triliun. Sementara anggaran dari APBN harus dibagi-bagi dan terbatas.

Untuk menambal sebagian lagi kekurangan dana tersebut BUMN harus turun tangan mencari pendanaan. Apalagi kalau bukan lewat instrumen utang. Penumpukan utang dalam waktu kondisi ekonomi yang sehat tak terlalu terlihat. Namun saat terpuruk seperti ketika pandemi Covid-19 merebak, bau busuk utang yang menyengat mulai tercium.

Tak sedikit BUMN strategis yang sekarat karena utang. Sebut saja BUMN baja PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang harus merestrukurisasi utangnya hingga lebih dari Rp 20 triliun.

Kemudian ada BUMN penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang ekuitasnya sempat negatif dan keduanya harus ditalangi APBN yang seharusnya dialokasikan untuk hal yang lebih produktif di kala sulit.

Belum lama ini ada lagi BUMN perkebunan yaitu PT Perkebunan Nusantara III (Persero) tengah dalam proses melakukan restrukturisasi utang yang nilainya fantastis. Nilai utang yang direstrukturisasi ini nilai mencapai Rp 45 triliun.

Sedihnya lagi 68% total kredit tersebut terekspos ke bank-bank pelat merah dan juga entitasnya. Selain BUMN perkebunan, perusahaan pelat merah konstruksi juga menjadi sorotan pengambil kebijakan maupun pelaku pasar.

Pada tahun 2020 PT Waskita Karya Tbk (WSKT) tiba-tiba secara mengejutkan mencatatkan kerugian sebesar Rp 7,28 triliun, kebalikan dari tahun sebelumnya laba Rp 872 miliar.

Kondisi ini kian dipeberat dengan liabilitas sebesar Rp 89,01 triliun dan beban bunga utang sebesar Rp 4,7 triliun. Sebetulnya, upaya perseroan menekan beban bunga sudah dilakukan, di antaranya dengan mendivestasi 5 ruas tol yang dikelola Waskita, namun investor menunda rencana pembelian karena pandemi Covid-19.

Kemudian ada BUMN konstruksi lain yakni PT Wijaya KaryaTbk (WIKA) yang juga memiliki utang yang menggunung. Meskipun masih untung, bukan berarti WIKA selamat dari permasalahan lain yang sudah disebutkan di atas yakni besarnya hutang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat dan perlu dilunasi.

Tercatat hutang jangka pendek WIKA melesat di tahun 2020 ini dari posisi tahun 2019 sebesar Rp 30,3 triliun menjadi Rp 44,1 triliun di akhir tahun 2020 atau kenaikan sebesar 45,54%.

Tercatat kas dan setara kas perseroan di posisi tahun akhir tahun 2020 berada di angka Rp 14,9 triliun, sehingga melunasi seluruh utang jangka pendek perseroan menggunakan kas dan setara kas perusahaan bukanlah opsi yang bisa dipilih.

Itulah tadi beberapa contoh BUMN yang sekarang nafasnya tersengal-sengal karena tertekan oleh timbunan utang yang menggunung ditambah dengan adanya tekanan dari pandemi Covid-19.

Solusi Utang BUMN RI Apa?



Utang memang bisa meningkatkan produktivitas jika digunakan dengan bijak. Namun jika mengambil utang dengan ugal-ugalan tanpa pertimbangan matang maka hanya akan menjadi bom waktu.

Saat kondisi sulit seperti resesi ekonomi tahun lalu. Utang menjadi solusi utama untuk menyelamatkan perekonomian. Baik korporasi maupun negara cenderung mencari utangan.

Namun sayang di dalam negeri pasar keuangan yang belum berkembang membuat akses pendanaan korporasi masih sangat tergantung pada perbankan.

Di sisi lain pemerintah juga membanjiri pasar dengan menerbitkan instrumen utang yang kuponnya lebih menarik dari tabungan dan deposito sehingga memunculkan fenomena crowding out.

Bayangkan saja dari total nilai outstanding instrumen utang di pasar modal dalam negeri pangsa surat utang korporasi hanya menyumbang di bawah 5% saja. Sisanya dikuasai oleh pemerintah.

Bank sebagai lembaga keuangan yang siklikal akan cenderung main aman dan mengerem laju penyaluran kredit ketika ekonomi sedang kurang sehat. Lantas ketika pemerintah menguasai pasar dan bank mengerem kredit ke mana para korporasi harus meminjam?

Beberapa BUMN bisa menerbitkan obligasi di pasar internasional dalam denominasi asing. Namun di saat yang sama hal ini menunjukkan bahwa permasalahannya bukan hanya utang yang semakin menggunung tetapi juga akses pendanaan yang cenderung terbatas.

Lihat saja sepanjang tahun lalu. Ketika dana pihak ketiga (DPK) bank naik, kredit direm dan porsi kepemilikan surat berharga bank-bank cenderung meningkat.

Toh kalau pun pemerintah memberikan suntikan modal langsung lewat PMN apakah bisa langsung sehat? Kan tidak juga. Lagipula dari sekian banyak penugasan yang diberikan ke BUMN pemerintah juga masih memiliki tunggakan pembayaran kepada BUMN yang cairnya butuh bertahun-tahun.

Utang pemerintah pusat memang masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain maupun ambang batas yang diamanatkan oleh undang-undang. Namun melihat BUMN yang sekarat akibat utang pemerintah tentu saja tak bisa berdiam diri.

Salah satu upaya untuk menyehatkan kembali 'anak-anaknya' yang sedang sakit dan sekarat pemerintah lewat Kementerian BUMN berupaya mendorong privatisasi BUMN dan anak usahanya lewat penawaran perdana saham guna meraih pendanaan non utang.

Keberadaan SWF (INA) juga digunakan sebagai salah satu alternatif solusi pendanaan non-utang. Hanya saja Fitch Ratings dalam risetnya mengatakan bahwa deleveraging utang BUMN lewat INA tidak bisa terjad dalam waktu singkat mengingat modal INA masih relatif kecil dibandingkan dengan utang BUMN terutama yang strategis.

Fitch menilai, modal INA relatif kecil dibandingkan dengan skala utang di antara BUMN yang bergerak di sektor strategis, seperti konstruksi, jalan tol, dan minyak dan gas (migas).

Misalnya, total utang perusahaan konstruksi BUMN lebih dari Rp 170 triliun per akhir September 2020 dan utang PT Pertamina (Persero) sekitar Rp 300 triliun per akhir Juni 2020.

Bagaimanapun juga untuk saat ini masalah utang yang mencekik BUMN menjadi urgensi yang harus diprioritaskan oleh para pemangku kebijakan. Tata kelola yang profesional, efisien, transparan, akuntabel serta terbebas dari kepentingan politik haruslah menjadi pilar utama dalam menjalankan bisnis BUMN ini.

link


Total utang BUMN tercatat mencapai lebih dari Rp 2.000 triliun. Dari sekian banyak gunungan utang yang tertera di neraca laporan keuangan BUMN itu sebanyak lebih dari Rp 850 triliunnya merupakan utang luar negeri (ULN).

Berdasarkan statistik ULN BI, total utang luar negeri BUMN pada Februari 2021 mencapai hampir US$ 60 miliar atau nilainya setara dengan Rp 862 triliun jika menggunakan asumsi kurs Rp 14.000/US$. ULN naik 10% dalam satu tahun terakhir.

Misalnya, total utang perusahaan konstruksi BUMN lebih dari Rp 170 triliun per akhir September 2020 dan utang PT Pertamina (Persero) sekitar Rp 300 triliun per akhir Juni 2020.
khoirul48Avatar border
Junmai92Avatar border
skull18Avatar border
skull18 dan 24 lainnya memberi reputasi
21
5.1K
100
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.