ribkarewang
TS
ribkarewang 
SweetSeventeen


Sweetseventeen

Part 1

#Perawan_yang_tergadai

1992 ... Gadis bermata sayu itu pelan menghapus air matanya. Sudah lega rasanya setelah bisa cerita pada Widi tetangganya.

"Kamu serius, Ra? Itu masa depanmu, harga diri dan kehormatanmu," kata Widi lirih. Dia paham beban yang diterima Rara sangat besar, tapi keputusan yang di ambil Rara sangatlah menganggu pikirannya.

"Hanya itu jalan satu-satunya. Sisa uangnya bisa dipakai modal jualan Ibuk. Buat kebutuhan kami sehari-hari," jawab Rara dengan mantap. Dia pun bangkit berdiri mempersiapkan dirinya untuk nanti malam. Widi hanya bisa menghela napas, tidak ada yang bisa dia lakukan. Hanya membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam, tepat di usianya yang ke-17, Rara memutuskan menjual kegadisannya.

Widi kembali bekerja, hari ini banyak kapal masuk, otomatis banyak barang yang akan diturunkan. Walau usianya masih muda tapi Widi dipercaya mengepalai 70 pria pekerja bongkar muat barang. Dia bagian cek barang yang mau dibongkar dan toko mana yang order barang.

Jam lima sore, pekerjaan Widi selesai, dia menunggu Weno sang kasir membagikan bayaran hari ini. Lumayan masing-masing dapat 70.000, mengembuskan rokoknya pelan, Widi melirik ke arah Zeth, pria muda keturunan Sulawesi-Melayu-Sunda yang membantu Rara menjual kegadisannya.

"Ayolah, Wid. Jangan sinis, aku hanya membantu," bisik Zeth lirih. Ada sedikit rasa takut melihat tatapan Widi. Zeth paham dia salah, tapi dia juga kasihan dengan keluarga Rara. Bapaknya butuh pengacara karena kasusnya, sementara sang Ibu dan dua adiknya butuh makan dan biaya sekolah.

"Lebih baik aku maling di toko Koh Asiang daripada melihat Rara jadi pramuria!" jawab Widi dengan kasar. Ia pun segera pergi setelah Weno memberinya uang 100.000.

"Wid! Tunggu ...." Pria berumur duapuluh satu tahun itu lari mengejar Widi. Zeth, Rara dan Widi adalah pendatang di kota ini. Bedanya Rara datang dengan keluarganya, dan sudah lima tahun di sini. Sementara Widi baru enam bulan dan Zeth sudah satu tahun ikut abangnya yang dinas di sini.

"Kamu jangan minum, kamu harus waras. Jangan kacaukan semuanya," kata pria muda itu sambil membujuk Widi yang sudah membuka botol minuman.

"Baiklah, aku temani minum sepaket, habis itu temani aku main bilyar. Uangku sudah habis, malam ini banyak yang datang main," kata Zeth dengan nada memohon.

Widi hanya tertawa sinis menenggak minuman, menyalakan rokok dan mengembuskannya kuat-kuat. Yah dia sadar kalau dia bukan orang baik, di usianya yang sama dengan Rara, tujuh belas tahun, dia sudah kenal alkohol, rokok dan segala hal yang jelek. Tapi dia tidak ingin kalau Rara terjerumus dosa seperti dirinya.

"Zeth ... aku itu rusak, tapi paling tidak bisa kalau lihat orang baik-baik jual diri. Itu kehormatannya, dan dia mau tukar dengan rupiah," kata Widi tiba-tiba. Dia mulai melamun, teringat bagaimana saat kegadisannya terenggut oleh orang brengsek yang pura-pura baik tapi malah menjerumuskannya.

"Iya aku tahu aku salah, tapi itu keputusan Rara, dia yang meminta aku carikan pelanggan. Sumpah, Wid, seumur-umur aku juga tidak pernah terpikir akan jual anak orang."

Kedua anak muda itu pun tenggelam dalam pikirannya masing-masing, duduk di pelabuhan kecil memandang ke arah seberang sungai yang penuh gemerlap. Lampu-lampu yang mulai menyala tanda malam telah tiba.

Jam tujuh lewat Zeth akhirnya mengajak Widi ke tempat biliar. Di sana sudah banyak penantang. Widi asyik merokok di pojok sambil menonton sahabatnya bertanding. Sementara Zeth fokus karena taruhan kali ini besar. Kalau dia menang paling tidak bisa buat senang-senang selama dua minggu.

Jam sebelas, tanpa sadar Widi tertidur, capek kerja ditambah minuman membuatnya tertidur di keramaian. Zeth yang membangunkannya dengan wajah senang karena ia menang langsung mengajak Widi pulang di kost. Lumayan uang dua juta sudah dia pegang, bisa bersenang-senang satu bulan.

Dengan sedikit sempoyongan, antara mengantuk juga pengaruh alkohol, Widi digandeng Zeth jalan ke rumah kost yang terbuat dari papan. Di pertigaan mereka bertemu Rara yang terlihat berjalan pulang sambil menangis.

"Rara? Apa yang terjadi?" tanya Widi dan Zeth bersamaan. Rara tak menjawab hanya menangis dan memeluk Widi. Gadis itu hanya bisa diam dan menepuk pundak Rara dengan lembut.

"A-aku sudah tidak perawan, mereka membayarku limabelas juta, tapi mereka berdua, itu menyakitiku," tangis Rara pelan. Sementara Zeth makin merasa bersalah. Dalam hatinya dia mengutuk Roni yang sudah janji mau membayar sepuluh juta. Namun tak disangka jika dia membawa teman lagi.

"Trima kasih Zeth. Tolong rahasiakan ini dari Ibu. Hanya kalian berdua yang tahu." Widi tidak bicara sementara Zeth ... entah apa arti pandangannya ke Rara.

Jam duabelas ... mereka akhirnya berjalan pulang, sepuluh menit dari pertigaan menuju rumah kost. Widi dan Rara yang tinggal bersebelahan, sementara Zeth di rumah abangnya, si pemilik rumah kost.

Tak ada yang bicara, mereka semua masuk ke rumah masing-masing. Widi yang sebelumnya mandi dulu, merokok dan makan nasi goreng yang dibelikan Zeth. Sementara Rara yang pamit bantu jualan di Pujasera pun tak dicurigai oleh ibunya saat pulang tengah malam. Apalagi ada Widi bersamanya.

Sementara Zeth yang pegang kunci rumah, saat masuk tampak kakak iparnya belum tidur, sinis menatap Zeth yang terlihat kumal. Bukan rahasia lagi kalau Zeth tidak cocok dengan iparnya. Tapi dia menghormati Abang juga tidak mau membuat risau keluarga di kampung, makanya ia tak pernah mengadu apa-apa.

Dengan santai Zeth mandi dan makan nasi goreng, dia tahu abangnya tengah piket makanya istrinya sengaja menungunya pulang. Mungkin ada yang mau dia bicarakan berdua, Zeth pasrah.

"Kaka mau bicara!" kata Ibu muda beranak dua itu dengan kasar.

"Kakak mau usir aku lagi? Aku lho ga pingin tinggal di rumah ini. Kalau tidak menghargai Abang, sudah kost aku. Ada dua kaki dan dua tangan yang bisa kupakai untuk cari makan."

"Sebenarnya masalah Kakak itu apa? Toh aku tidak minta sepeser pun uang ke Abang. Mamak dan Bapak tanya pun aku tidak mengadu, masalah Kakak itu apa?" teriak Zeth. Dia lepas kendali, tidak sadar kalau ini tengah malam dan suaranya bisa membangunkan tetangga.

"Kakak malu sama aku? Emangnya aku maling? Aku juga mau kerja, tapi Abang tidak ijinkan, Abang maunya aku kuliah!" teriak Zeth makin keras. Kakak iparnya yang tidak menyangka dengan jawaban Zeth, hanya diam terpaku. Dengan kasar pria muda itu membuka pintu dan membantingnya.

"Wid! Buka pintu!" teriak Zeth. Widi yang memang sudah mendengar pertengkaran itu langsung membuka pintu. Tampak Zeth hampir menangis di depan pintu.

"Cengeng, ayo masuk!" Zeth langsung memeluk Widi, seolah melepaskan beban selama satu tahun ini. Lagi-lagi Widi hanya menghela napas, begitu berat beban anak-anak muda yang dikenalnya. Mereka yang terlihat bahagia di masa muda tapi menyimpan sejuta cerita.

Jam tiga Zeth pun tertidur di samping Widi, persahabatan yang baru seumur jagung tapi saling percaya untuk tidak melewati batasan. Jam tujuh Widi bangun untuk pergi kerja, tampak ibunya Rara sudah siap mau ke pasar untuk belanja bahan-bahan. Mau mulai jualan nasi gurih lagi katanya.

"Makasih lho, Wid, sudah carikan Rara pekerjaan yang bisa disambi sekolah," kata si Ibu dengan logat Jawa medoknya. Widi hanya tersenyum getir saat mendengar perkataan ibunya Rara, yah dia harus berbohong. Sementara Rara yang sudah siap dengan baju sekolahnya langsung pamit ke sang Ibu dan menarik tangan Widi.

"Awas kalau Ibu sampai tahu, ini uang mau aku bukain rekening, enam juta buat bayar pengacara Bapak, dua juta kasih Ibu biar tidak curiga. Sisanya kusimpan," kata Rara sambil berjalan terburu-buru.

"Ayo antar aku ke bank, hari ini aku bolos, takut bawa uang sebanyak ini," kata Rara lagi. Widi malah menatap Rara dengan perasaan yang bingung.

"Ra ... kamu tidak merasa bersalah? Merasa berdosa akan uang itu?" tanya Widi pelan takut menyinggung hati Rara.

"Semalam aku menyesal, tapi pagi ini aku sudah bertekat, mau melayani siapa saja yang sanggup membayarku mahal," jawab Rara dengan senyum yang sedikit aneh. Widi tak habis pikir semudah itu perasaan Rara berubah. Seakan tak ada penyesalan di hatinya.

Widi hanya bisa menatap gadis bermata sayu, dengan body bak bintang film panas, berkulit putih, tinggi 168cm. Pria mana yang tak tergoda melihat gadis cantik yang terlihat memelas tapi menyimpan sejuta rahasia dalam benaknya.

Empat bulan berlalu, Zeth sudah tiga hari tidak kelihatan. Rara pun sudah pindah ke rumah kontrakan, bukan kamar-kamar lagi. Sementara Widi masih kerja, hanya bedanya sekarang dia jualan tiket speedboat. Tidak lagi mengurusi bongkar muat barang.

Pagi itu di pelabuhan, selesai menaikkan penumpang jurusan Kuala Tungkal, Widi melihat ke seberang pulau. Tampak ada speedboat kecil yang datang ke arahnya, di dalamnya ada sepasang muda mudi yang kasmaran mungkin. Begitu speed berhenti, Widi hanya bisa menelan ludah tidak bisa bicara. Jadi rumor yang didengarnya memang benar.

Rara memilih pekerjaan jadi wanita panggilan kelas kakap, Zeth yang mencarikan tamu, dan mereka tinggal bersama di salah satu kamar hotel. Sementara bapaknya Rara sudah bebas dan langsung pulang ke Jawa dengan anak istrinya. Hanya Rara yang tinggal dan mencari uang katanya.

Tanpa senyum, tanpa teguran, Widi meninggalkan Zeth dan Rara. Baginya pertemanan abadi itu hanyalah omong kosong. Semua akan kalah oleh napsu dan uang. Hari itu juga Widi memutuskan pergi dari Pulau itu dan pergi ke kota lain untuk mencari apa yang membuatnya senang. Tanpa teman dan sahabat yang tak pernah menganggap dia ada.

"Wid! Tunggu ... aku bisa jelaskan!" teriak Zeth sambil mengejar Widi. Rara pun dengan enggan berusaha mengejar. Tanpa bicara Widi langsung berbalik dan memukul Zeth tepat di dagunya dengan keras beruntun, Rara yang kaget berteriak.

"Stop dengan sandiwara kalian, aku muak! Aku yang benar-benar menangis, tiap malam berdoa agar Rara bisa dapat sekolah dan kerja baik-baik. Dan kamu Zeth, aku selalu mendoakan cita-citamu untuk jadi PNS, tapi apa, bangsaat kalian. Sex dan uang telah mencuci otak kalian!" teriak Widi histeris. Rasa kecewa karena merasa dikhianati sahabat itu konon lebih sakit rasanya.

Zeth dan Rara terdiam, mereka memang bersalah, dan mereka pun paham dengan sifat Widi. Pertemanan mereka sudah berakhir. Gadis berambut pendek dan bertato di lengan itu menyalakan rokok dan pergi meninggalkan sepasang anak muda yang sering ia bawa dalam doanya.

#RR, cerita masa lalu selama perjalanan hidup yang ditemui penulis, membuatnya terinspirasi menuliskan beberapa kisah kehidupan.
Diubah oleh ribkarewang 28-02-2021 17:30
ugtravelerhusnamutiatien212700
tien212700 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1.1K
50
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.