Atma, Arman, Nino, dan Joni—disingkat Mama Noni—adalah empat sekawan yang memiliki hobi menelusuri jejak-jejak misterius. Sudah pasti kegiatan mingguan mereka itu dilakukan di malam hari, tepatnya malam Jumat yang kebanyakan orang percaya, jika di malam itu, adalah malam yang paling menyeramkan, tetapi tidak bagi mereka, si empat sekawan.
Suara ketukan pintu membuat Atma yang tengah berselonjor di ranjang sembari membaca buku berisi hal-hal mistis, segera membalikkan badan, menoleh ke arah pintu. "Buka aja, nggak dikonci," katanya pada sosok di balik pintu.
Namun, tidak ada jawaban, tidak juga ada pergerakan pada knop pintu. Mungkin, itu adalah ibunya yang tiba-tiba kebelet pipis, lalu pergi ke kamar mandi, pikir Atma. Lantas membuatnya kembali menggeluti aktivitas. Berselang beberapa detik, pintu kembali terdengar diketuk beberapa kali.
"Siapa?" tanya Atma bernada setengah lantang. Tidak ada jawaban, membuat laki-laki itu turun dari ranjang. Pasti ini ulah salah satu temannya, demikian estimasi yang timbul pada benak Atma.
Sampai di tempat tujuan, Atma memainkan knop, pintu pun terbuka, dan ... "CILUK BWA! KENA LO!" Ternyata, dia adalah Nino, laki-laki yang tingkat kejailannya setara dengan kuntilanak kurang belaian.
Atma memasang wajah datar, sama sekali tidak terkejut dengan kelakuan laknat temannya. Ia kembali menuju tempat ternyaman, ranjang, melanjutkan sesi membaca buku. Hal itu menimbulkan kernyitan pada Nino, tetapi akhirnya mengikuti arah langkah Atma, lalu mengambil tempat duduk di sofa samping ranjang.
"Mat, gue ada bawa berita duka dari kampung sebelah," cerita Nino sembari mengambil gawai dari kantong celananya. Atma diam, tanda bahwa ia mendengarkan dan meminta kelanjutan. Nino pun kembali bersuara, "liat, deh, kematiannya tragis banget, asli." Laki-laki itu menyerahkan gawai canggihnya pada Atma.
Dengan mata setajam siletnya, Atma memperhatikan gambar yang terpampang di layar gawai dengan saksama. Seorang laki-laki dengan wajah penyok berlumuran darah terkapar di aspal.
"Dia habis balap liar di jalan A, kemarin malem tepatnya. Waktu tancap gas, dia disrepet pembalap lain, hingga dia kehilangan keseimbangan, akhirnya jatuh dan terpelanting cukup jauh sama motornya," kata Nino menceritakan kejadian tragis itu.
Mengembalikan gawai Nino, Atma merubah posisi menjadi duduk bersila. Menyilangkan kedua tangan di depan dada, ia pun berkata, "Malam ini adalah jadwal kegiatan kita, dan gue ada ide." Matanya menyipit, sebuah senyum smirk menghiasi wajah tampan laki-laki itu. "Jeruk nipis," lanjutnya.
Dahi Nino mengeriting, teramat bingung dengan dua kata yang diucapkan temannya. "Jeruk nipis?"
***
Tepat pada pukul 00.15 dini hari, sebuah sedan hitam melaju membelah jalan. Empat sekawan duduk bersandar di bangku masing-masing dengan sabuk pengaman yang terpasang. Atma tampak fokus mengemudi, sedang Nino berada di sebelahnya, laki-laki itu tengah sibuk merekam jalanan sepi nan temaram menggunakan kamera khusus. Pepohonan rimbun menguasai sisi jalan, deru mesin kendaraan beradu dengan gesekan ban pada aspal. Sementara, dua laki-laki lain berada di jok belakang—Joni dan Arman—sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Oke, guys, sebentar lagi kita bakalan sampai di lokasi tujuan kita. Ini suasana mistisnya udah terasa banget, sepi, dingin, kayak sikap dia ke gue. Etdah," celoteh Nino tidak jelas. Kamera ia alihkan pada Atma. "Sementara, kapten kita lagi nyetir, guys, tampangnya itu nggak sabar banget kayaknya buat berhadapan sama roh-roh gaib."
Atma diam seribu bahasa, tidak sedikit pun menanggapi lelucon Nino. Sampai di detik ketiga setelah laki-laki di samping selesai bertingkah, Atma segera menekan pedal rem sekuat tenaga, membuat para penumpang limbung ke depan. Paling apes adalah Nino, kepalanya terbentur ke dashboard mobil.
"Ya, Allah, Ya, Tuhan kami! Eh, Mamat, kepala gue kejedot, lo ngapain ngerem-ngerem mendadak? Kasi kode dulu, napa?" omel Nino sembari mengusap dahinya yang terasa benjol.
Pandangan Atma lurus ke depan, menyipit tajam. "Ada orang di depan," katanya lirih.
Sontak, Joni dan Arman memajukan tubuh mereka. Nino pun tidak tinggal diam, menekan tombol zoom pada kamera. Pada jarak sekitar 25 meter, beberapa orang laki-laki tampak berdiri dan duduk, ada yang memegang kamera, ada pula memegang pencahayaan. Seorang tampak menabur sesuatu pada aspal sembari berjalan mengitar, dan dua orang sisanya duduk bertinggung dengan sebelah tangan macam memeras sesuatu.
"Kita keduluan," kata Atma setelah sekian lama bungkam. Semua orang menatapnya heran. "Mereka ngelakuin apa yang mau kita lakuin."
"Lo serius?" tanya Arman tampak tidak percaya.
"Eum," jawab Atma seraya mengangguk, "dan kayaknya kita harus tetap di sini sampai mereka pergi."
"Ah ... nggak seru banget jadinya, guys, masa kita musti nungguin mereka selesai? Keburu pagi," keluh Nino.
"Lampu depan udah lo matiin?" tanya Joni yang sejak tadi tidak pernah bersuara, diangguki oleh Atma.
"Untuk sementara, kita perhatiin gerak-gerik mereka. Ini kesempatan kita buat mengetahui risiko yang didapat dari eksperimen itu," jelas Atma pada ketiga temannya.
Akhirnya, mereka memilih diam di tempat, mengamati kelima laki-laki di depan sana yang masih menjalankan eksperimen 'memeras jeruk nipis pada bekas darah korban kecelakaan'. Tidak berselang lama, sebuah teriakan aneh pun menyita perhatian keempat pemuda itu.
"Ada yang denger, nggak?" tanya Atma, ketiganya mengangguk. "Bisa jadi itu suara yang timbul karena perasan jeruk nipis tadi," lanjutnya bercerita.
"Aneh juga, ya, kenapa bisa gitu?" heran Nino memasang wajah terperengah.
"Konon, teriakan itu berasal dari pemilik darah korban kecelakaan, karena merasakan sakit ketika jeruk nipis bersentuhan dengan bekas darahnya," jelas Atma terdengar begitu meyakinkan, hingga timbul anggukan berulang kali pada Nino.
"Ada yang jatuh!" seru Arman, dan kejadian itu terekam jelas oleh kamera digital Nino.
"Itu yang nabur bunga," lanjut Arman.
"Dia keseret, guys!" Nino tidak kalah histeris.
Laki-laki penabur bunga itu tampak kewalahan untuk kembali berdiri, sebab kakinya seperti dipegangi kuat oleh sesuatu. Sementara, satu orang pemeras jeruk nipis mulai kehilangan kesadaran, tampaknya kerasukan makhluk astral. Laki-laki tanpa kegiatan apa pun segera bertindak, memegangi kedua tangan temannya yang kerasukan.
"AAA ...!"
Suasana semakin menegang tatkala suara teriakan kembali terdengar, persis seperti suara laki-laki, tetapi sangat jelas jika bukan kelima laki-laki itu asalnya.
"Gila, guys, gue merinding," curhat Nino seraya mengusap sebelah lengannya yang terbuka.
Bertambah lagi laki-laki yang kesurupan. Kali ini si pemegang kamera, ia mulai menerjang si penabur bunga, tetapi berhasil dielak.
Atma menurunkan kaca jendela, maka suara mereka kian terdengar jelas. Suasana tampak tidak terkendali, si pemegang pencahayaan terus menghindar ketika temannya yang kerasukan menggila hendak menerjangnya.
"Siapa yang suruh kalian melakukan perbuatan laknat ini, ha?!" teriak salah satu dari laki-laki yang kerasukan. "Ini tempat tinggal kami, jangan coba-coba menginjakkan kaki di sini jika niat kalian tidak baik!"
"Suara-suara tadi masuk kamera, nggak?" tanya Atma pada Nino.
"Kayaknya masuk, Ma," jawab Nino, kini dengan raut yang lebih serius daru sebelumnya.
"Guys, guys, mereka main fisik!" seru Joni.
Seketika ketiga laki-laki itu terperengah tatkala mendapati salah objek yang kerasukan mulai bermain fisik, sedang si penabur bunga malah melakukan aksi perlawanan. Terjadilah perkelahian.
"Kayaknya nggak ada yang bisa ngeluarin jin dari tubuh teman mereka," komentar Arman, diangguki oleh Atma, ia kembali berujar, "bener-bener modal nekat."
"Apa nggak sebaiknya kita keluar bantuin mereka?" usul Joni dengan tampang was-was, sepertinya cemas terhadap kejadian di depan sana.
"Tunggu sampai mereka bener-bener nggak bisa ngeluarin jin dari tubuh teman mereka," timpal Atma, maka tidak ada yang bisa mengelak.
"Woi, ada yang ngeluarin senjata tajam!" seru Nino tatkala mendapati sosok si penabur bunga mengeluarkan sebilah pisau berukuran sedang dari dalam jaket dan hendak melukai temannya yang kerasukan.
"Gila, ini udah nggak bisa ditolerir, keluar aja bantuin mereka, Ma!"
Mau tidak mau mereka keluar, berlari ke arah kejadian. "Woi, berhenti!"
***
Laki-laki itu tampak menunduk. Duduk berjejer di sebuah kursi panjang berbahan besi khas rumah sakit. Ya, mereka berada di rumah sakit. Bercak darah tampak kentara di kaos putih Nino, di tangannya pun sama.
Kejadian waktu lalu menjadi pelajaran berharga, sangat berharga. Salah satu teman mereka harus mendapat perawatan intensif karena luka tusuk di bagian perut. Atma Suraja, korban dari perbuatan si penabur bunga. Itu terjadi ketika si penabur bunga yang kata Arman kerasukan, hendak melukai temannya yang ternyata sudah sadar.
Lebih jelasnya, jin yang merasuki si pemeras jeruk, berpindah pada si penabur bunga ketika mereka baku hantam. Alhasil, jin memanfaatkan senjata yang ada pada si penabur bunga untuk melukai teman laki-laki itu sendiri karena terlampau marah atas ulah mereka.
"Gue nggak akan ngelakuin hal gila ini lagi," lirih Nino kian menunduk, menumpukan kedua sikunya pada lutut, menangis tersedu.
Arman menepuk pundak temannya, mencoba menguatkan. "Ini emang udah risiko kita, dan sepatutnya jadi pelajaran ke depannya. Gue emang udah berfirasat buruk sejak Atma ngasi tau gue tentang eksperimen itu."
"Kenapa lo pada nggak ngebiarin gue ngabisin tuh anak? Biar sekalian gue ringkus ke kantor polisi, atau nggak, gue bunuh sekalian!" tekan Nino bernada lirih, tetapi menyimpan kemarahan mendalam.
"Inget, No, inget, kontrol emosi lo. Itu kita lakuin juga karena pelaku dalam keadaan kerasukan dan tidak sadarkan diri, kita nggak bisa nyalahin siapa-siapa," nasihat Arman.
"Tapi sahabat kita jadi korban, Man! Gue nggak terima!" teriak Nino, menarik perhatian orang-orang.
"Wey, bro, lo jangan kayak anak kecil, kita di sini sama-sama nggak terima, tapi kita nggak punya hak buat menjarain mereka, karena secara nggak langsung kita juga terlibat dalam eksperimen itu, dan itu semua menyalahi aturan." Arman segera mendekap tubuh kurus Nino layaknya saudara. "Mereka juga udah minta maaf dan mau tanggung jawab, yang terpenting, sekarang kita doain supaya operasi Atma berjalan lancar dan kita semua harus tetap ada di samping dia."
Nino menangis sekeras mungkin, begitu terpukul atas kejadian yang menimpa Atma—laki-laki yang padahal sangat sering mengacuhkan keberadaannya. Namun, di balik keacuhan itu, tersemat rasa empati yang tinggi. Nino tahu itu. Sementara, Joni hanya bisa menangis dalam keterdiaman, merasa sangat bersalah telah mengajak Atma untuk keluar membantu mereka di waktu lalu.
"Dari dulu gue udah pengin berhenti, tapi nggak enak sama Atma, dan mulai hari ini, nggak ada yang namanya menelusuri jejak misterius, apalagi ngelakuin eksperimen yang malah bahayain nyawa," kata Arman, laki-laki anti cengeng itu rupanya menitikkan air mata.
"Gue juga nyesel udah ngasi tau Atma tentang kecelakaan itu, Man, gur nyesel," timpal Nino.
"Gue juga nyesel udah ngajakin Atma keluar bantuin anak-anak itu," sambung Joni.
Arman melepaskan rengkuhannya pada Nino, lalu memandangi kedua sahabatnya yang berada di samping kiri dan kanan. "Nggak ada yang perlu disesalin, sekarang kita cuma perlu belajar dari kesalahan, dan kesalahan itu bukan untuk diulang."
Nino dan Joni mengangguk mantap, mereka pun saling melempar senyum meski sulit, saling menguatkan satu sama lain. Ya, kesalahan memang tidak untuk diulangi, tetapi kesalahan difungsikan menyadarkan diri, agar tidak mengulangi lagi.
Tamat
Lombok, 2 Juni 2020
Quote:Jadi, sebenarnya aku dapat ide dari sebuah video di youtube, yang mana, di video itu dilakukan eksperimen memeras jeruk nipis pada darah bekas korban kecelakaan. Katanya, sih, si korban bakalan kesakitan kalo air perasan jeruk nipis bersentuhan dengan darah. Alhasil, mereka mendengar teriakan entah dari mana secara tiba-tiba, tapi nggak tau juga, sih, nyata apa enggak.
Aku cuma mau nyampein beberapa hal sama orang-orang yang suka ceroboh ngelakuin hal konyol kayak gini. Kenapa aku bilang konyol? Karena emang bener-bener konyol, mereka nggak ada kerjaan lain apa, selain ngeganggu makhluk yang nggak mereka liat sama sekali pake mata telanjang? Apa faedahnya? Temen mereka malah kerasukan, terus dibacain ayat suci aja enggak.
Mending kita ambil jalan aman aja. Diem di rumah, ngaji, atau bantuin emak gitu. Nggak usah ngelakuin hal-hal yang malah merugikan diri sendiri dan orang lain.
So, wassalamualaikum 💙