trifatoyahAvatar border
TS
trifatoyah
Apakah Ini Cinta?



Bulan tinggal sepotong ketika aku membuka jendela kamar dari kayu nangka galih itu. Gerah terasa, mungkin juga akan turun hujan.
Kulihat bulan seakan ingin bertanya padaku, ada apakah gerangan, sampai malam-malam membuka pintu jendela.

Malam Jumat, aku libur dari menuntut ilmu Al-Qur'an di rumah paman, biasanya aku menginap di sana, berangkat sore-sore dan pulang sehabis ngaji pagi tepatnya setelah sholat subuh. Masih jelas kuingat wajahnya, wajah putih bersih dengan hidung mancung seperti seraut wajah Arab itu, tiba-tiba berkelebat bermain di pelupuk mataku.

Ada apa dengan diriku? Kenapa aku harus memikirkannya, memikirkan cowok yang sama sekali tidak memikirkan diriku?
Nggak mungkin juga dia memikirkan aku, gadis kecil yang mungkin dianggapnya gadis ingusan, yang minim dengan hafalan-hafalan surat-surat pendek dalam Al-Qur'an. Bahkan untuk mengerti tajwid saja susahnya minta ampun. Aku pastilah bukan gadis impiannya, bukan sama sekali bukan, auratku saja masih sering terlihat.
Mana mungkin dia suka sama aku, sudahlah nggak usah ngimpi juga kali.

"Mbak Yaya, ngelamun?" tanya suara yang tiba-tiba saja sudah di dekat telinga.

"Fiya, ngagetin Mbak saja," jawabku memonyongkan bibir tiga centi.

"Ngelamun 'kan, ayo ngaku?"

"Nggak, kata siapa?"

"Mbak tadi aku diajar Mas Dedi lho."

"Lantas apa hubungannya sama, Mbak?"

"Ya nggak ada sih, cuma aku pernah liat Mbak Yaya curi-curi pandang gitu ke Mas Dedi," Fiya berkata sambil menutup jendela kamar, kemudian duduk di sisi tempat tidurku.

Adikku yang satu itu memang sok tahu, siapa juga yang curi-curi pandang, fitnah saja tuh anak tengil. Ingin kuplester deh mukanya pakai lakban di atas meja rias itu.

"Nggak usah fitnah kenapa?"

"Nggak Fitnah kok, bukti. Waktu Mas Dedi jadi Imam shalat, Mbak Yaya merhatiin terus deh."

"Apaan sih, mana ada merhatiin, orang aku makmum 'kan emang harus ngikutin Imamnya, dasar aneh."

"Tuh muka, Mbak Yaya bersemu merah, tandanya Mbak Yaya suka sama Mas Dedi."

"Ngawur!"

"Mbak kalau cinta bilang saja, nggak usah malu-malu gitu entar nyesel lho kalau ada yang ngambil."

"Emangnya kue, ada yang ngambil, sembarangan aja."

"Beneran mbak, cowok kek gitu udah langka stoknya, rajin ibadah, pinter ngaji, cakep, pokoknya Sholeh, idaman banget."

"Fi, dia itu masih kelas tiga SMA, masih jauh lah mikirin cewek."

"Iya sih, Mbak. Mana mau cowok kek Mas Dedi pacaran. Mungkin kalau mau nikah langsung khitbah kali ya."

"Mungkin," jawabku malas.

"Tapi kalau Mbak Yaya beneran suka, nggak ada salahnya saling ngikat janji, kek di film-film itu."

Mengikat janji? Janji apaan, wong ketemu saja dia nggak pernah nyapa, kok mau mengikat janji. Ibarat kata itu dia kulkas berjalan, mana ada kulkas jalan mau mengikat janji. Yaya sadar, kamu tuh siapa, dia siapa, nggak bakalan dia suka sama kamu, kamu pasti bukan tipenya. Nggak usah banyak berharap.

Semakin aku berusaha melupakannya, semakin wajahnya hadir di pelupuk mata. Kenapa jadi ada rasa seperti ini? Apakah ini cinta? Ya Allah, jangan biarkan aku menempatkan cinta yang salah, aku hanya ingin mencintaiMu, aku hanya ingin mencintai laki-laki yang kelak menjadi suamiku. Entah siapapun itu. Bantu aku ya Allah untuk melupakannya saat ini, saat ini saja.

***

Pagi sehabis shalat subuh, aku membantu kegiatan Bibi membersihkan bawang merah yang baru saja dipanen, hari ini adalah hari Minggu, aku libur sekolah, makanya aku membantu pekerjaan Bibiku. Di rumah paman dan Bibi ini aku belajar mengaji, bersama Mas Dedi, Fiya dan teman-teman yang lainnya, tapi kami beda tingkatan.
Kalau Mas Dedi ada di tingkat yang udah pada pintar mengaji sambil menterjemahkan artinya, sedangkan aku di tingkat atau kelompok yang sekedar membaca dan belajar tajwid saja.

"Assalamu'alaikum."

Kudengar sebuah salam, ya salam dari cowok yang aku tahu suaranya. Waktu itu aku berada di ruang tengah. Dadaku sedikit berdesir mendengar ucapan salamnya. Paman keluar mempersilakan tamunya untuk duduk.
Karena jarak yang begitu dekat antara ruang tamu dengan ruang tengah makanya dengan jelas kudengar obrolannya.

"Maaf, Pak Kyai, Dedi mau minta ijin untuk pamitan, dia mau menuntut ilmu di luar kota."

"Mau menuntut ilmu di mana?"

"Di IIQ Wonosobo."

"Alhamdulillah, semoga ilmunya bisa bermanfaat kelak ya "

"Terima kasih, Pak Kyai. Mohon maaf dan mohon doanya juga."

"Sama-sama."

"Kapan berangkat, Ded?"

"Besok, Pak."

Deg! Jadi dia mau melanjutkan kuliah di luar kota? Hari ini dia pamitan dengan Pamanku? Kenapa rasanya hati ini mencelos begitu saja. Pasti di kampus nya kelak dia akan bertemu dengan gadis yang cantik, shalihah dan itu akan menarik perhatiannya. Lantas bagaimana aku, dengan perasaanku?

***



Sepertiga malam yang syahdu, kulangitkan doa-doa, berharap ketenangan hati, meminta kepada sang Pemberi Cinta, untuk menghapus rasa cintaku. Dan menghadirkan cinta hanya untukNya. Berpasrah diri, kalaupun suatu hari nanti kita di pertemukan berarti kita memang berjodoh, kalau tidak dipertemukan dia memang bukan jodohku. Kerjarlah cita-citamu setinggi langit, karena kamu mampu. Aku pun harus menghapus rasa rendah diriku di hadapanmu selama ini, karena rendah diri akan mematikan kreativitas yang ada pada diriku. Doaku untukmu semoga kebaikan selalu bersamamu.

End.

Mencintai dalam diam, menghapusnya dengan diam pula.
Sumber gambar pixabay
ini

Diubah oleh trifatoyah 25-02-2021 14:38
mbak.farAvatar border
kanekimvAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.5K
86
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to Heart
icon
21.6KThread26.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.