Pembahasan ini cukup menarik, karena penuh dengan gesekan di dunia politik namun sebenarnya bisa dibilang ini pelanggaran ketika pemerintah ingin melawan covid, terjadinya kerumunan massa tidak bisa ditoleransi.

Ane kutip sedikit siapapun yang melanggar peraturan tentang kerumunan massa ketika covid sama saja melawan hukum dan tindakannya setara dengan hukuman pidana.







Oke kutipan ini ane ambil di waktu maret lalu ketika wabah covid mulai merambah ke nusantara, apakah sesuai dengan kebijakan yang ada di lapangan? Ane ga bisa ngomong banyak tapi semua bisa melihat hukum dijalankan atau tidak.

Dari massa buruh, mahasiswa yang menolak undang cipta kerja, massa pilkada yang tetap akan digelar dan sudah disetujui KPU, hingga massa Habib Rizieq yang memadati bandara serta di petamburan dan juga di puncak.

Bagaimana penanganannya? Cukup menarik karena hukum yang berlaku seakan tidak sama.



Logikanya memang hukum yang diberlakukan harus sama tidak tebang pilih, mau dia pelajar, buruh, pejabat, hingga rakyat yang tak patuhi peraturan harus kena hukuman yang berlaku.

Kenapa aturannya bisa tidak sama? Lagi dan lagi akan ada aturan karet untuk melawan massa yang sedang marah, apalagi ketika demonstrasi bila kena hukum pidana bisa digoreng oleh oposisi dan bikin kudeta yang tak di inginkan.

Masalah pilkada, ini pertaruhan jabatan tanpa adanya massa akan ada yang kurang, maka pihak yang berwajib main aman dengan semua hal yang menyangkut tentang pilkada, dengan dalih sudah ada UU KPU. Walau terlihat tidak tegas, tapi inilah dunia politik penuh dengan intrik.



Lantas massa Habib Rizieq kenapa banyak polisi dan gubernur yang kena teguran keras, ini pendukung HRS mulai unjuk gigi mereka merasa punya basis massa yang kuat, bila dibiarkan terjadi peta politik Indonesia bisa berubah. Oposisi bisa main mata dengan ormas yang berseberangan dengan pemerintah, lantas bagaimana cara membuat gigi mereka rontok.

Undang-undang tentang covid diberlakukan, kenapa? Ribuan massa simpatisan HRS hanya berapa persen dari jumlah penduduk Indonesia, bila terus dikasih panggung bisa bahaya pemerintah terkesan lembek dan bisa saja semakin lama HRS akan membesar, bila api sudah besar akan susah dipadamkan.



Maka trik untuk memadamkannya bukan Polisi lagi yang akan berhadapan tetapi TNI, disini jelas terlihat Pangdam Jaya mulai menurunkan anak buahnya terjun untuk melepas baliho dan patroli disekitar petamburan.

Cara-cara ini mengingatkan kita ketika kerusuhan tanjung priuk, siapa yang mau berhadapan dengan TNI? Mau mengulangi sejarah yang sama?

Walau logikanya kurang tepat, tapi buat ane sih setuju saja. Lambat laun kiprah HRS kalau tidak di stop akan bisa menghancurkan sendi kenegaraan. Tapi ingat ini strategi memukul, akan ada strategi balasan dari pihak lawan.



Dibalik HRS bukan orang sembarangan juga, mungkin ente semua dah pada paham. Simpatisan HRS hanyalah sebuah pion, yang menjalankan bidaknya akan memberikan kejutan ketika sudah terdesak.

Ane ga mihak siapa-siapa! Karena menang jadi arang kalah pun jadi abu, ketika masih berdiri di depan bendera yang sama dia masih WNI masa sesama anak bangsa kok perang, tapi inilah politik semua penuh kepentingan kalau sudah memakai strategi memukul pastikan yang dipukul tidak bisa bangkit lagi. Hancurkan semua hingga ke akarnya, bila ia berbentuk ormas seperti pangdam jaya bilang bubarkan segera.



Kalau hanya setengah-setengah takutnya ada counter attack, ya wassalam lah negeri kita bakalan kebobolan. Saya, c4punk see u next thread.





"Nikmati Membaca Dengan Santuy"
--------------------------------------
Tulisan : c4punk@2020
referensi : klik
Pic : google