Sebetulnya kisah ini sudah lama terjadi. Bangunan bertingkat bergaya baru berdiri menggantikan gedung tua peninggalan kolonial Belanda yang dirubuhkan. Sampai hari ini, bangunan  yang dulu dikenal sebagai Cikeumeuh, Kota Bogor, itu tidak diisi. Kendati tiap tahun direnovasi dan dicat ulang. Sepi menyendiri di sebuah sudut yang jauh dari gedung utama.

Cerita keangkeran dan misteri di sekitarnya masih bersimpang-siur. Mungkin itulah yang membuat para pegawai sebuah Balai Penelitian milik pemerintah itu enggan menempatinya.

Syahdan, pagar keliling belum sebagus sekarang, dimana melalui celah-celahnya warga sekitar bisa menerobos masuk mengambil buah-buahan: rambutan, jambu, sukun, pisang. Kami pun, anak-anak remaja, kerap bermain di wilayah itu. Salah satu tempat yang adem adalah bangunan bertingkat itu.

Pada sebuah senja, ane bersama 3 orang teman bermain-main. Agak kelelahan, ane tidur-tiduran sejenak, semilir angin membuat kantuk menyerang. Sepuluh atau seperempat jam kemudian, ane terbangun.

Terasa seperti ada yang menindih, sebuah kaki sangat besar menginjak dada ane tanpa ampun. Tubuhnya tinggi besar sehingga wajahnya tidak terlihat. Serba hitam, apakah itu karena warna kulit atau bulunya? Ane tidak memperhatikan, karena tidak bisa bernapas.

Ane teriak berusaha memanggil teman-teman lain yang sedang bermain. Tetapi tidak keluar suara sama sekali. Tiada satupun teman yang menoleh. Entah berapa detik mengalami itu, ane membaca ayat-ayat suci sebisanya.

Untungnya taklama pernapasan terbuka kembali. Segera ane menghambur kepada teman-teman yang keheranan. Setelah minum, ane cerita, ada makhluk di gedung bertingkat yang menginjak dada.

Satu teman merasa punya "kelebihan" dan berusaha menenangkan. Dengan pelan-pelan kami berempat mendekati gedung. Teman ane berkomat-kamit membaca doa-doa pengusir hantu. Cukup lama, ia merapalkan semua pengetahuannya. Waktu sudah menjelang magrib, terdengar suara ngaji dari masjid.

Taklama kemudian, sepasang sosok bertubuh besar, serba hitam dari mulai kaki sampai wajah, dan bermatamerah. Apakah giginya bertaring atau tidak, bukan menjadi perhatian kami. Karena itu kami, empat remaja sok tahu, tunggang-langgang berlarian sambil berteriak-teriak. Rasanya makhluk-makhluk hitam itu terbang mengejar sampai ke jalanan.

Demikian kerasnya teriakan, warga sekitar keluar dari rumah. Kami terengah-engah terduduk di rumah warga, pucat ketakutan, dan tidak bisa ngomong. Setelah reda, yang butuh waktu lumayan lama, barulah salah seorang dari kami bisa bercerita.

Dari keterangan warga yang sudah lama tinggal di sana, memang bangunan bertingkat itu angker dan ada penunggunya. Mereka telah ada sebelum bangunan baru itu berdiri, ketika masih berupa gedung tua peninggalan kolonial Belanda. Pada hari tertentu, tercium bau wangi dan bau kentang rebus yang, kata warga, mencirikan adanya genderuwo beterbangan di sekitar bangunan.

Mungkin tadi mereka terganggu dengan bacaan dari teman ane, sehingga marah dan mengejar-ngejar. Seorang sepuh berkata, jika ilmunya nanggung jangan coba-coba mengusir mereka. Biarkan sosok tidak kasat mata itu ada di wilayahnya. Memang sampai hari ini gedung bertingkat tersebut tidak diisi, meskipun kondisinya terawat. Kamipun kapok bermain ke sana lagi.

Cuman yang menjadi misteri sampai sekarang, siapakah yang menginjak dada ane sampai tidak bisa bernapas? Benarkah makhluk berbadan hitam bermatamerah dan bisa terbang itu adalah genderuwo? Kalau iya, apakah mereka bisa menyakiti selain menakut-nakuti?