Indonesia darurat covid, menarik melihat berita tentang covid yang hampir setiap hari di putar terus-menerus terlebih jumlah warga yang meninggal akibat covid diberitakan cukup tinggi.

Masyarakat terus dihembuskan tentang ketakutan tentang bahaya covid, bahkan mencanangkan new era dengan sikap harus melakukan 3M yaitu mencuci tangan, memakai masker dan juga menjaga jarak.

Semua pihak pun kalang kabut, setiap ada kerumunan disidak diberikan sangsi yang tegas. Peraturan PSBB pun dikeluarkan untuk mencegah korban semakin banyak, hukuman yang melanggar prokes dikeluarkan dari denda hingga sanksi pelayanan sosial .



Tapi sudah hampir setahun ini si covid tetap saja belum minggat, masyarakat sudah lelah, masyarakat sudah bosan, masyarakat pun lapar karena covid banyak yang jadi terlantar. Hanya ada beberapa pebisnis yang meraup untung lebih banyak, penjual alat kesehatan seakan senang diatas mereka yang terpuruk karena covid.

Siapa yang harus disalahkan? Tidak ada, keadaan memang sudah seperti ini. Bahkan lucunya di Indonesia kerumunan sering terjadi ingatkah kalian ketika saat wakil rakyat banyak aksi yang merugikan demopun berjalan di tengah covid, kerumunan yang menyebabkan sosok Habib di penjara bukanlah massa yang sedikit, bahkan pesta besar para sultan juga memberikan polemik.

Tapi adakah yang tewas berjamaah ketika banyak orang berkerumun dan tidak jaga jarak?



Lihat kereta KRL di jam sibuk, angkutan umum di jam sibuk agak sulit memberlakukan prokes.


Ditempat-tempat tertentu juga banyak masyarakat abai dengan 3M, namun tidak terdeteksi dan tidak ada yang melaporkan karena tak bisa pansos apalagi dapat cuan.

Tapi kalau masalah prokes di jalan raya dan tempat umum mereka razia dengan memberikan sanksi pada yang melanggar, seakan semangat tanpa kenal lelah. Namun yang menarik ketika hukum prokes di galakkan kepada rakyat jelata namun diam kepada para sultan yang melakukan kesalahan yang sama, seakan tidak ada keadilan.



Contoh :

Tidak pakai masker di dalam mobil sendirian kena denda, tidak pakai masker di party sultan ramai-ramai hanya minta maaf.

Kerumunan nikahan wong cilik dibubarkan, sedangkan kerumunan pilkada dibiarkan. Itu hanya sebagai contoh dari berita pelanggaran prokes yang terlihat timpang oleh mata awam.

Disini hukuman kerumunan, physical distancing sering tidak tegas kepada mereka yang punya jabatan dan juga penguasa.



Terjadinya kerumunan juga karena inkonsisten pemerintah dalam memberikan kebijakan, politik di tanah air dinilai tidak berpihak pada rakyat. Namun untungnya semua bisa teratasi, pemerintah seperti punya vaksin untuk membungkam rakyat yang menjadi oposisi agar tidak melakukan kudeta.

Politik pecah belah pihak opososi dinilai sukses, namun ketika menangani masalah prokes covid hukum seperti tajam kebawah namun tumpul keatas. Dan hukum prokes berlaku untuk pihak oposisi namun lemah terhadap kawan sendiri, tak heran masyarakat pun mulai bosan dengan sandiwara yang di pertontonkan.



Sila ke 5 seakan hanya kata-kata tanpa makna, ketika covid dapat disembuhkan, ketika covid sering ditarik pada permainan politik ketika itu juga masyarakat pun mulai melakukan herd immunity dengan bersikap "Bodo Amat" suka tidak suka, mau tidak mau rakyat akan menjadi Jerinx secara alami. Bukankah begitu? See u next thread.





"Nikmati Membaca Dengan Santuy"
--------------------------------------
Tulisan : c4punk@2020
referensi : klik
Pic : google