gilbertagung
TS
gilbertagung
Ketika Politik Bersentuhan dengan Sepakbola (Bagian II)

Pada 13 September lalu, saya telah merangkum berbagai kisah persentuhan antara politik dan sepakbola. Ternyata, masih ada lagi kisah serupa dalam sejarah si kulit bundar. Apa sajakah itu?

Klik gambar untuk menuju sumber gambar

Mussolini Membantu Gli AzzurriJuara Dunia

Skuad Italia di Piala Dunia 1934.

Italia mendapat kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 1934. Hal ini tak disia-siakan oleh Benito Mussolini. Il Duce ingin memanfaatkan ajang 4 tahunan ini untuk memamerkan kehebatan fasisme Italia.

Piala Dunia ini pun dipersiapkan dengan matang. Dana 3,5 juta lira dikucurkan untuk persiapan. 8 kota dipilih Mussolini sebagai penyelenggara : Bologna, Firenze, Genoa, Milan, Napoli, Roma, Trieste, dan Turin.

Ia pun memberi insentif agar rakyat Italia berbondong-bondong menyaksikan pertandingan dengan tiket kereta api gratis untuk menuju stadion dan tiket masuk murah.

Tak hanya sampai di situ, pemilihan anggota timnas pun tak luput dari intervensi Mussolini. Berkat kebijakan kewarganegaraan ganda, pelatih Vittorio Pozzo dapat memanggil 5 pemain oriundi (pemain keturunan Italia yang menetap di negara lain) dari Argentina dan Brazil seperti Enrique Guaita dan Luis Monti. Untuk memanggil mereka, Pozzo menyamakan tugas membela timnas Italia ini dengan wajib militer. Tak ketinggalan pula legenda Italia, Giuseppe Meazza, juga memperkuat Gli Azzurri.

Kiprah Italia pun terbilang mulus. Pada babak pertama tanggal 27 Mei 1934, mereka membantai Amerika Serikat 7-1. Pada 31 Mei, Italia ditahan imbang Spanyol 1-1. Pada laga ulangan keesokan harinya, Italia menang 1-0. Pada 3 Juni, Italia menghempaskan wunderteam Austria 1-0 di semifinal. Puncaknya, Italia mengalahkan Cekoslovakia 2-1 lewat perpanjangan waktu pada final tanggal 10 Juni. Italia menjadi juara dunia.

Namun, kemenangan Italia ini diwarnai isu kecurangan. Malam sebelum final, Mussolini mengundang Ivan Eklind, wasit Swedia yang ditunjuk memimpin laga final, untuk makan malam. Eklind diduga telah disuap oleh Mussolini untuk menguntungkan Italia.

Vincere o Morire

Mussolini menyambut skuad Italia di Palazzo Venezia, Roma, setelah kemenangan di Piala Dunia 1938.

Mussolini ingin Italia mempertahankan gelar juara dunia pada edisi 1938 untuk menepis dugaan kecurangan dan bahwa Italia menang hanya karena jago kandang.

Skuad Vittorio Pozzo kali ini tak lagi diperkuat pemain oriundi. Hanya Giuseppe Meazza dan Giovanni Ferrari yang merupakan veteran 1934. Selebihnya adalah pemain muda. Skuad ini pun berangkat ke palangan kulit bundar di Prancis pada 1938.

Berbeda dengan biasanya, Italia tampil dengan seragam hitam-hitam, warna khas Partai Fasis Italia. Mereka juga melakukan salam hormat ala fasis yang diadaptasi dari salam hormat ala Romawi.

Pada pertandingan pertama di Marseille pada 5 Juni, Italia sukses mengatasi Norwegia dengan kemenangan tipis 2-1. Pietro Ferraria membawa Italia unggul cepat pada menit ke-2 namun disamakan oleh Arne Brustad pada menit ke-83. Kemenangan ditentukan oleh Silvio Piola pada menit ke-94, pada babak tambahan. Brustad sempat menambah gol beberapa menit setelah gol pertamanya, namun dibatalkan karena offside.

Italia lalu sukses menyingkirkan tuan rumah Prancis di perempatfinal pada 12 Juni di Colombes, Paris. Gol Gino Colaussi pada menit ke-9 langsung diimbangi Oscar Heisserer semenit berselang. 2 gol Piola pada menit ke-51 dan ke-72 menjadi pembeda.

Di semifinal tanggal 16 Juni di Marseille, Italia mengalahkan Brazil dengan skor 2-1 dengan gol Colaussi pada menit ke-51 plus gol penalti Meazza pada menit ke-60. Brazil yang tidak memainkan bintangnya, Leônidas, hanya bisa membalas lewat gol Romeu Pellicciari pada menit ke-87.

Partai final berlangsung pada 19 Juni di Colombes, mempertemukan Italia dan Hongaria. Mussolini mengirimkan pesan telegram kepada skuad Italia. Isinya : Vincere o morire!, menang atau mati!

Italia sendiri akhirnya menang 4-2. Coalussi dan Piola masing-masing menyumbangkan 2 gol. Menanggapi kekalahan timnya, kiper Hongaria, Antal Szabo, mengaku tak menyesalinya. “Saya mungkin membiarkan terjadinya empat gol ke gawang saya, namun setidaknya saya menyelamatkan nyawa mereka", ucapnya seperti dikutip oleh Diane Bailey dalam Great Moments in World Cup History.

Terdapat bantahan bahwa pesan telegram dari Mussolini tersebut adalah sebuah ancaman. Menurut Bailey, ungkapan "Menang atau mati!" tersebut hanyalah cara yang ekstrem untuk mengatakan "Lakukan yang terbaik". Pada 2001, Pietro Rava, salah satu anggota timnas Italia pada Piala Dunia 1938, juga memberikan bantahan. Kepada Simon Martin dari The Guardian, dia menyatakan bahwa telegram itu dikirim untuk mendoakan mereka, bukan ancaman menang atau mati.

Setelah juara, mereka diundang oleh Mussolini ke Palazzo Venezia di Roma. Masing-masing pemain dihadiahi bonus 8.000 lira dan sekeping medali emas fasis.

Thatcher vs Hooligan Inggris

Margaret Thatcher, Perdana Menteri Britania Raya era 1979-1990, merupakan sosok antagonis sekalipun pemicu kebangkitan bagi dunia sepakbola Inggris.

Pada 1980-an, sepakbola Inggris sedang mengalami masa suram. Bukan karena prestasi klub yang jeblok di kancah Eropa - 4 dari 10 edisi Piala Champions pada dekade tersebut dimenangi klub Inggris - namun karena ulah hooligan yang sering terlibat kerusuhan antara dua kubu supporter dan menimbulkan kerusakan.

Puncak gunung es dari fenomena ini adalah Tragedi Heysel pada partai final Piala Champions 1984/1985. 32 fans Juventus dan 7 orang lainnya tewas dalam insiden yang melibatkan fans Liverpool dan Juventus tersebut. Akibat dari peristiwa tersebut, klub-klub Inggris dilarang tampil di kompetisi Eropa selama 5 musim. Khusus untuk Liverpool, larangannya berlangsung 8 musim (kemudian dikurangi menjadi 6 musim).

Perdana Menteri Britania Raya kala itu, Margaret Thatcher, mendukung keputusan UEFA tersebut dengan argumen bahwa sepak bola Inggris perlu dibersihkan dulu dari hooliganisme sebelum kembali pentas di Eropa. Thatcher juga mewajibkan fans untuk membawa kartu khusus sebagai pengenal untuk masuk stadion. Thatcher sendiri dikenal memiliki hubungan yang tak bagus dengan dunia sepakbola. Ia menganggap fans sepakbola sebagai biang rusuh dan meremehkannya. Ini sejalan dengan pandangannya yang antipati terhadap kelas pekerja, mayoritas fans sepakbola. Konon, Sir Alex Ferguson juga membenci Thatcher lantaran kebijakannya yang menyengsarakan pekerja dan ibunya yang meninggal pada November 1986 setelah dirawat di rumah sakit dengan kondisi suram, yang menurutnya karena pengelolaan sistem kesehatan yang tak bagus oleh Partai Konservatif.

Antipati ini kembali ditujukan pada saat terjadinya Tragedi Hillsbourough pada pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest di Stadion Hillsbourough, markas Sheffield Wednesday, pada 15 April 1989. Thatcher menuding fans Liverpool yang mabuk dan tak bertiket sebagai biang kerusuhan. Namun, kemudian terungkap bahwa kelalaian polisilah yang menyebabkan kerusuhan yang menewaskan 96 orang tersebut.

Sikap antipati ini pula yang membuatnya tak mendapat penghormatan sama sekali dari dunia sepakbola Inggris saat ia wafat pada 8 April 2013.

Namun, kebijakan Thatcher yang pro pasar bebas juga memberi dampak positif bagi dunia sepakbola Inggris. Karena merasa pembagian keuntungan hak siar oleh FA yang tidak adil, 5 pimpinan klub besar Inggris - Arsenal, Everton, Liverpool, Manchester United, dan Tottenham Hotspur - bernegosiasi dengan swasta untuk menciptakan format baru kompetisi kasta tertinggi Inggris dengan pembagian hak siar yang lebih menguntungkan. Sky yang dimiliki Rupert Murdoch tertarik dengan konsep tersebut dan lahirlah Liga Primer Inggris pada 1992. Liga Inggris yang awalnya tidak setenar Liga Italia kini menjadi liga termashyur sejagat.

Jenderal Franco dan Rivalitas Barcelona-Real Madrid

Fransisco Franco memberikan trofi Piala Champions kepada kapten Real Madrid, Miguel Muñoz, setelah Madrid mengalahkan Fiorentina dengan skor 2-0 pada final Piala Champions 1956/57 di Stadion Santiago Bernabeu, 30 Mei 1957. Madrid menjuarai Piala Champions 5 kali beruntun dari 1956 hingga 1960.

Fransisco Franco naik menjadi penguasa Spanyol pada April 1939 setelah kubu nasionalis pimpinannya memenangi Perang Saudara Spanyol melawan kubu republik beraliran kiri. Franco mengutamakan persatuan nasional dan menekan segala bentuk identitas kebangsaan regional. Ini pun berujung pada represi terhadap budaya etnis non-Hispanik di Spanyol seperti Basque dan Katalan. Pengaruh rezim Franco juga terasa hingga ke sepakbola.

FC Barcelona adalah klub yang identik dengan identitas bangsa Katalan. Akibatnya, Barcelona ikut mengalami penindasan oleh rezim Franco. Pada Januari 1940, mereka harus berganti nama dari Football Club Barcelona menjadi Barcelona Club de Fútbol, sesuai namanya dalam bahasa Spanyol dialek Castilla. Klub lain di Spanyol juga mengalami hal serupa.

Meskipun Franco sejatinya menggemari Athetlic Bilbao - yang ironisnya adalah klub yang identik dengan bangsa Basque - ia memutuskan memberikan dukungan pada klub ibu kota, Real Madrid. Tetangganya, Atletico Madrid, juga mendapat dukungan serupa.

Salah satu kejadian paling kontras terjadi pada leg kedua semifinal Copa del Generalísimo antara Barcelona dan Real Madrid pada 13 Juni 1943. Barcelona membawa kemenangan 3-0 di Les Corts pada pertandingan 13 Juni 1943 saat bertandang ke markas Madrid, Estadio Chamartín. Beberapa anggota skuad dan kepelatihan Barcelona mengaku diintimidasi oleh aparat keamanan sebelum kick-off. Menurut Richard Fitzpatrick dalam El Clasico Barcelona v Real Madrid: Football’s Greatest Rivalry, Direktur Keamanan Negara, José Finat y Escrivá de Romaní, masuk ke ruang ganti Barcelona dan berkata "Jangan lupa. Bahwa beberapa dari kalian masih bisa bermain hanya karena kemurahan hati pemerintah (Franco) yang telah memaafkan kalian karena kurangnya rasa patriotisme". Saat turun minum pun, mereka yang hendak menolak melanjutkan pertandingan mendapat ancaman : Kembali ke lapangan atau kalian semua dipenjara!

Mereka juga mendapat sambutan tidak ramah dari fans Madrid akibat sebuah pemberitaan yang melebih-lebihkan kelakukan fans Barcelona, yang menyulut emosi fans Madrid. Apalagi, Perang Saudara Spanyol baru berakhir 4 tahun sebelumnya. Fans Madrid pun memberikan intimidasi tambahan dengan siulan peluit. Pada leg pertama, fans Barcelona juga melakukan hal serupa.

Pemain Barcelona yang ditekan sedemikian rupa pun tak bisa bermain maksimal. Madrid pun leluasa menggempur Blaugrana. Akhir babak pertama saja, Madrid sudah unggul 8-0. Pada babak kedua, Madrid menambah 3 gol. Satu-satunya gol Barcelona dicetak Mariano Martín pada menit ke-89. Menang 11-1, Madrid pun lolos ke final dengan agregat 11-4 namun akhirnya kalah 1-0 dari Bilbao di final.

Setelah pertandingan tersebut, Barcelona dan Real Madrid didenda 2.500 peseta oleh RFEF. Presiden Barcelona, Enrique Piñeyro Queralt, seorang loyalis Franco, mengundurkan diri.

Franco sendiri menggunakan sepakbola sebagai cara menggerakkan kebanggaan nasional sekaligus meredam sentimen etnis Katalan dan Basque. Mereka bebas menunjukkan identitas kebangsaan mereka di dalam stadion, namun tidak di luar stadion.

Real Madrid di awal rezim Franco pun awalnya terseok-seok. Gelar juara liga didominasi Barcelona, Atheltic Bilbao, dan Valencia. Semua berubah pada 1955.

Spanyol selepas Perang Dunia II adalah negara miskin dan dikucilkan oleh komunitas internasional. Memasuki 1955, Spanyol mulai membuka diri dan bergabung dengan PBB. Untuk memoles citra Spanyol, Real Madrid pun digunakan sebagai alat. Dukungan finansial dari rezim Franco memungkinkan Madrid mendatangkan pemain-pemain macam Ferenc Puskas dan Alfredo di Stefano. Televisi juga digunakan untuk menciptakan pencitraan yang baik untuk Los Blancos. Madrid pun menjadi tim yang kuat di pentas Eropa. Madrid memenangi 6 gelar Piala Champions selama masa kekuasaan Franco. 5 gelar pertama secara beruntun (1955/56 sampai 1959/60) dan 1 gelar lagi pada 1965/66.

Rivalitas Barcelona-Real Madrid yang tumbuh berkembang di era Franco ini pun terbawa hingga sekarang. Madrid menolak stadion Santiago Bernabeu menjadi tempat penyelenggaraan final Copa del Rey 2011/2012 dan 2014/2015 yang mempertemukan Athletic Bilbao dan Barcelona. El Clasico antara keduanya masih merupakan laga panas sarat gengsi.

Diancam Presiden, Korea Selatan Lolos ke Piala Dunia 1954

Korea Selatan vs Jepang, 1954.

Selepas berakhirnya Perang Korea pada 1953, Korea Selatan dalam kondisi porak poranda. Butuh cara agar kebanggaan nasional dapat kembali. Sepakbola menjadi salah satu jalan yang dipilih.

Pada kualifikasi Piala Dunia Swiss 1954, Korsel bertemu dengan Jepang. Taiwan sebenarnya juga ikut namun mengundurkan diri. Baru 9 tahun sebelumnya, Korea dibebaskan dari genggaman Jepang. Pertandingan ini pun bukan sekadar pertandingan, namun juga pertarungan harga diri bangsa.

Untuk memecut moral, Presiden Korsel, Syngmann Rhee, disebut-sebut sampai mengancam akan menceburkan seluruh skuad Korsel ke laut apabila kalah dari Jepang.

Korsel sebenarnya menjadi tuan rumah terlebih dahulu. Namun, Rhee menolak mengizinkan skuad timnas Jepang masuk ke Korsel. Akhirnya, kedua pertandingan berlangsung di Tokyo.

Pada laga pertama di Tokyo pada 7 Maret 1954, Pasukan Taeguk sempat tertinggal lewat gol Ken Naganuma pada menit ke-16. Korsel mencetak gol penyeimbang lewat Chung Nam-Sik pada menit ke-22. 4 gol berikutnya oleh Choi Kwang-Suk pada menit ke-34, Sung Nak-Woon ada menit ke-65, dan Choi Jung-Min pada menit ke-82 dan ke-85 mengunci kemenangan 5-1 untuk Korsel.

Pada pertandingan kedua 7 hari kemudian, Jepang berhasil menahan imbang Korsel 2-2. Chung Nam-Sik dan Choi Kwang-Suk mencetak gol Korsel. 2 gol Jepang dicetak oleh Toshio Iwatani. Korsel pun berhak lolos ke Piala Dunia 1954.

Namun, timnas Korsel tak mampu berbuat banyak di turnamen sesungguhnya. Mereka langsung digebuk raksasa dunia, Hongaria, 0-9 pads 17 Juni 1954 dan dihempaskan Turki 0-7 pada 20 Juni. Korsel pun pulang tanpa poin, tanpa mencetak gol, dan kebobolan 16 kali.

Korsel harus menunggu sampai tahun 1986 untuk dapat kembali tampil di Piala Dunia. Jepang sampai 1998.

Perang Yugoslavia Memberi Denmark Kesempatan Menjadi Juara

Denmark mengalahkan juara dunia, Jerman, di final Piala Eropa 1992.

Pada 1991, Yugoslavia dilanda perang saudara. Etnis Slovenia, Kroasia, dan Bosnia ingin merdeka dan membentuk negaranya sendiri namun pemerintahan Yugoslavia di Belgrade tak mengizinkan. Pecahlah perang di negeri selatan Eropa tersebut.

Imbas dari hal tersebut, timnas Yugoslavia yang sebenarnya lolos ke Piala Eropa 1992 sebagai juara Grup 4 didiskualifikasi oleh UEFA pada 31 Mei 1992, sejalan dengan sanksi Perserikatan Bangsa-bangsa terhadap Yugoslavia. Padahal, timnas Yugoslavia sudah berada di Swedia. Sebagai gantinya, Denmark yang menjadi runner-up grup pun tampil (saat itu hanya juara grup kualifikasi yang lolos ke Piala Eropa).

Pada fase grup, Denmark yang tidak diunggulkan beradu dengan Prancis, Inggris, dan tuan rumah Swedia. Pada 11 Juni, Denmark ditahan imbang Inggris tanpa gol. Pada 14 Juni, Denmark kalah 0-1 dari Swedia dan berada di ujung tanduk. Partai melawan Prancis menjadi penentuan. Mereka harus mengalahkan Prancis, sembari berharap Swedia mengalahkan Inggris. Denmark mencetak gol terlebih dahulu lewat Henrik Larsen pada menit ke-8. Striker Les Blues, Jean-Pierre Papin menyamakan skor pada menit ke-60. Namun, gol Lars Elstrup pada menit ke-78 berhasil mengunci skor 2-1 untuk kemenangan Denmark. 2 poin untuk Tim Dinamit, serta kemenangan Swedia 2-1 atas Inggris, membawa mereka ke semifinal sebagai runner-up.

Di semifinal, mereka bertemu juara bertahan, Belanda. Larsen membawa Denmark unggul 1-0 pada menit ke-5, lalu diimbangkan oleh Dennis Bergkamp pada menit ke-23, lalu Larsen mencetak gol lagi pada menit ke-33. Namun, Frank Rijkaard kembali menyeimbangkan skor 4 menit sebelum waktu normal habis. 2 babak perpanjangan waktu tak juga menghasilkan gol tambahan. Penentuan pun dilakukan lewat adu penalti. 5 eksektor Denmark sukses menjalankan tugas. Kegagalan Marco van Basten menaklukkan Peter Schmeichel menjadi pembeda. Denmark pun lolos ke final.

Pasukan Richard Møller Nielsen menghadapi juara dunia, Jerman, di partai pamungkas. Di luar dugaan, Denmark membungkam Der Panzer 2-0 lewat gol John Jensen (menit ke-18) dan Kim Vilfort (menit ke-78). Denmark pun menjadi juara Piala Eropa 1992. Gelar ini terasa spesial karena ini adalah satu-satunya gelar internasional Denmark, selain gelar juara Piala Raja Fahd (Piala Konfederasi) yang direngkuh pada 1995.


Demikian thread dari saya kali ini. Politik dan sepakbola sudah menjadi dua hal yang tak terpisahkan, terlepas dari usaha untuk memisahkan keduanya. Bagaimana pendapat Anda? Sampaikan di kolom komentar.
Diubah oleh gilbertagung 31-10-2020 10:18
nohopemiracleagusrezapratam4indramamoth
indramamoth dan 38 lainnya memberi reputasi
39
5.2K
63
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
icon
6.5KThread10.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.