bistome.diyoniAvatar border
TS
bistome.diyoni
TANDA TANYA CINTA
Aku datang bawa pedang ... eh bukan. Aku datang bawa kekasih ... ngga juga, aku datang bawa kisah. Nah ini baru bener. Aku masih amatir dan labil. Mohon kritik dan sarannya. Terima kasih. Yuk langsung aja.

PART 1
FIRST IMPRESSION


Vivi's POV

Namaku Aida Ekavira Leandra. Aku biasa dipanggil Avi. Tapi, bos baruku memberi panggilan Vivi. Kenapa bos baru? Karena awalnya pekerjaaanku menjadi staf biasa di divisi keuangan sebuah perusahaan besar di Surabaya.

Namun, setelah tiga tahun mengabdi di sana aku mencoba mengikuti seleksi untuk menjadi sekretaris di kantor pusat. Iya, perusahaan yang kududuki adalah kantor cabang perusahaan dan aku mengadu nasib dengan ratusan orang lainnya untuk menjadi sekretaris dari direktur utama perusahaan dimana aku bekerja.

Sebenarnya aku tak terlalu ingin karena aku tak mau jauh dari ibu, hanya saja informasi adanya lowongan tersebut aku diberi tahu oleh atasanku sendiri dan seorang teman sekaligus sahabat dan merangkap sebagai saudara juga memberi tahuku akan hal itu. Sebenarnya juga ada sebuah ketertarikan tersendiri untuk menginjakkan kaki di ibu kota negara ini, untuk menyelidiki. Ah, bukan menyelidiki mungkin bisa dibilang untuk mencari tahu siapa sosok masa lalu ibuku atau siapa orang-orang yang tega mencampakkan ibuku.

Sedikit informasi, aku adalah anak yang terlahir tanpa ayah. Aku tidak malu mengakui hal itu? Tentu tidak. Ada ibuku yang lebih malu dan tentunya lebih tegar daripada aku. Jika umurku 25 tahun, maka persoalan caci maki yang terdengar disepasang telingaku hanya ku dengar sekitar 20 tahun, toh baru ketika aku berumur lima tahun ke atas aku baru sadar kalau aku digunjingkan. Ibuku pasti lebih lama mendengar gunjingan itu. Dari sejak kecil aku diajari bagaimana bersabar, mengontrol emosi, percaya diri, dan harus berani membuat aku menjadi diriku yang sekarang ini.

Kembali ke topik pekerjaanku mungkin lebih menarik, karena jujur aku membenci kesedihan. Seleksi tertulis secara onlinesudah kulewati, hingga tersisa 20 orang yang akan diwawancarai oleh bapak direktur utama secara langsung. Entah nasib baik atau buruk yang berpihak padaku kali ini, aku menjadi orang yang beruntung dari ratusan orang yang ikut serangkaian tes online bulan lalu. Hingga akhirnya hari ini akan menjadi hari pertamaku untuk bekerja di sana.

Blouse putih, celana bahan warna hitam, dan siletto hitam, serta blazer hitam yang ku letakkan di tangan kananku dan backpack kecil bertengger di bahu kiriku. Tak ada rok di atas lutut dalam kamus pakaianku, kecuali untuk sebuah pertemuan yang sangat teramat mengharuskan berpakaian demikian tapi, seandainya ada acara seperti itu pun biasanya aku memilih tidur di rumah, atau membantu cuci piring di toko kue ibuku.

Aku memasuki area kantor dengan tenang dan senyum yang menawan? Tentu saja aku tersenyum, membuat good first impresion tidak salah, bukan? Karena selama 25 tahun aku hidup bertemu orang yang tak hanya satu dua dan itu membuatku termotivasi untuk menciptakan kesan pertama yang baik agar setidaknya mempunyai teman terlebih dahulu dilingkungan baru, mengenai sifat dan sikap selanjutnya ya tergantung bagaimana dia nantinya.

Aku duduk di kursi dekat pintu yang bertuliskan "Direktur Utama" kuamati keadaan sekitar dan tak berselang lama bunyi lift terbuka membuatku menoleh. Dari dalam lift terlihat dua orang laki-laki, yang satu menggunakan setelan jas lengkap, yang kuyakini dalam ingatanku bahwa dia adalah direktur utama, namanya Raka Sadewa Janardana. Sedangkan seorang laki-laki yang mengiringinya aku merasa kenal dengannya tapi aku masih belum yakin.

Pakaiannya sama dengan si direktur utama, hanya saja pria yang mengiringi itu membawa tas jinjing di tangan kirinya dan beberapa map di tangan kanan yang dihimpit ke dadanya. Langkahnya semakin mendekat ke arahku, mengapa aku tak bisa berpaling pada pria yang mengiringi direkturku? Ada rasa yang ingin memberontak keluar, namun tentu saja tidak mungkin berteriak histeris hanya karena melihat orang yang mirip dengan orang yang kita kenal 'kan? Sangat memalukan tentunya apalagi dihari pertama bekerja dan di depan atasan yang menentukan nasib kita di sana, jangan sampai lah dipecat dihari pertama.

"Selamat pagi Pak Raka. Selamat pagi Pak ...." Pak Raka mengangguk dan berlalu menuju ruangannya.

Pria yang mengiringinya pun mengangguk dan berhenti di depanku sembari menyampaikan pesan dari Pak Dirut, "Selamat pagi juga Aida Ekavira Leandra, silahkan masuk ke ruangan bapak, ada yang ingin disampaikan." Pria yang mengiringi pak direktur pun berjalan mendahuluiku.

Timbul pertanyaan di benakku, kalaupun dia orang yang sama dengan orang yang kukenal, mengapa bisa dia bersikap biasa saja? Tidakkah ia rindu padaku? Ah, apa dalih profesionalisme itu terlalu mengakar pada jiwanya? Atau memang bukan orang yang sama? Apa karena terlalu rindu hingga orang lainpun kuanggap sama dengan dia?

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku seraya membungkukkan badan dihadapan Pak Raka.

"Silahkan duduk dulu, Bu." Akupun duduk di sofa yang masih kosong. Kenapa harus duduk di sofa? Tiba-tiba pikiranmu melayang pada cerita fiksi yang pernah kubaca perihal sekretaris yang disukai oleh bossnya. Aku menghela napas pelan, mana mungkin Pak Raka akan menyukaiku? Aku ini gadis bar-bar yang mungkin terlalu beruntung bisa mendapat posisi ini.

"Perkenalkan saya Bayu. Di sini saya akan menyampaikan bahwa selama satu setengah bulan saya akan menjadi trainer Bu Aida. Jadi mohon kerja samanya." Oh, namanya Bayu. Kupikir namanya Arya. Memang salah 'kan dugaanku? Untung aku gadis bar-bar yang masih memiliki rasa malu, hingga tak langsung kupeluk manusia tampan bernama Bayu itu.

Sungguh, Pak Bayu ini mirip sekali dengan sahabat rasa abang yang bertemu denganku sejak aku kelas 3 SMA. Memang sudah lama aku tak mendengar kabarnya walau aku sering berkomunikasi dengan adik kandungnya.

"Vivi, belikan saya sarapan. Gado-gado yang ada di dekat minimarket sebrang jalan. Jangan terlalu pedas dan kerupuknya dibanyakin. Silahkan Bayu temani Vivi untuk melakukan tugas pertama." aku terperangah kaget, menoleh kanan-kiri mencari sosok yang bernama Vivi hingga mataku bertemu dengan manik Pak Raka yang mana dahinya sedang sedikit berkerut.

"Maaf, Pak?" tanyaku sopan.

"Namamu Aida Ekavira Leandra 'kan? Jadi tidak salah 'kan jika saya memanggil kamu Vivi?" Aku mengerjab, pasalnya hanya orang-orang tertentu yang memanggilku dengan nama "Avi." Bahkan bukan "Vivi" 'kan? Lalu aku mengangguk tanda paham.

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Aku bangkit dari dudukku dan berjalan keluar ruangan.

Tak berselang lama aku dan Pak Bayu pun sampai di lobby kantor dan berjalan keluar mencari sarapan yang diinginkan pak bos. Selama perjalanan menuju lantai satu Pak Bayu banyak memberitahuku tentang pekerjaan yang akan aku lakukan dan bagaimana menghadapi Pak Raka yang mana beliaulah yang akan aku temani selama lima hari bahkan tujuh hari dalam waktu bisa lebih dari 8 jam dan harus siap sedia 24 jam.

Kuketahui ternyata Pak Bayu sebenarnya adalah asisten pribadi dari direktur utama sebelum Pak Raka, namanya Pak Narendra. Pak Raka menjabat sebagai direktur utama baru enam bulan ini dan Pak Bayu sendiri masih menjalankan tugas tetap sebagai asisten pribadi Pak Narendra, lebih tepatnya di rumah beliau. Mungkin beliau hanya tinggal memantau bisnisnya yang sudah merajalela sembari menimang cucunya di rumah, itu sih yang ada di pikiranku.

Sesampainya di kedai gado-gado aku dan Pak Bayu duduk.

"Eh Pak Bayu, pesan gado-gado buat Pak Bos?" tanya mamang penjual gado-gado itu yang rupanya telah akrab dengan Pak Bayu dan mungkin juga dengan Pak Bos.

"Iya Mang. Dalam waktu dekat ini mungkin kita ngga akan berjumpa lagi Mang, saya tinggal hitungan hari kerja di sini dan diganti cewek cantik di sebelah saya ini." Pak Bayu menunjuk aku yang duduk di sampingnya.

"Nama saya Avi, Mang," ujarku memperkenalkan diri. Sudah kubilang 'kan? Bahwa membuat kesan baik dipertemuan pertama wajib hukumnya, pada tukang gado-gado sekalipun.

"Saya Mang Jamil. Penjual gado-gado terpopuler di sini, Neng. Pokoknya kalau makan gado-gado di sini teh bikin kenyang. Akan ada diskon untuk para pelanggan tetap dan bonus untuk pembelian dalam jumlah banyak." Aku terkekeh mendengar ucapan Mang Jamil. Kalimatnya sangat persuasif sekali. Masuk divisi pemasaran sudah cukup cocok, bukan?

"Eh ada karyawan baru." Tiba-tiba muncul sosok cowok dengan kemeja biru muda dan celana bahan warna hitam lengkap dengan sepatu dan wajah yang cengengesan, ini dia, nih! Teman lamaku dulu waktu kuliah. Orangnya periang, suka menolong, tidak sombong, cerewet, ....

"Eh Bang, lupa lo sama nih bocah?" Belum lengkap aku mengingat sifatnya sudah muncul saja sifat yang belum disebutkan, ya songong. Sebentar, bocah? Bocah yang mana? Bang? Bang Jamil?

"Diem deh Bang, gue lagi training. Kalau gue ngga lolos training gue balik ke Surabaya lagi deh," ucapku pelan pada sosok manusia menyebalkan yang satu ini.

"Eh Mas Bulan, mau makan apa Mas?" tanya Mang Jamil.

"Mau makan rindu sama dua cecunguk di depan gue Mang. Dan satu lagi, jangan panggil gue bulan deh. Panggil Candra. Tije juga boleh atau Jeje aja gitu." protes manusia yang menyebalkan itu.

"Heleh, namanya bagus-bagus Candra pakai tije-tije segala. Sok keren lu tong." Tije atau Jeje adalah nama yang dibuat sendiri oleh Tjandra Wijaya Pamungkas.

Dia tidak mau dipanggil, "Candra" katanya waktu dia masih SD ada yang manggil "Condro" karena dalam bahasa Jawa huruf A bisa dibaca menjadi huruf O dan kalau memanggil namanya dipenggal ia juga tak senang karena menjadi, "Con" dan "Ndro" dan kadang dipelencengkan menjadi "Ndrodoooot" seperti bunyi kentut itu lho.

Karena nama di akta kelahirannya menggunakan huruf T dan J untuk membentuk huruf C maka ia dengar percaya dirinya memperkenalkan diri ketika SMA dengan nama T dan J yang dibaca Tije. Hingga saat kami berkenalanpun ia memperkenalkan diri dengan nama itu. Karena dia lebih tua dariku ya sudah aku panggil dia dengan embel-embel "Abang" yah tahulah aku anak tunggal karena memang ibu tak mau menikah jadi aku punya banyak saudara ya dari kenalan dengan banyak orang.

"Vi, lo ngga inget siapa tuh monyet di sebelah lo?" tanya Jeje padaku.

Aku memejamkan mataku menahan sebal atas perilaku Jeje yang dengan entengnya mengatakan bahwa Pak Bayu yang notabene adalah trainer-ku dengan nama binatang yang sangat mirip dengan diri Jeje itu sendiri? Sungguh, aku takut dikenai pasal pelecehan nama baik.

"Pak Bayu, maafin Bang Jeje ya? Mulut dia lupa ikut sekolah waktu ada kelas di masa lalu." Serius aku takut dengan tampang datar dari Pak Bayu. Walaupun dia mirip banget dengan kakak kandung Jeje yang namanya Arya dan ku lihat Pak Bayu itu sedikit terkekeh dan mengangguk pelan.

"Astaga Bang Arya. Nama kesayangan dari Pak Naren masih lo gunain buat kenalan sama adik jauh kita? Ck ck ck, parah lo!" Jeje geleng-geleng kepala dan aku pun mengerutkan dahi, apa? Bang Arya? Telingaku tak salah dengar kah? Aku pun lalu menoleh pada senior yang hendak hengkang dari kantor ini.

"Want to hug? I miss you so bad, Avi." Pak Bayu merentangkan tangannya. Aku masih mencerna apa yang terjadi dan apa yang ku dengar. Apa iya Bang Arya adalah Pak Bayu?

"Arya Bayusena Pamungkas kalau lo lupa." Jeje menyebutkan nama lengkap kakak kandungnya itu dan kulihat ID Card yang menggantung di leher pria bersetelan jas di sampingku adalah nama yang sama.

Brugh

Kupeluk Pak Bayu dan kutumpahkan air mataku. Sungguh, aku rindu sosoknya. Pertemuan kami memang masih bisa dihitung namun, sikap yang ia tunjukkan terlalu membuatku nyaman. Nyaman bukan berarti jatuh cinta 'kan? Aku tak jatuh cinta padanya toh diapun sudah memiliki istri dan sedang mengandung untuk sekarang ini, jujur aku sangat rindu padanya. Kami jarang berkomunikasi, itulah penyebab rindu menjadi semakin menggunung.

"Jahat banget hiks, masa ngga ke apartemen Bang Jeje selama gue di sana." ketika akan interview aku memang tinggal di apartemen Bang Jeje daripada aku menyewa apartemen atau rumah yang mana belum jelas kepastiannya aku akan menetap atau tidak. Lalu kurasakan Pak Bayu a.k.a Bang Arya mengeratkan pelukannya dan mengelus punggungku, menempelkan kepalanya pada ceruk leherku dan sesekali menciumi kepalaku.

"Abang juga rindu. Maafin Abang. Abang pikir Jeje ngasih tahu kalau Abang bakal jadi trainer kamu." Bang Jeje sialan emang. Jahilnya pakai banget. Jadi dia udah tahu kalau yang bakal jadi trainer-ku adalah Abangnya. Mungkin ini adalah kejutan yang ia maksud beberapa hari lalu.

"Mang fotoin dong, mau pelukan kaya Teletubbies." Aish, Jeje merusak suasana. Dia memelukku dan kakaknya dengan aku diantara dua cowok tampan ini. Apa memiliki saudara laki-laki seperti ini rasanya? Andai saja mereka adalah saudara kandung. Lagi-lagi hanya sebatas pengandaian.

"Nyebelin banget sih lo Bang, gue tuh rindu beneran." Ku tampol lengan Bang Jeje sedangkan dia malah menarik hidung mungilku. "Arrghh! sakit tahu!"

"Aww!" Kepala Bang Jeje pun dihadiahi jitakan oleh Bang Arya.

"Udah ih jangan nangis, yang penting udah ketemu 'kan? Kamu ditanyain sama mbakmu di rumah. Jangan lupa main ya." Bang Arya merengkuhku lagi dan aku hanya bisa tersenyum dalam dada bidang pria yang memiliki gelar calon ayah ini.

"Nah gitu dong senyum."

Usai berpeluk-pelukan dan mengambil beberapa foto, aku dan Bang Arya kembali ke ruangan Pak Bos, sedangkan Bang Jeje menemui kami hanya untuk melihat reaksiku ketika bertemu dengan Bang Arya. Ketika bertemu di bandara pun, Bang Jeje kupeluk lama seperti pasangan LDR yang baru saja bertemu, bedanya kami hanya sebatas saudara bertemu ketika sudah besar.

"Vivi, kosongkan jadwal setelah makan siang hingga pukul 3, saya akan menemui ibu saya. Dan kamu silahkan belajar mengenai tugas dan tanggungjawab dengan Bayu." Aku mengiyakan perintah yang baru saja turun.

"Jangan lupa Pak jam setengah empat ada rapat dengan Pak Bisma dari Wijaya Group," ucapku mencoba melaksanakan tugasku sebagai sekretaris pribadi.

"Saya ingat akan hal itu." Pak Raka pun pergi dari hadapanku, aku dan Bang Arya sedikit membungkukkan badan sebelum Pak Raka benar-benar berlalu.

Jam menunjukkan pukul 12.02 waktu istirahat sudah tiba dan sejak setengah jam yang lalu aku diajari banyak hal sambil bercerita kesana-kemari dengan Bang Arya.

***
Sejak selesai rapat raut wajah Pak Raka menjadi menyeramkan karena hasil perundingan tadi kurang memuaskan. Aku hanya menghela napas pelan bersyukur karena tidak menjadi pelampiasan kekesalannya. Namun, kulihat sedari tadi banyak karyawan dan karyawati yang keluar masuk ruangan Pak Raka menampilkan raut yang sebal menahan marah. Aku sungkan untuk bertanya karena takut membuat mood orang-orang itu menjadi semakin buruk, kalau sekedar menyapa dengan menganggukkan kepala sudah menjadi hal yang wajib, bukan?

"Vivi, masuk ruangan saya." suara Pak Raka memanggilku dari interkom yang menghubungkan ruangan kecil di depan ruang Pak Raka alias ruanganku.

Tanpa kujawab, langsung saja aku beranjak bangun dari dudukku, merapikan blouse putih yang melekat pada tubuhku dan berjalan pelan menuju pintu yang sejak tadi terlihat seperti pintu neraka. Langsung kubuka dan menampilkan Pak Raka yang sedang duduk dikursi kebesarannya dengan tanyanya kanan memijat pelipisnya dan tangan kiri memegang sebuah map. Dasi yang sudah dilonggarkan dan jas yang sudah tak ditempatnya, mengapa bossku terlihat tambah lebih ... semacam sexy? Astaga aku benci akal pikiranku.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Pesan makanan untuk kamu dan saya, lalu buatkan kopi hitam." Oh! ternyata pak bos kelaparan, pikirku. Disodorkannya ponsel berlogo apel yang sudah tidak utuh untuk memesan makanan.

"Bapak ingin makan apa?" Tidak salah 'kan Jika aku bertanya demikian? Nanti kalau kupesankan sesukaku dan malah menjadi hal yang tak disukai bosku, lagipula rasa nikmat itu relatif, bukan?

"Sate ayam dan lontongnya dua porsi jangan terlalu pedas, ayam krispi KFC satu box ukuran large, dan silahkan kamu beli apa yang kamu ingin makan." Ternyata porsi makan bosku banyak juga. Kukira badan sebagus milik Pak Raka itu asupannya bukan junk food. Pak Raka itu bukan direktur utama yang perutnya buncit, berkumis lele, dan kacamata bulat.

Kata Bang Arya umurnya baru 28 tahun dan belum menikah. Tentu saja hal ini membuat banyak karyawati yang menyukai beliau, tidak bersifat dingin dan arogan hanya suka marah dan itu sebatas kadang-kadang—menurut penilaianku sehari ini—.

"Baik Pak." Setelah kupesan aku pun beranjak membuat kopi di pantry yang ada di ruangan ini. Sungguh, menjadi bos ternyata terlihat menyenangkan. Kantor rasa rumah. Ada pantry kecil lengkap dengan peralatan masak dan peralatan makan sederhana. Akan menjadi tugasku nantinya dalam menjaga kebersihan pantry ini karena sedikit tidak mungkin bosku itu menginjakkan kakinya di sini.

Kulihat beberapa gelas sudah tak ditempatnya dan termos yang tersedia pun tak ada air panasnya. Jadi kurasa mulai sekarang ini aku menggunakan kompor yang masih mengkilap itu untuk merebus air dan kucuci beberapa gelas berisi ampas kopi yang hampir sudah mengering.

"Vivi, kalau kopinya jadi jangan lupa bawa piring dan sendok ya." Dugaanku salah. Lagi. Ternyata Pak Raka mau menginjakkan kakinya di sini. Sepertinya pesanan beliau sudah datang dan kopi yang kubuat juga hampir siap. Ku iyakan perintah beliau dan hilanglah beliau dari pintu pantry.

Kopi telah jadi, kuambil dua buah piring, satu buah gelas kutuang air putih dari galon, lalu kususun rapi diatas nampan dan ku bawa menuju ruang utama dimana bos tampanku berada, eh bos tampan? Haha kalau bosku cantik, aku sebagai perempuan tulen ya merasa tersaingi.

Brak!

Aku terkejut hingga air putih di gelas yang tak kuberi tutup bergoyang dan airnya sedikit tumpah mengenai nampan stenles steel yang ada di kedua tanganku. Map warna biru yang berisi kertas cukup banyak itu dibanting di atas meja.

"Udah tiga kali revisi masih salah juga?! Kalian itu niat kerja ngga sih?! Kalian revisi lagi laporan itu. Selesaikan sebelum jam sembilan. Ngerti?!" Satu perempuan dan dua laki-laki, sepertinya mereka adalah tim kerja. Ya, aku ingat mereka bergantian dari tadi keluar masuk ruangan pak dirut. Ternyata mereka penyebab buruk rupanya pak bos selain hasil perundingan dengan Pak Bisma.

"Sekali lagi masih salah, besok kalian ngga usah masuk kerja lagi. Perusahaan ini ngga butuh orang yang kaya kalian! Silahkan keluar."

Raut ketakutan sangat kentara di wajah mereka, terutama si perempuan. Mereka pun keluar dan menutup pintu dengan pelan. Ternyata ngga main-main Pak Bos kalau marah.

"Silahkan Pak, makanannya," ujarku setelah menyiapkan makanan di meja kecil sudut ruangan ini. Beliau pun hanya berdehem dan beranjak bangun dari kursi kebenarannya. Setelah beliau duduk dan mengambil gelas air putih. Kupikir aku sudah tak di perlukan lagi, aku pun pamit keluar pun satu-satunya hal yang ada dibenakku."

"Kalau begitu saya permisi, Pak," ujarku seraya membungkukkan badanku sedikit.

PYAR!

Aku terlonjak kaget karena beliau melempar dan membanting gelas air putih yang beliau pegang.

Vivi's POV end




bukhoriganAvatar border
tien212700Avatar border
wanitatangguh93Avatar border
wanitatangguh93 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
862
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.