suciasdhan
TS
suciasdhan
Cintaku Layu Karena Pesona Murid Baru

Sumber: di sini

Kisah ini, berlangsung sekitar tahun 2000-an saat aku bersekolah di salah satu SMA negeri di Bandung. Kisah yang sungguh sangat membekas, menyisakan sesak dalam dada. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa ikhlas perlahan-lahan membasuh luka, dan hanya menciptakan bahagia ....
***
Aku dan Salman sudah bersahabat sejak SMP. Persahabatan kami berlanjut hingga menginjak ke jenjang SMA. Kami semakin akrab ketika dipertemukan kembali di SMA yang sama dan masuk ke kelas yang sama, yaitu kelas 1-A (Waktu itu sebutannya masih seperti itu, belum disebut kelas X seperti sekarang). Aku dan Salman sama-sama suka bermain bola basket. Inilah salah satu hobi yang membuat kami sangat nyaman dan betah mengobrol berlama-lama sambil membahas tentang atlet basket idola, Michael Jordan.

Aku dan dia layaknya saudara kandung saja. Kami selalu berbagi dalam segala hal. Baik makanan mau pun cerita satu sama lain, baik itu kisah suka maupun duka. Tak ada yang ditutupi. Beberapa teman bahkan menjuluki kami dengan sebutan Rahul dan Anjali. Kata mereka, kedekatan kami memang terlihat seperti dua sahabat dalam film Bollywood Kuch-Kuch Hota Hai. Bahkan, beberapa teman lainnya menduga kalau di antara kami telah tumbuh benih-benih cinta. Namun, baik aku, mau pun Salman selalu membantah dan menegaskan bahwa perasaan yang kami miliki satu sama lain, murni dan tulus sebatas sahabat saja. Dan selama ini, memang benar hubungan kami hanya seperti itu. Tak ada rasa tertarik yang lebih, layaknya orang yang kejatuhan cinta.

Suatu hari, di kelas I-A  dihebohkan dengan kedatangan murid baru, pindahan dari Jakarta. Namanya Cici Lestari. Parasnya yang cantik menarik perhatian hampir semua murid cowok. Mereka terlihat mulai melakukan pendekatan. Cici selalu menanggapi dengan senyum ramah yang menampilkan lesung pipit di kedua pipi putih mulusnya, hingga semakin membuat para murid cowok itu bersemangat untuk mendekati.

"Man, elo nggak tertarik ngejar murid baru itu?" tanyaku suatu ketika, saat kami berada tempat favorit, yaitu lapangan basket.

"Nggak, lah. Gue itu, lebih tertarik sama basket dari pada cewek."

"Ya elah, masa elo mau nikah sama bola bundar oranye itu?"

"Ya, nggak gitu juga, kali. Gue belum mau aja mikirin cewek. Ribet. Kalau gue punya pacar, yang ada gue nggak bakal hidup bebas. Nggak bisa jalanin hobi seenaknya. Dan pastinya, ada yang selalu minta diperhatiin dan minta waktu untuk ditemani."

"Bener juga, ya, Man. Horor rasanya kalau hidup kita tiba-tiba diatur sama orang lain yang katanya ngaku sebagai pacar kita."

Aku bergidik dan merasa beruntung masih bisa menjalani kehidupan normal dan bebas sebagai remaja tanpa dikekang oleh sebuah hubungan bernama pacaran.

"Kenapa, elo tertarik jadi pacar gue, Ci?" ujarnya tiba-tiba.

"Idih, ogah."

"Pake nolak, lagi. Awas, ya. Suatu saat tahunya elo bakal nikah sama gue, lho."

"Nggak, lah. Elo nikah aja sama bola basket!"

Salman tertawa. Namun, entah mengapa celotehan yang bernada candaan itu menciptakan desir aneh dalam dada. Sejak saat itu, benakku sering dipenuhi oleh bayang wajah Salman dan tak jarang merasa salah tingkah bila bertemu dengannya.
***
Waktu terus berlalu, hingga tak terasa sebentar lagi menjelang kenaikan kelas. Semua murid sibuk mempersiapkan diri menghadapi Ulangan Kenaikan Kelas agar mendapat nilai yang bagus dan tak mau tinggal kelas. Begitu juga denganku dan Salman. Kami menjalani hari-hari dengan sibuk belajar.

Suatu hari ketika aku dan Salman tengah makan di kantin sekolah pada jam istirahat, dia menyodorkan sebuah amplop berwarna merah jambu dengan hiasan berbentuk hati warna merah menghiasi setiap sudut amplop itu.

"Ci, nanti di rumah elo baca, ya."

Aku merasa terkejut, hingga tak mampu berkata-kata. Baru kali ini aku melihat Salman tersipu. Semburat merah jambu menghiasi pipi cowok itu. Apa jangan-jangan sahabatku ini sedang jatuh cinta?

Malam harinya, dengan perlahan-lahan, aku membuka amplop pemberian Salman tadi di kantin sambil rebahan di atas kasur dengan posisi tertelungkup. Tak sabar rasanya untuk segera tahu isi surat itu. Dadaku seketika saja berdebar membaca kalimat demi kalimat yang tertulis. Aku benar-benar merasa masih belum percaya.

Cowok yang telah aku kenal sebagai sahabat dan terkesan cuek itu, selama ini memendam rasa padaku dan dituangkan melalui sepucuk surat cinta ini dengan untaian kata-kata yang begitu romantis. Degup jantungku kian kencang ketika mataku tertumbuk pada sebuah kalimat pernyataan cinta yang begitu to the point.

Ci, aku menyukaimu.

Kudekap surat itu di dada sambil senyum-senyum sendiri. Benakku sibuk memikirkan jawaban apa yang akan aku utarakan besok, hingga tak terasa aku terlelap. Kata-kata manis itu terus terngiang-ngiang sampai terbawa ke alam bawah sadar. Rasanya seperti mimpi saja membayangkan sahabat cowokku akan berubah status menjadi pacar.
***


Sumber: di sini

Esoknya, Aku menemui Salman di lapangan basket. Aku berjalan perlahan-lahan, dan mendapati Salman tengah duduk di pinggir lapangan sambil memainkan bola basket kesayangannya.

"Man ...," sapaku ragu sembari berusaha meredakan debar di dada.

Aneh, sungguh aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang tengah aku rasakan saat ini. Aku sama sekali belum pernah merasakan hal seperti ini sebelum-sebelumnya. Baru kali ini, aku merasa salah tingkah. Padahal, selama aku dan Salman berteman akrab, aku selalu bersikap cuek dan bercanda serta berceloteh sebebas-bebasnya di hadapan dia. Kali ini, semua hal yang ingin kuutarakan seolah-olah tercekat di tenggorokan.

"Eh, Ci. Gimana, udah dibaca?"

Lidahku mendadak kelu, tak mampu berkata-kata dan hanya membalas dengan anggukan.

"Menurut elo gimana? Apa yang kurang dari suratnya? Masih kurang romantis, nggak?"

"Ba, bagus, kok."

"Syukur, deh. Kira-kira, Cici Lestari bakal nerima nggak, ya? Jadi deg-degan, gue."

"Ma, maksud elo?"

"Iya, gue suka sama murid baru itu. Kira-kira, Cici suka sama gue juga, nggak, ya?" terangnya sambil cengengesan. "Beneran, kan, suratnya bagus?"

Aku benar-benar merasa terkejut, bagai tersambar petir di siang bolong yang terik. Jadi, sebutan Ci yang dia maksud dalam surat itu, Cici Lestari, bukan Cici alias diriku?

"Heh! Malah bengong!" Salman menjentikkan jari tepat di depan wajahku, membuat lamunanku seketika saja buyar.
"Gue minta tolong, dong. Elo kasih ke dia suratnya. Gue malu kalau harus ngasihin langsung. Tolong, ya, nanti gue traktir, deh. Apa aja yang elo mau, gue beliin."

Seketika saja dadaku terasa perih. Namun, aku berusaha menyembunyikan rasa kecewa. Aku bertekad akan membantu Salman sampai bisa jadian dengan pujaan hatinya, Cici Lestari. Bagiku kebahagiaan Salman adalah bahagiaku juga, meski bukan diriku sumber kebahagiaan sahabatku itu. Dan rasa bahagia ini semakin berlipat ganda, ketika melihat mereka akhirnya bersatu di pelaminan.

Ciwidey, 28 Februari 2021
Diubah oleh suciasdhan 28-02-2021 11:09
dolamondlianasari993uliyatis
uliyatis dan 24 lainnya memberi reputasi
25
3.2K
81
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to Heart
icon
21.5KThread26.4KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.