#trageditenerife #klm4805 #panam1736



"Apa yang dia lakukan? Dia akan membunuh kita semua!"

Dua kalimat itu merupakan kata terakhir yang diucapkan pilot Pan America, Victor Grubbs, sebelum terjadi tabrakan hebat.

Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Tenerife terjadi pada tanggal 27 Maret 1977 (44 tahun yang lalu). Dua jet Boeing 747, milik maskapai KLM dan Pan Am bertabrakan di landasan pacu Bandara Los Rodeos (sekarang Bandara Tenerife) di Pulau Canary, Spanyol.

Bandara Los Rodeos memang dikenal memiliki masalah kabut yang sering muncul secara mendadak. Bandara ini juga dianggap sebagai bandara yang tak disukai banyak pilot.




Pada 1977, Boeing 747 sudah menjadi armada terbesar paling berpengaruh, dan mungkin merupakan pesawat jet komersial paling glamor yang pernah dibangun. Beberapa maskapai menggunakan pesawat jenis ini karena fasilitasnya yang dikenal paling mewah pada masa itu, termasuk KLM dan Pan Am.

Pesawat Pan Am terbilang populer saat itu. Pada Januari 1970, pesawat yang sama ini menyelesaikan penerbangan komersial perdana dari Bandara John F Kennedy di New York ke Bandara Heathrow di London.

KLM juga tercatat sebagai maskapai penerbangan tertua yang terus beroperasi di dunia. Maskapai didirikan pada 1919 dan sangat dikenal reputasinya karena keselamatan dan ketepatan waktunya.

Pesawat Pan Am-1736 datang dari Los Angeles, setelah singgah di New York sedangkan KLM-4805 dari pangkalannya di Amsterdam. Dua pesawat itu tak seharusnya berada di Tenerife. Para penumpang sebelumnya dijadwalkan turun di Las Palmas, yang terdekat dari Gran Canaria yang merupakan tujuan bagi penumpang wisata kapal pesiar.

Namun, karena ada gerakan separatis yang meletakan bom di bandara Las Palmas, penerbangan dialihkan ke Los Rodeos di Tenerife.




Saat dua pesawat itu dialihkan ke bandara tersebut, keduanya ditempatkan di sebelah tenggara Apron (bagian dari bandar udara yang berfungsi menaik turunkan penumpang, barang, pengisian bahan bakar dan persiapan pesawat sebelum melanjutkan perjalanan) .

Beberapa jam kemudian, bandara Las Palmas mulai menerima pesawat untuk mendarat sekitar pukul 16.00. Pan Am-1736 dengan cepat mempersiapkan diri untuk lepas landas. Namun, kondisi tertentu menyebabkan pesawat KLM-4805 bersiap terlebih dulu. Cuaca saat itu cerah, pesawat KLM juga sempat meminta bahan bakar tambahan pada menit terakhir.

Saat penambahan bahan bakar dilakukan, kabut datang dengan cepat menyelimuti bandara. Berdasarkan pantauan dari menara kontrol atau ATC, kedua pesawat ini berada pada titik berangkat yang berdekatan. Kapten Van Zanten membawa pesawat KLM dan mengarahkannya pada titik akhir, dia bertahan pada lokasi yang diizinkan lepas landas.

Sementara itu, Pan Am sempat berbelok dan salah jalur. Semestinya, pesawat Pan Am berada di belakang KLM. Kabut menganggu pandangan mereka. Komunikasi kepada menara ATC terus dilakukan.

Kondisi ini membuat pilot KLM, Kapten Van Zanten marah dan kesal, ia ingin segera pergi dari tempat tersebut. "Ayo pergi,"kata Van Zanten kepada teman pilotnya. Mereka mulai menarik gas untuk memulai pemberangkatan.

Pada saat yang sama, menara mengirimkan pesan ke KLM. "Oke," kata controller. "Bersiap untuk lepas landas. Aku akan menghubungimu." Tak ada jawaban dari Kapten Van Zanten dan semua ini dianggap sebagai kesalahan karena tak menjawab aba-aba.

Sementara itu, Pan Am juga bergerak di landasan pacu untuk melakukan taxiback ke titik take-off. Pilot Pan Am menginformasikan mereka masih berada di landasan pacu, dan mendapat jawaban dari ATC, bahwa landasan pacu aman. Tapi Pilot Pan Am merasa ada yang tidak beres. Ia mendengar semua komunikasi KLM dengan ATC, tapi pilot KLM tidak bisa mendengar radio pilot Pan Am karena gangguan radio. Pilot Pan Am berseru, “No….” melalui radio, tapi tak terdengar oleh pilot KLM ataupun ATC.

Dan tiba-tiba saja di landasan pacu tunggal itu, pilot Pan Am terkejut melihat KLM melaju ke arah mereka dengan kecepatan hendak take-off.
Sadar ada pesawat Pan Am di landasan pacu, pilot KLM berusaha untuk menghentikan laju pesawatnya, tapi terlambat karena jarak keduanya sudah tidak memungkinkan.

Untuk mencegah benturan, pilot KLM memaksakan pesawat untuk climbing (mendongakkan moncong) untuk mengudara, dan premature climbing ini membuat bagian ekor tergeser di permukaan landasan pacu dan menimbulkan percikan api.

Pan Am mencoba berbelok keluar landasan untuk menghindari tabrakan, namun terlambat. Badan Pan Am terhantam bagian bawah moncong KLM. Satu mesin KLM rontok, namun pesawat KLM masih meluncur ke udara setinggi sekitar 150 meter dan kemudian terhempas, lalu meledak tak jauh dari landasan pacu.




Akibat tabrakan itu, seluruh penumpang dan awak KLM berjumlah 248 orang (234 penumpang, 14 awak) tewas, sementara di pihak Pan Am, 326 penumpang dan 9 awak tewas, 61 penumpang diantaranya Kapten, Co-pilot dan Flight engineer selamat. Para penumpang yang selamat dari maut itu adalah yang ada di bagian depan atau hidung pesawat Pan Am.

Dalam peristiwa ini 583 orang tewas. Jumlah korban itu menjadikan Tragedi Bandara Tenerife sebagai kecelakaan pesawat paling mematikan dalam sejarah penerbangan.




Penyelidikan oleh pihak berwenang Spanyol menyimpulkan bahwa penyebab utama kecelakaan itu adalah keputusan kapten KLM yang keliru dalam menafsirkan izin lepas landas dari menara kontrol lalu lintas udara (ATC).

Pilot KLM yang salah menginterpretasikan kata-kata, “OK, stand by for take-off”dari pihak ATC.

Akhirnya, KLM mengakui bahwa kru mereka bertanggung jawab atas kecelakaan itu. KLM setuju untuk memberikan kompensasi finansial kepada kerabat semua korban. Bencana ini memiliki pengaruh yang besar terhadap industri penerbangan, terutama menyoroti pentingnya menggunakan standardisasi dalam komunikasi radio. Prosedural kokpit juga menjadi perhatian, karena sebagai pelatihan dasar pilot maskapai penerbangan.