ZenMan1Avatar border
TS
ZenMan1
Emas Meroket 52% di Rezim Trump, Era Biden Bisa Gak Melesat?


Jakarta, CNBC Indonesia - Donald Trump resmi lengser dari jabatannya sebagai orang nomer 1 di Amerika Serikat (AS) pada Rabu (20/1/2021) waktu setempat.
Trump kalah dalam pemilihan umum melawan Joseph 'Joe' Biden, pada bulan November lalu. Joe Biden kemudian resmi dilantik menjadi Presiden AS ke-46 pada Rabu lalu, bersama pasangannya Kamala Devi Harris sebagai Wapres AS.
Selama rezim Trump berkuasa, banyak dampak yang diberikan di pasar finansial. Salah satu yang paling mencolok adalah meroketnya harga emas dunia.

Sejak Trump menjadi AS 1, pada 20 Januari 2017, hingga lengser di pekan ini, harga emas dunia mencatat kenaikan sebesar 52,67%. Bahkan pada 7 Agustus lalu mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons.

Memang, pemicu utama kenaikan emas di tahun lalu adalah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian global mengalami resesi.
Tetapi ada peran Trump juga dalam meroketnya harga logam mulia. Pada bulan Maret 2020, Trump menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, terbesar sepanjang sejarah.
Stimulus fiskal serta stimulus moneter merupakan bahan bakar utama bagi emas untuk menguat. Tapi sekali lagi, kedua stimulus tersebut digelontorkan akibat pandemi Covid-19.
Stimulus fiskal dan moneter memberikan dua efek positif bagi emas. Pertama stimulus tersebut berpotensi memicu kenaikan inflasi, dan emas secara tradisional dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi. 


Kemudian yang kedua, stimulus fiskal dan moneter membuat nilai tukar dolar AS melemah. Emas dunia dibanderol dengan dolar AS, saat the greenback melemah, maka harganya akan lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya. Alhasil, permintaan emas berpotensi meningkat.
Dengan demikian, stimulus fiskal memberikan efek ganda yang positif bagi harga emas.
Sebelum kenaikan tajam tahun lalu, harga emas dunia sebenarnya juga sudah melesat di tahun 2019. Sekali lagi, ada peran besar seorang Donald Trump dibalik melesatnya harga emas, meski hal tersebut bukan merupakan tujuannya.
Trump mengobarkan perang dagang dengan China sejak tahun 2018. Perekonomian global terkena getahnya di tahun 2019, pertumbuhan menjadi melambat termasuk AS dan China. Ketika 2 raksasa ekonomi dunia tersebut mengalami pelambatan, seluruh dunia juga terseret.
Guna memacu perekonomian yang melambat akibat perang dagang yang dikobarkan Trump, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga acuan sebanyak 3 kali masing-masing 25 basis poin (bps) menjadi 1,75%.
Pelambatan ekonomi global dan pemangkasan suku bunga The Fed membuat harga emas sepanjang 2019 melesat 18,26%, menjadi kenaikan terbesar sejak tahun 2010. 


Selama 4 tahun Trump menjabat Presiden AS, harga emas dunia hanya mengalami pelemahan di tahun 2018, itu pun hanya 1,51%. Sementara di tahun 2017, emas mencatat penguatan 13,11%. 

Bagaimana Kinerja Emas di Era Biden 4 Tahun ke Depan? 

Harga emas dunia langsung meroket 1,72% ke US$ 1.870,90/troy ons saat Biden dilantik menjadi Presiden AS Rabu lalu. Biden pada pekan lalu mengungkapkan rencana stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.
Selain pelantikan Biden, Senat AS yang sebelumnya dikuasai oleh Partai Republik, kini dikuasai oleh Partai Demokrat. Sehingga blue wave atau kemenangan penuh Partai Demokrat berhasil dicapai.
Parlemen AS menganut sistem 2 kamar, House of Representative (DPR) yang sudah dikuasai Partai Demokrat sejak lama, dan Senat yang pada rezim Donald Trump dikuasai Partai Republik.

Dengan dikuasainya DPR dan Senat, tentunya akan memudahkan dalam mengambil kebijakan, termasuk dalam meloloskan paket stimulus fiskal US$ 1,9 triliun.
Seperti diungkapkan sebelumnya, stimulus fiskal merupakan bahan bakar emas untuk menguat, sehingga harga emas berpeluang untuk kembali melesat. Selain itu The Fed juga masih menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan, dan suku bunga tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.
Faktor-faktor tersebut sama dengan tahun 2020 lalu, sehingga peluang harga emas menguat terbuka cukup lebar.
Kitco melakukan survei di akhir tahun lalu, terhadap pelaku pasar maupun para analis. Hasilnya survei yang melibatkan 2.000 pelaku pasar, sebanyak 84% memprediksi harga emas akan kembali ke atas US$ 2.000/troy ons di akhir tahun ini. Yang paling banyak memprediksi emas berada di kisaran US$ 2.300/troy ons.
Hasil survei terhadap pelaku pasar tersebut sejalan dengan proyeksi analis yang disurvei Kitco. Analis dari Goldman Sachs, Commerzbank, dan CIBC memperediksi harga emas akan mencapai US$ 2.300/troy ons di tahun ini.
Namun bagaimana 4 tahun ke depan?

Jika ke belakang, kebijakan moneter yang diambil The Fed sama persis dengan tahun 2008 saat terjadi krisis finansial global.
Saat itu, QE dilakukan dalam 3 periode. QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012.
Emas dunia mencapai periode kejayaannya saat QE 2 berlangsung. Sementara masa kemerosotan dimulai tepat sebulan setelah QE 3 dimulai. Sebabnya, perekonomian Amerika Serikat yang mulai membaik, dan ada isu jika QE akan segera dihentikan dalam waktu dekat.
Sejak tahun 2008, harga emas pun terus menanjak hingga mencetak rekor tertinggi sepanjang masa masa US$ 1.920.3/troy ons pada 6 September 2011 sebelum dipecahkan pada tahun lalu.
Pada pertengahan tahun 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana untuk mengurangi (tapering) QE.

Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS terus merosot. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk, "taper tantrum", mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback. Penguatan dolar tersebut menambah pukulan bagi emas.


Harga emas terus merosot hingga ke titik terendah yang dicapai yakni US$ 1.045,85/troy ons pada 3 Desember 2015. Artinya, jika dilihat dari rekor tertinggi 6 September 201 hingga ke level terendah tersebut, harga emas dunia ambrol 45,54% dalam tempo 4 tahun.

Jika melihat sejarah tersebut, tapering merupakan musuh utama emas, dan saat ini sudah ada "bisik-bisik" di pasar The Fed akan melakukan tapering di akhir tahun ini. 

Seandainya perekonomian AS membaik di tahun ini, apalagi vaksinasi massal sudah mulai dilakukan, bukan tidak mungkin bank sentral paling powerful di dunia tersebut akan melakukan tapering di akhir 2021. Harga emas pun terancam longsor.
Meski demikian, banyak analis yang memprediksi harga emas masih akan terus menguat, bahkan ada yang mengatakan tahun ini merupakan awal dari supercylce atau periode kenaikan tajam harga emas dalam jangka panjang.
Profesor ekonomi terapan di John Hopkins University, Steve Hanke, dalam wawancara dengan Kitco, Selasa (22/12/2020), mengatakan komoditas termasuk emas akan memasuki fase supercycle tersebut pada tahun 2021 mendatang.
"Supply sangat terbatas, stok rendah, dan ekonomi mulai bangkit dan maju ke depan, harga komoditas akan naik dan memulai supercycle. Saya pikir saat ini kita sudah melihat tanda awalnya," kata Hanke, sebagaimana dilansir Kitco.

Andy Hecht dari bubbatrading.com menjadi salah satu analis yang juga memprediksi emas masuk supercycle. Hetch bahkan mengatakan senang melihat harga emas turun di bawah US$ 1.900/troy ons.
"Saya menyambut penurunan harga emas, saya ingin melihat harga emas turun, itu artinya saya akan membeli lebih banyak emas," kata Hecht sebagaimana dilansir Kitco, Kamis (23/10/2020).
"Saya melihat kita masih di tahap awal supercycle komoditas, itu artinya emas akan melesat tinggi, begitu juga dengan perak," katanya.


sumur

https://www.cnbcindonesia.com/market...-gak-melesat/1
0
376
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.