Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
66
Suara hiruk piruk keramaian kini terdengar di telinga. Di bawah langit cerah saat itu, tepatnya di jalan menuju sebuah bangunan besar yang mirip istana negara, telah dipenuhi oleh pemuda-pemudi  yang tengah berdesakan sambil berteriak-teriak mengangkat sesuatu di tangannya tinggi-tinggi.

Aku mengernyit heran, di mana ini? Mengapa aku berada di antara orang-orang ini? Bukankah aku tadi tengah membaca ... ah, di mana ponsel sialan itu? Kurogoh semua saku yang ada di pakaian, tapi nihil, benda pipih itu tak ada sekarang.

Aku meringis dan hampir saja terhuyung ke depan ketika seseorang dengan kasar menabrak bahuku dengan amat keras dari arah belakang.


“Sial,” umpatku.  

“Rif, kamu gak papa?”

Kini kurasakan seseorang menepuk bahuku, kernyitan tercetak di kening ketika kedua mataku melihat seorang pemuda yang kini tengah menatap dengan sedikit khawatir? Bukan, bukan kekhawatirannya yang membuatku bingung, tapi kenapa dia memanggilku dengan sebutan “Rif” dan siapa dia? Aku tak mengenalnya.

“Bubarkan PKI, penuhi tuntutan kami!”

Kalimat itu kini membuat atensiku berubah, semua orang di sini berteriak lantang menirukan kalimat tersebut secara berulang-ulang, termasuk pemuda yang bertanya padaku tadi.

Tubuhku terdorong ke depan, menabrak orang-orang di depan sana. Dada begitu sesak karena, orang-orang di belakang berusaha untuk melangkah maju, padahal sudah tak ada celah untuk bisa maju, kecuali jika mereka ingin berdempet-dempetan, dan mati karena kepanasan.

Di tengah situasi yang memanas itu, dari arah depan sana, tetiba terdengar suara rentetan senjata. Semua orang refleks saja tiarap, sebelum anak peluru mengenai tubuh mereka. Aku cukup terkejut karenanya, belum sempat tiarap, sebuah peluru melesat cepat mengenai tubuhku. Jantung terasa berhenti berdetak saat itu juga. Apakah aku harus mati di tempat asing ini? Semua pikiran-pikiran negatif menyelimuti otak, sebelum tubuhku ambruk ke belakang, terkelepar tak berdaya di tanah.

Suara teriakan beberapa orang yang memanggil “Arif” kini terdengar samar-samar di telinga. Suara itu bersahut-sahutan, tubuhku digoyang untuk beberapa kali. Namun, napas sudah tercekat di tenggorokan, nyawa sudah di ujung batas. Sebelum kedua mata tertutup, telingaku sempat mendengar sebuah teriakan, “Tjakrawibawa anjing!”. Dan setelah itu semuanya gelap.

Aku membuka mata, mengernyit bingung ke arah kumpulan orang yang tengah berlutut, berkerumun membentuk lingkaran dengan seseorang yang ada di pusatnya. Bukankah aku tertembak tadi? Bagaimana aku bisa sehat seperti sebelumnya, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Aku melangkah mendekat, kulihat seorang pemuda tengah tersungkur di tanah. Darah keluar dari tubuhnya, membasahi jaket kuning yang ia kenakan. Cairan merah kental itu terus saja keluar, hingga meninggalkan jejak di sekitar tubuh korban.

“Arif."

Arif, kata itu kembali terdengar, tapi nama itu tidak ditujukkan untukku lagi, melainkan si pemuda yang tengah tertembak dan menggerang menahan sakit itu. Isak pilu mengiringi rintihan kesakitan pemuda bernama Arif. Sedangkan aku hanya diam terpaku melihat semua ini dengan kebingungan yang menyelimuti.

Tak lama setelah itu, beberapa orang mengangkat tubuh Arif untuk dibawa pergi agar mendapatkan perawatan.

“Jaket kuning, maju teruss!” Terdengar ucapan lemah dari Arif, kulihat mata pemuda itu menatap nanar ketika diangkat. Rasanya ia tak rela meninggalkan teman-temannya.

Kepalaku berdenyut hebat, apa maksud semua ini? Akh, aku menggerang, menjambak rambutku frustasi—mengusap wajah dengan gerakan kasar—memukul kepala, berharap rasa sakit itu hilang. Entah berapa kali hal itu kulakukan.

Keanehan kembali terjadi, ketika aku mengusap wajah dan kemudian menghentikan gerakan itu, tubuhku berada di tempat berbeda setelah tangan tersingkir dari wajah. Dalam hitungan detik, hanya dalam hitungan detik aku telah berpindah tempat.

Aku kini berdiri di pinggir jalan raya. Di sini begitu ramai, samping kiri dan kananku juga terdapat orang, bahkan di samping mereka juga ada. Semua orang menatap penuh pilu sambil berdiri memenuhi pinggir jalan. Tidak hanya para pria, tetapi wanita juga. Tidak hanya muda, tetapi yang tua juga, bahkan anak-anak kecil pun ikut serta berdiri di pinggir jalan. Berjejeran layaknya sebuah pagar hidup dengan tinggi yang berbeda. Tak beda dari keadaan di sini, di seberang jalan pun dipenuh orang-orang yang juga berdiri layaknya pagar hidup.

Satu fakta yang mengerikan, sepanjang jalan di penuhi oleh orang-orang dengan tatapan yang sama pilunya. Apakah ada bencana sekarang, ke mana kesialan ini membawaku? Setelah peristiwa tadi, yang kuduga di tahun 1966, tepat ketika para mahasiswa berdemonstrasi menyuarakan aksi, menuntun TRITURA kepada Presiden Soekarno, presiden RI yang pertama kali. Kini aku dibawa ke jalanan ini, dengan tujuan yang tak kumengerti sama sekali.

Jerit tangis seketika pecah, yang membuatku mengernyit heran. Dari kejauhan terlihat sebuah mobil dengan foto seorang pemuda yang dikelilingi oleh bunga aneka warna dan rupa. Kepiluan semakin terasa ketika cairan bening mengalir begitu saja dari mata orang-orang yang berdiri di sepanjang jalan. Beberapa dari mereka bahkan sampai tersedu-sedu ketika mobil itu melewatinya.

Cakrawala kini dihiasi oleh warna jingga, matahari mulai tenggelam, dan rasanya tubuhku begitu sakit. Tapi anehnya kakiku tak mau ditekuk sebentar, seolah ada yang memaksaku untuk tetap berdiri.

Tepat ketika mobil yang penuh dengan karangan bunga itu lewat di depanku, tanpa sadar cairan bening membasahi pipi. Dadaku tiba-tiba sesak, oksigen begitu sulit untuk kudapatkan. Sakit, rasanya aku ikut pilu melihat semua ini. Semua yang membingungkan, tetapi membuatku meneteskan air mata tanpa alasan pasti.

Di belakang mobil tersebut ternyata ramai dengan orang-orang yang mengiringinya. Mereka sama pilunya, bahkan ada beberapa dari mereka yang sampai harus dibantu berjalan. Mata mereka sembab, tubuh mereka bergetar, isakan kecil terus keluar, jejak air mata tak terlihat karena terus dialiri tetes berikutnya, yang keluar tanpa henti.

Ya Tuhan apa yang ingin kau tunjukkan padaku? Aku tak pernah merasa sesedih ini sebelumnya. Mataku memanas, rasanya begitu perih sekarang ini. Aku tak bisa menahan lagi air mata yang menggenang di pelupuk, hingga dia lolos, membasahi pipi. Aku bukan pria cengeng, selama ini aku selalu berhasil menyembunyikan air mata di depan banyak orang, tapi mengapa hari ini tidak bisa kulakukan.

Arif Rahman Hakim, tiga kata yang tertulis di bawah foto  tertangkap oleh indra penglihatannku. Aku terkejut dengan air mata yang masih mengalir deras. Pemuda dalam foto itu adalah pemuda yang tertembak tadi, dan namanya mengingatkanku pada seseorang. Arif Rahman Hakim, nama itu tak asing dalam indra penglihatan maupun pendengaran.

Tubuhku melemas ketika menyadari sesuatu, hingga rasanya ingin ambruk ke belakang. Aku melangkah mundur perlahan, hingga menabrak orang di belakangku.

“Maaf.”

Ini benar-benar tak bisa dipercaya, bagaimana aku bisa di sini? Menyaksikan kejadian bertahun-tahun lamanya, bakan sebelum aku dilahirkan ke dunia. Apakah yang kulihat ini kejadian sebenarnya, atau hanya dari pemikiranku semata, ketika membaca cerita-cerita tentang peristiwa aksi mahasiswa angkatan 66? Sungguh aku tak tau yang pastinya. Namun, aku sangat berharap untuk kembali ke dunia nyata, tepat di mana seharusnya aku berada.

 

Tuhan, aku ingin kembali.

Bau anyir kini tercium, ah ternyata bau itu bersal dari jaket kuning yang terdapat noda darah, hampir di setiap bagiannya. Jaket kuning itu tersampir di sebuah tongkat tinggi yang ditancapkkan di belakang mobil. Jika kutebak, jaket itu milik Arif Rahman, yang ikut di arak dengan jenazahnya. Ya, Arif Rahman Hakim, mahasiswa dari Fakultas Kedokteran UI, yang mati tertembak saat aksi demonstasi TRITURA, yang kemudian namanya diabadikan menjadi sebuah nama Laskar Ampera.

Sepertinya Arif Rahman begitu berarti dan memiliki peranan besar dalam aksi ini. Terbukti dengan banyaknya orang yang berdatangan, berdiri di pinggir jalanan Salemba hanya untuk melihat jenazah Arif Rahman Hakim. Ah, mungkin bukan hanya melihat, tapi turut prihatin dan berduka cita, karena yang kulihat semua orang menatap dengan pilu dengan mata sembab dan merah. Bahkan anak kecil pun juga ikut menangis, seakan mereka juga merasakan kepedihan itu meski mereka tak mengerti semuanya.

Angin tiba-tiba bertiup kencang, menusuk kulit hingga terasa ke tulang. Mataku bahkan semakin pedih karena embusannya, hingga membuatku kembali memutuskan untuk menutup mata dengan kedua tangan saat itu juga.

Tak lama setelah itu, angin ribut tadi menghilang begitu saja. Kini keadaan menjadi begitu sepi dan sunyi. Aku masih belum sanggup menyingkirkan tangan dari mataku. Entah di mana lagi aku sekarang ini. Rasanya tubuh dan pikiranku begitu lelah sekarang ini.

“Woi, Han.”

Aku terlonjak kaget ketika mendapatkan sebuah tepukan juga panggilan tiba-tiba yang menusuk telinga itu.

“Sial, ngagetin aja lu, Mi.” Kutatap tajam seorang pemuda yang saat ini berdiri di sampingku dengan terkikih pelan. “Gak usah ketawa, lu.”

“Ehe, sorry, Han. Gue gak maksud ngagetin lu, kok,” jawab Fahmi sambil terkekeh semakin keras saja.

Sorryapa? Sori banyu, sori watu?” tanyaku sedikit nyolot.

“Gitu doang marah sih, Han.”

“Jantung gue hampir copot, dan gue gak boleh marah gitu? Bisa gak sih, lu panggil gue dengan pelan?”

“Gak.” Fahmi kembali tertawa setelah mengucapakan satu kata itu dengan memasang wajah tanpa dosa yang entah mengapa terlihat begitu menyebalakan di mataku saat itu.

“Ck, males gue sama lu, Mi.”

“Haha, abisnya gue takut lu kesurupan, Han.” Kali ini aku menatap Fahmi dengan raut wajah bingung.

“Maksud, lu?”

“Udah satu jam lebih lu berdiri di pinggir kasur sambil ngeliatin layar hape, lu. Ya, gue kira lu kesambet atau apa. Kata pak ustaz, kalau ada yang kesambet harus dikejutin biar sadar. Gitu.”

“Ha? Kata siapa tuh, ustaz mana?”

“Ustaz Fahmi,” ujar Fahmi bangga dengan mata menatap penuh kesombongan, sedangkan salah satu tangannya menepuk dadanya sendiri, seolah memberitahuku, jika dia yang paling kuat dan cerdas di sini. “Aamiinin dong, Han.”

“Aamiin.”

“Akh, gak asyik lu. Gue rebahan lagi aja dah.”

“Sono pergi, dasar kang molor.”

Setelah Fahmi kembali ke tempat tidurnya, aku terdiam, menatap ponsel dalam genggaman. Kuembusakan napas kasar, mengacak rambut, menjatuhkan tubuh, berbaring di atas ranjang, dengan kepala yang tersandar di sandaran ranjang.

Dengan gemetar, kuhidupkan ponsel dalam genggaman, lalu membuka loock screenpada layar. Mata membelalak, pesan itu ternyata masih ada. Pesan yang membuatku merasa berada di dimensi lain, yang seolah-olah begitu nyata terjadi di depanku.

Tadi aku mendapat pesan dari privat number, dia mengirimkan sebuah gambar hitam putih.

“HORISON” 

Kata itu tercetak tebal dan lebih besar daripada tulisan yang lainnya. Lalu di bawah tulisan Horison itu terdapat kata “MADJALAH SASTRA”. Ya, majalah. Mungkinkah gambar ini adalah sampul sebuah majalah, dan Horison adalah nama majalah tersebut?

Atensiku kini berubah pada gambar hitam putih, tepat di samping tulisan yang membentuk kalimat tengah terjejer. Di gambar itu terlihat tiga orang anak kecil dengan raut wajah pilu, tangannya  terdapat sebuah pita berwarna hitam juga bunga. Lalu kubaca kalimat di sampingnya.

“KARANGAN BUNGA”

Apa itu judul tulisan ini? Ah, lebih baik kulanjutkan saja membacanya.

TIGA ANAK KETJIL

DALAM LANGKAH MALU-MALU

DATANG KE SALEMBA

SORE ITU,

 

INI DARI KAMI BERTIGA

PITA HITAM

PADA KARANGAN BUNGA

SEBAB KAMI IKUT BERDUKA

BAGI KAKAK

YANG DITEMBAK MATI

SIANG TADI

Karena penasaran, aku membuka googledan kucari informasi tentang majalah HORISON. Fakta yang unik juga terbilang baru, selama ini aku tak pernah tau ada majalah kuno seperti ini. HORISON adalah majalah yang khusus membuat karya sastra di Indonesia. Majalah ini terbit kali pertama pada bulan juli 1966. Itu berarti majalah ini terbit setelah kejadian seruan aksi 66 itu? Mungkinkah yang dimaksud di dalam puisi majalah ini adalah kedukaan orang-orang karena melihat Arif Rahman Hakim yang tertembak? Jika memang seperti itu, pantas saja setelah membaca tulisan di dalam gambar itu, aku merasa dibawa ke dimensi lain. Diberi tugas untuk menyaksikan kejadian penuh semangat juga kepiluan yang mendalam.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Entah berapa lama aku berdiri lalu memikirkan semua ini. Satu yang kutahu, tubuhku sangat lelah dan butuh istirahat saat ini. Satu yang tak kumengerti, bagaimana kejadian itu terasa nyata, seolah-olah aku benar-benar ikut andil dalam aksi demonstrasi tersebut. Sungguh aneh, benar-benar aneh.

***

Pagi telah tiba, sinar mentari masuk lewat celah jendela kaca di kos-kosanku ini. Mataku mengerjab untuk beberapa kali. Kulirik pada kasur di sebelah, Fahmi sudah tidak ada di sana. Ke mana anak itu pergi? Tumben sekali dia bangun lebih awal daripada diriku.

Aku bangkit dari tidur, berjalan menuju kamar mandi. Keningku mengernyit ketika mendapati ruang kamar mandi yang kosong. Kupikir Fahmi tengah berada di kamar madi, tapi tenyata aku salah. Pemuda itu tak ada, ke mana dia pergi pagi-pagi buta seperti itu?

Brakkk

Suara pintu kamar yang dibuka dengan kasar kini mengagetkanku. Kutatap tajam seseorang yang saat ini tengah berdiri di depan pintu, dengan menumpukkan kedua tangan di atas lutut. Napasnya memburu hebat, hingga telingaku pun dapat mendengarnya. Apa yang terjadi sebenarnya?

“Gawat, Han.”

“Kenapa?”

“Omnibuslaw.”

Aku mengernyit mendengarnya.

“Gue tadi habis rapat singkat, kita bakal demo di depan gedung DPR, buat nolak omnibuslaw, RUU Cipta Kerja yang kemarin malam baru disahkan.”

Lagi-lagi aku mengernyit bingung, aku tak mengerti yang Fahmi katakan. Omnibuslaw? RUU Cipta Kerja? Demo di depan kantor DPR? Untuk apa? Ck, sepertinya aku terlalu kudet hingga tak mengerti kabar terbaru. Aku bukanlah mahasiswa yang aktif diberbagai kegiatan maupun oganisasi seperti Fahmi. Bisa dibilang aku seperti mahasiswa kupu-kupu, hehe. Mahasiwa yang hanya kuliah-pulang, kuliah-pulang.

“Ayo, kita harus kumpul. Lu lebih baik cepetan mandi, terus ikut gue demo.”

“Ha? Harus?”

“Iya, Rehan, sekarang! Atau lu gak usah mandi ajalah, mandi gak mandi muka lu juga tetep sama. Sama-sama burik, hahaha.”

“Sialan, lu. Gue mau mandi dulu. Sebentar.”

Kini aku dan Fahmi berada di antara kumpulan para pendemo. Fahmi berteriak kencang “Batalakan Omnibuslaw” bersama dengan mahasiswa lain. Sedangkan aku hanya diam saja, tak tau harus apa. Lalu tiba-tiba Fahmi menyenggolku dengan cukup keras, hingga membuatku menatap tajam ke arah dirinya.

“Ikutan teriak, Han! Ini seru, seriusan.”

“Hmm."

“Ayo. Batalkan Omnibuslaw!”

Aku pun meniru apa yang Fahmi katakan, meski aku tak mengerti tentang Omnibuslaw ini. Tapi ya sudahlah, tak ada pilihan, aku sudah di sini sekarang. Dan mungkin inilah saatnya diriku untuk unjuk gigi, membela rakyat kecil, hehe.

“Batalkan Omnibuslaw!” Tanpa sadar aku telah terbawa suasana. Aku pun ikut menyuarakan kalimat itu dengan lantang. Sungguh, benar apa kata Fahmi, ini sangat seru. Seharusnya setiap ada unjuk rasa aku ikut saja dari dulu, hitung-hitung menambah hiburan dikala otak suntuk karena mengerjakan tugas, hahaha.

Suasana semakin riuh saja, teriakan mahasiswa berbagai almamater menggema di depan DPR. Panas tak menyurutkan aksi kami, kami terus berteriak dengan lantang mengatakan kalimat yang sama berulang kali.

Lalu tiba-tiba, semburan gas air mata dilancarkan oleh para polisi. Para mahasiswa yang mengetahui itu cepat-cepat lari untuk menghindari, begitu pula dengan Fahmi.

“Sial, Fahmi meninggalakanku. Ke mana aku harus pergi. Akh, aku benar-benar tak mengerti.”

“Sial, mataku begitu perih samapai aku tak bisa melihat dengan jelas sekarang ini. Akh.”

Tubuhku ditabrak berulang kali dengan keras oleh mahasiswa lain yang juga ingin berlari menjauh. Aku terjatuh, tersungkur di tanah, sedangakan mataku semakin perih saja tak tertahankan. Rasanya aku ingin menangis saat itu juga, ketika tubuhku tertendang dan terinjak oleh yang lainnya. Apa aku akan bernasib sama seperti Arif Rahman Hakim? Ah, mustahil, Arif Rahman Hakim meninggal dengan membawa semangat perjuangan, dia tau apa yang dia perjuangkan. Sedangkan aku, aku hanya ikut-ikutan karena hasutan Fahmi, jika akau mati sekarang, itu adalah kematian yang begitu hina. Tuhan, aku begitu menyesal sekarang.

Tiba-tiba seseorang menarik lenganku dengan kasar, dan memaksaku untuk berdiri. Penglihatanku begitu buram, aku tak bisa melihat dengan jelas siapa yang menarik lenganku itu. Yang kulihat hanya badan besar juga pakaian polisi. Polisi? Oh, Tuhan, sekarang apa yang akan terjadi padaku?

Tubuhku ditarik paksa, tak ada pilihan lain selain mengikuti tarikan itu. Ingin rasanya aku memberontak dan berlari sekencang dan sejauh mungkin, tapi itu tidak bisa kulakukan. Cengkaraman di lenganku begitu kuatnya, dan mustahil aku bisa melepasnya dengan cuma-cuma.

Fahmi sialan. Ingin rasanya diriku mengutuk Fahmi, ingin rasanya kulayangkan tinju pada pemuda itu. Tapi sebelum memikirkan semua itu, aku harus memikirkan.nasibku sekarang ini. Semoga hanya ditahan untuk sementara, aku benar-benar takut jika keluargaku mengetahui ini. Bagaimana perasaan mereka? Bodoh, kau sangat bodoh Rehan.

 

sipuputtAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan sipuputt memberi reputasi
2
692
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.