wafafarhamuAvatar border
TS
wafafarhamu
BAB 5 sampai BAB 8 cerita skandal "ANTARA SUAMIKU DAN IBUNYA"
Temanku, pembaca yang baik, jika kemarin ceritanya dari sudut pandang Naira, kini cerita akan bertutur dari sudut pandang yang menulis ya, hehehe ....

=========

BAB 5


Sore hari, Rindi berlari kala pintu rumah diketuk. Saat pintu terbuka, matanya melebar senang dengan senyum merekah sempurna.

"Kamu sudah datang, Da," sambutnya lembut.

Huda mengangguk. Segera menutup pintu dan merengkuh wanita yang biasa dipanggil ibu di depan orang lain. Wanita yang dia sukai sejak remaja, kala ayah angkatnya membawanya masuk dalam rumah mereka.
Huda yang kala itu memiliki nafsu menggebu harus menahannya setiap hari.

"Sudah hentikan." Rindi mendorong tubuh kekar yang sempat menempel dan memberimu ciuman.

"Kenapa?" Huda keheranan. Tak biasanya wanita itu menolak.

"Pil KB-ku hilang. Aku curiga Naira yang menemukannya." Wanita itu mengutarakan kekhwatiarannya.

"Kok bisa? Apa sudah dicari?" Huda tampak terkejut.

"Sudah. Aku sudah ngubek dapur. Sampai semua yang berantakan kubereskan. Jorok banget istrimu ya, dapur manusia begitu bentuknya." Rindi tersenyum kecut. Kesal.

"Hem. Mau bagaimana lagi. Dia kan kerja. Makanya aku perlu kamu ada di rumah ini. Biar rumahnya selalu bersih. Ah, untung gak da orang kampung yang curiga." Huda merayu dengan tangan yang mulai nakal memegang tangan Rindi.

"Ish! Nakal!" Rindi menepis. "Kita harus hati-hati dari sekarang. Tapi juga harus siap, menjawabnya. Kamu juga jangan bersikap mencurigakan."

"Iya, iya. Ayuk ke kamar."

"Nanti dulu, ah. Bentar aku mau pastiin sama Naira dulu. Kamu diem ya," ucap Rindi sambil berjalan ke nakas mengambil ponsel menelpon Naira.

"Assalamualaikum, Nai. Ibu kehilangan sesuatu."

"Jangan lama-lama, Bu. Aku dah pengen." Huda tiba-tiba datang tanpa tahu-tahu memeluk tubuh Rindi dari belakang. Dia pikir panggilannya belum tersambung ke Naira.

======

Bab 6

Lagian mana mungkin ibu mertuanya tidur dengan suaminya.
"Ah, kamu sudah gila, Nai!" makinya pada diri sendiri.

Ingatan Naira melayang pada percakapannya dengan Huda di awal-awal pernikahan dulu. Wanita itu tengah menikmati sore di balkon hotel. Senja memberi mereka kehangatan dan keindahan lebih selain dimabuk cinta.

"Mas, ibu kamu masih muda banget. Selisih berapa tahun, sih?" tanya Naira yang menggelamkan kepala di dada kekar Huda.

"Hem. Yah. Ibu nikah waktu muda, sayang. Jadi ceritanya dia tuh dapat bapak yang duda. Karena juragan kaya, ibu iya-iya aja." Huda mengusap kepala sang istri. Sesekali dicium pucuk kepala yang dekat dengan mulutnya itu.

Tanpa Naira tahu, hari itu Huda tengah berpikir sessuatu yang lain.

Huda menyembunyikan apa yang dirasa hatinya. Dia sudah lama mencintai istri bapak angkatnya yang dipanggil ibu. Entah, berapa kali ia tergelak saat wanita itu duduk memakai daster di dekatnya.

Namun, mana berani Huda menyatakan cinta? Walau bagaimana perempuan muda itu adalah istri dari bapak angkat yang sudah membesarkannya. Memberinya tempat tinggal dan membiayai hidup termasuk pendidikannya di Jakarta.

Pernah sekali waktu, dia khilaf. Menarik Rindi yang tengah ke luar dari kamar mandi menuju kamar. Sore itu hujan turun sangat lebat, bapak angkatnya sedang ke luar kota.

"Maafkan aku." Huda memperlihatkan gurat sesal, kala menatap Rindi yang sempat terpaku mendapatkan sentuhan dari anak angkatnya.

Tapi siapa sangka, mereka yang terus tinggal satu atap, membuatnya menyinpan rasa yang sama ada Huda. Setelah mencapai usia 20 tahun. Pria itu tampak dewasa dan menggairahkan dibanding suaminya.

Rindi memberanikan diri menempelkan tubuh, membalas ciuman memabukkan pada Huda. Dan untuk kali pertama mereka melakukan dalam suasana hujan yang membawa hawa dingin.

"Mas." Panggilan Naira membuat Huda tersentak.

"Ya, Sayang."

"Kok malah ngelamun."

"Ah, nggak maaf. Mas hanya gak nyangka bisa nikah dengan perempuan secantikd an sebaik kamu." Huda berkilah. 'Ya, padahal aku sebejat ini,' batinnya. 'Aku menikahimu karena terbiasa merasakan tubuh ibu, Nai. Maaf jika ini karena pelampiasan nafsuku saja.'

"Oh, pantes ya, ibu masih muda."

"Huum. Oya, apa kamu masih mencintai Anggara?"

"Duh, kok bahas dia. Kan aku sekarang dah jadi miliknya Mas."

Naira mendesah lega.
Bayangan awal pernikahan yang manis mampu menjadi obat, kala ia merasa kesal pada.

Naira terus berjalan. Ia harus membuang prasangka buruk pada suami yang dicintai. Jangan sampai yang menimpas Sinta turut menimpanya. Perceraian.

Kakak lelakinya pasti akan sangat sedih jika melihatnya bercerai. Sudah banyak pengorbanan pria itu, sampai dia bisa kuliah, dan bertemu pria bertanggung jawab seperti Huda.

Pria itu juga yang menyembuhkan lukanya setelah putus dengan Anggara, mantan yang pergi begitu saja hanya karena salah paham. Pria yang tak mau mendengar penjelasannya lagi. Dan pria yang langsung menikahi wanita lain hanya berselang sebulan mereka putus.

Hari itu Naira hampir mati karena patah hati. Tapi keberadaan Huda seolah embun yang menyejukkannya. Dia datang menawarkan cinta. Hingga tak perlu waktu lama keduanya menikah.

____________


Baru juga masuk ruangan, Rena heboh. Menarik lengan Naira ke sudut ruangan menjauhi pegawai lain. Perempuan single itu seolah punya berita besar yang ingin dia sampaikan.

"Ada apa, sih. Ren?"

"Nai. Lo tau gak, istri bos kita yang katanya teman lo itu."

"Ya?" Naira bingung kenapa Rena menyebut-nyebut istri bos.

"Dia sudah menikah lagi," bisiknya antusias.

"Apa?!" Mata Naira melotot tak percaya. "Jadi?"

"Ya, Pak Bos sekarang duda Nay. Deuh, aku jadi geer beberapa kali diperhatikan di kantor. Jangan-jangan ... dia naksir sama aku." Rena bicara menye-menye, sampai Naira bisa menangkap raut wajahnya yang memerah.

"Ck. Dasar lo!" Naira mendecak.

Naira hanya tak habis bagaimana bisa pasangan sebaik dan sesempurna mereka bisa bercerai?

'Itu artinya entah berapa mana Anggara single. Deuh, jadi was-was kalau gini. Aku harus jaga jarak agar hubunganku dengan Mas Huda tetap baik-baik saja. Aku takut sikap manisnya akan membuat cinta di dalam sini kembali hidup. Naudzubillah.'

Baru juga memikirkan Anggara, CEO yang tampak selalu hangat itu datang. Membuat semua pegawai menyapanya.

"Pagi, Bos," ucap mereka.

"Ya! Lanjutkan." Anggara membalas dengan senyum manis, dan merupakan senyum maut bagi perempuan single seperti Rena.

Naira sampai geleng-geleng melihatnya.

"Nai, kamu gak masuk?" tanya Anggara yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya.

Naira yang sedang fokus pada tingkah konyol rekanya terhenyak kala disapa sang Bos.

"Ah, ya, Pak. Siap." Naira jadi gugup tak menentu. Aneh, harusnya ia tak perlu tahu masalah pribadi Anggara agar tak mengisi hatinya.

Ia lalu berjalan mengekor si Bos, duduk di ruangan pertama sebelum pintu yang menghubungkannya dengan Anggara.

___________

Siang hari usai isoma, Naira tak membuang waktu dan segera kembali duduk di ruangan. Ia sempatkan membuka ponsel sebelum jam kerja dimulai.

Bibirnya menyunggingkan senyum manis kala netra mendapati pesan dari sang suami.
[Sayang, kita makan malam di luar malam ini?]

Cepat Naira membalas.
[Mau banget, Mas.😍] balasnya.

Namun, belum juga hatinya lama berbunga, panggilan datang dari Sinta.

"Ya, Sin. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Nai. Aku kirim surel. Buruan, deh. Buka!"

"Oh ya."

Ia pun membuka email yang sahabatnya kirim, sambil masih melakukan panggilan.

"Udah?" tanya Sinta.

"Ya!"

"Aku aneh banget liatnya. Itu siapa sih. Bawain makan siang suamimu. Apa dia kakaknya, tapi kok gak wajar cipika-cipiki gitu."

"Apa-apaan ni? Duh. Serius. Masa ini ibu sih? Wajahnya gal jelas, Sin," protes Naira.

"Duh. Kalo kurang jelas. Mending besok kamu ke sini deh. Izin sama bosmu. Habis makan siang mereka keluar lagi. Entah ke mana. Besok bisa jadi gitu lagi." Sinta terdengar sangat kesal.

"Oya, Sin makasih." Naira mengucap lemah. Panggilan pun diputus. Kenapa mereka selalu tampak mesra. Seperti tak wajar hubungan ibu dan anak.

"Aku benar-benar harus mencari tahu, siapa sebenarnya ibu." Mata Naira menyipit. Dia urung memeriksa CCTV lantaran sang mertua sudah menjelaskan. Dan Huda menidurinya semalam. Tatapan itu dipenuhi kekesalan, merasa dipermainkan. Baru juga tadi malam suaminya membuatnya senang kini bikin curiga lagi.

=====

BAB 7


Dahi Naira berkerut-kerut memperhatikan video dalam surel yang dikirim Sinta.

"Hem. Kalau ini, pasti ibu." Naira menyentak tangannya ke atas meja. "Kenapa juga ibu pakai bajuku? Apa Mas Huda tidak membelikannya pakaian?"

Dua mata wanita yang menjadi sekretaris itu menatap tanpa berkedip. Sampai pada adegan cipika-cipiki yang terlihat sangat aneh. Mata Naira memicing, curiga.

"Ampun. Ini malu-maluin banget, asli!" tangan Naira terkepal tanpa sadar ia meremas map yang harus diberikan pada sang Bos hingga robek. "Apa-apaan Mas Huda! Norak, malu-maluin banget," dengkusnya kasar.

"Nai." Suara bass seorang pria terdengar sangat dekat. Tanpa ia tahu, Anggara berdiri di belakangnya dengan membungkukkan badan. Ia penasaran kenapa sekretarisnya itu merobek laporan yang susah-susah dibuatnya.

Naira tersentak kaget, sampai berjingkat dan jatuh dari kursi. Untung saja tubuhnya ditangkap Anggara hingga tak membentur lantai.
Mata wanita itu melebar sempurna kala sadar, Anggara yang memeganginya.

Namun, Naira yang merasa risih bereaksi lebih. Ia menjatuhkan diri sendiri ke lantai dan mengaduh kesakitan. "Au!"

Anggara yang sempat menatap sinis pada layar laptop kini menarik senyum simpul. Geli melihat kelakuan Naira.

"Butuh bantuan?" tanya Bos sambil mengulurkan tangan.

"Nggak, Bos. Makasih." Naira menggeleng sambil tersenyum, lebih tepat meringis menahan sakit.

Anggara tergelak sebentar. Namun, ia cepat menguasai diri dengan berdehem. "Ehm. Ehm."

Naira cepat bangkit dan berdiri dengan kepala menunduk. Merasa bahwa Anggara ingin memperlihatkan kewibaan sebagai seorang atasan.

"Nai ...." Ucapan Anggara menggantung dengan ekspresi seolah tengah marah padanya.

Naira yang sadar cepat mencari-cari sesuatu, apa gerangan yang membuat bosnya itu marah? Dia celingukan ke kanan kiri, hingga mendapati kertas-kartas yang baru diprint lecek dan sobek bertengger manis di atas meja

"Oh?!" Mata dan mulut Naira membulat sempurna karena terkejut. Diambilnya barang tersebut dengan ekspresi kalut, lalu mengangkatnya di depan si Bos.

Begitu ia kembali sadar bahwa Bosnya masih menatap dengan bergeming. Naira segera menyembunyikan di belakang tubuhnya.

Anggara menyilang tangan di dada. Lalu menautkan dua alis.

"Em, em. Ma-maaf, Bos." Wanita itu begitu menyesal. Dia pasti kena omel sekarang. Apalagi salinannya entah tersimpan di mana, dan gak lama lagi waktu bertemu utusan dua pemegang saham terbesar perusahaan.

"Kamu ...." Dua mata elang itu kini menyorot pada sekretarisnya yang tengah menunduk.

Naira menggigit bibir bawah pasrah. Dengan menggenggam kertas lebih erat.

"Apa suamimu berselingkuh, Nai?" Suara bass itu terdengar menekan.

Naira sontak mendongak. 'Pak Bos apa-apaan? Kenapa pria itu malah membahas hal pribadi?' Ia menatap bingung sekarang. Bukan lagi rasa takut seperti sebelumnya. Ia lalu ingat, bahwa tadi tengah memutar video dari Shinta.

Begitu berbalik, ia mendapati video masih bergerak di komputer. Naira buru-buru menggerakkan mouse dan mematikan video tersebut.

"Sudah berapa lama?" tanya Anggara sementara Shinta masih sibuk mengoperasikan komputer.

Setelah selesai ia segera kembali menatap sang bos. Lalu memperlihatkan berkas di tangannya.

"Saya akan segera mengurus dan menyelesaikan ini. Maaf," ucap Naira datar tanpa menjawab pertanyaan si Bos. Lalu cepat duduk. Menyalakan komputer dan memulai mencari data tersimpan.

Anggara mendesah. Ia kecewa Naira tak merespon kepeduliannya.

Begitu mulai sibuk kembali, dia bisa melihat dengan ekor mata Anggara berjalan menjauh. Masuk ke dalam ruangannya dengan wajah yang terlihat kesal.

Naira celingukan. Memastikan pria itu benar-benar hilang dari pandangan. Hingga bebas mendengkus, lantaran terlalu ikut campur urusan pribadinya.

"Kenapa dia begitu ikut campur dengan urusanku? Ini memalukan, seolah aku mendapat pria tak baik setelah putus dengannya," racau Naira yang tak menahami sikap Anggara.

Dia yang mulai mengetik sesuatu, tiba-tiba menelengkan kepala. Berpikir agak lama.

"Apa dia sedang mengejekku?" Wanita itu tak bisa konsen pada pekerjaannya sekarang.

Naira mendesah, berusaha fokus pada pekerjaan yang harus selesai. Mengingat ucapan Anggara, dia mulai kesal. Kesal pada Huda yang bersikap begitu berlebihan dengan sang ibu. Bahkan Anggara saja mengira mereka selingkuh.

Tiba-tiba, terbersit rasa cemburu di hati. Lebih jika dipikir, Rindi terlihat sangat muda dan menarik.
"Apa iya, Mas Huda benar-benar anak kandungnya? Kenapa aku jadi tak tenang gini?"

_________________


Naira pulang lebih cepat dari biasa. Ingin memberi waktu berdua dengan mertua dan mengenal lebih jauh, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan termasuk kebenaran hubungan ibu dan anak antara Huda dan Rindi. Selain itu ia juga ingin mempersiapkan waktu lebih banyak, karena malam ini Huda akan mengajaknya keluar makan malam berdua.

Mereka rasanya sudah lama tidak menghabiskan waktu santai di luar rumah. Mengingat masa-masa indah dulu. Mungkin dengan begitu bisa meredam prasangka dan cemburunya.

Wanita itu mengerutkan kening kala melihat mobil Huda terparkir di garasi. "Apa dia sudah pulang?"

Saat di depan pintu, Naira membuka kunci. Lagi-lagi tak bisa. Pasti Karena pasti sang suami lupa lagi mencabut kunci, atau mungkin karena mereka di rumah saja jadi dikunci manual. Setelah mengetuk dan tak ada jawaban, akhirnya ia berjalan ke pintu belakang, sang ibu mertua pasti sedang di dapur. Dan sang suami mungkin di lantai atas.

Saat berada di belakang, dan mengeti berkali-kali, tak ada jawaban. Berarti sang mertua tak ada di sana.

Naira mendesah lelah. Namun, matanya melebar kala menarik handel pintu. Ternyata terbuka. "Ouh, tak dikunci." Wanita dengan setelan kerja itu menghela napas lega.

Ia pun masuk ke dalam. Benar saja mertua tak ada di dapur. Lalu berjalan ke ruang tengah menapaki keramik-keramik yang berjajar rapi di lantai. Ruang tengah kosong. Mungkin sang ibu sedang sibuk di balkon atau di kamar.

"Biarlah, aku mau ganti baju dulu," gumamnya yang akan naik ke lantai atas.

Namun, baru menapaki dua anak tangga, kakinya berhenti kala mendengar suara cekikikan dari kamar ibunya. Disertai suara aneh seperti orang merintih kesakitan.

Dada Naira berpacu kencang. Ia pun segera memutar arah dan melangkah ke sana. Sinta harus tahu apa yang terjadi? Pikirannya tak karuan. Mengingat Huda berada di rumah, suaminyankah yang tengah bersenang-senang dengan ibunya?

Tanpa basa-basi ia menarik gagang pintu kamar mertua yang ternyata juga tak dikunci. Mata Naira membelalak sempurna melihat apa yang ada di kamar tersebut.

=====

BAB 8

Naira menajamkan pendengaran. Suara itu seperti ada di depannya tapi juga seperti berasal dari kamar sebelahnya. Tapi, untuk apa ibunya bermain-main di sana, sedang dia punya kamar sendiri. Dan kamar itu lama kosong, pasti berdebu.

Ia pun meraih gagang pintu. Mata Naira terbelalak kala berhasil membuka pintu kamar sang mertua.

"Kosong?!" Dahi perempuan ayu itu berkerut dengan dada naik turun. Tersengal lantaran emosi dan rasa penasraan yang sudah di ubun-ubun. Jelas-jelas dia mendengar suara dari kamar ibu mertuanya. Kenapa bisa tak ada siapa pun?

Ia beranikan diri melangkah masuk meski dengan kaki gemetar. Bisa jadi mertua dan suaminya sedang bersembunyi di lemari.  Atau di kamar mandi.

"Ada apa, Nai?" Suara Rindi terdengar di belakang Naira dan membuatnya berbalik seketika.

"Ib-ibu?" Naira tergagap. Napasnya masih juga tak beraturan. Ia merasa dipermainkan oleh prasangka dan kenyataan yang ditemukan.

Rindi tampak segar dan seksi. Pemandangan itu membuat Naira tak suka.

"Kenapa wajahmu begitu? Udah kaya lihat hantu saja." Sang mertua yang memakai pakaian handuk mengelap rambut, melenggang masuk melewatinya.

"Ibu dari mana?" tanya Naira dengan suara yang masih tertahan. 

"Ibu?" Rindi menunjuk diri sendiri. "Ibu tadi mandi, Nai. Kamar mandi di kamar tersumbat. Mungkin karena terlalu lama gak kalian cek. Ada binatang di saluran pembuangan, jadi baru sehari lantainya menggenang."

"O-oya." Langkah Naira perlahan mendekat ke kamar mandi. Dan benar saja lantainya menggenang.

Naira mendesah panjang. Bodohnya dia bisa berpikir suara itu berasal dari kamar ibu mertua. Tapi, jelas-jelas suara cekikikan tadi adalah suara mertuanya.

"Tap-tapi, tadi saya dengar suara ibu tertawa dan ...."

"Oya, Nai. Maaf. Tadi ibu mandi di kamar tamu satunya." Wanita itu meringis. "Dan ini ...." Ia memperlihatkan sesuatu yang membuat dahi Naira berkerut. Rindi merasa berhasil mengelabui istri anak angkatnya itu. Untung saja mereka melakukan di kamar tamu yang berada persis di sebelah.
Dan punya kebiasaan bawa benda yang sangat disukai untuk menggoda Huda.

Beruntung Huda bisa mengendap-endap keluar tanpa sepengetahuan Naira.

"Itu ...." Ucapan Naira menggantung. Ia enggan mengucap nama benda sebagai alat bantu seksual yang dipegang Rindi.

Naira mendesah sedikit lega. Meski ia tahu ini sangat tak masuk akal, dan dia perlu mencari tahu kebenarannya. Ini sangat mencurigakan. Dan lagi hukum penggunaan barang tersebut dari sudut pandang agama. Apa iya ibu mertuanya tidak tahu?

Untuk sekarang. Setidaknya yang dipikir adalah salah, sang mertua tidak sedang berbuat tak senonoh dengan suaminya. Ia masih terus berharap apa yang dipikir tak terjadi.

"Ahm.Ya. Maaf." Naira mulai tak enak sendiri,  tidak mungkin membahas dildo di tangan ibunya. Ini gila! Apa karena saking kesepiannya wanita itu sampai memilih menggunakan alat bantu seks. Jujur dalam hati, Naira mulai jijik pada wanita itu meski harus ditahan.

'Jangan pikir aku bodoh, Bu. Aku hanya ingin bicara dengan bukti dan menangkapmu basah dengan seorang pria. Dan aku pastikan Ibu akan menderita, jika dugaan gilaku benar, Ibu dan Mas Huda main gila!'

Naira meremas pakaian kerjanya bagian bawah karena emosi yang ditahan. Rindi menyadari itu rupanya. Matanya menyipit menyimpan kebencian. Ia mulai memikirkan rencana dan harus segera diberitahukan pada Huda.

Naira lalu permisi menarik diri ke luar kamar. Barangkali sang mertua masih ingin berfantasi ria sendiri. Ingin menasehati, tapi ia merasa tak punya hak untuk itu. Sungkan pula.

Setelah keluar dan menutup pintu, ia pun masuk ke kamar tamu. Kalau-kalau Huda masih berada di ruang tersebut. Pelan ia melangkah agar tak menimbulkan suara yang menarik perhatian. Kini tangan Naira membuka gagang pintu perlahan.

Ranjang dengan sprai sangat berantakan. Dada Naira terima sakit. Mungkinkah Huda yang telah bergerak di sana dengan ibunya?

'Aku harus menemukan bukti!'

Ia lalu berjalan merangsek masuk. Membuka semua celah yang bisa saja orang bersembunyi di sana. Naira berharap menemukan seorang pria dan itu bukan suaminya. Tapi, nihil. Semua kosong!

Naira lalu berjalan cepat ke lantai atas. Ia tapaki anak-anak tangga. Sampai di kamar dan membukanya, tak ada sesiapa. Wanita itu mendesah kesal. Ia mulai ragu pada asumsinya. Jika Huda tak berada di rumah, lalu kenapa mobilnya terparkir di garasi?

====

Bab selanjutnya, klik sajaDI SINI


Bab sebelumnya, klik saja DI SINI
Diubah oleh wafafarhamu 23-01-2021 08:21
wanitatangguh93Avatar border
lumut66Avatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 4 lainnya memberi reputasi
5
2.5K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.