serbaserbi.com
TS
serbaserbi.com
Ketika Hewan Peliharaan Lebih Berharga Daripada Anak


KRUCIL DAN BURUNG WALET
By: Serbaserbi.com

***

Kupercepat langkah, meninggalkan kebun jagung menuju rumah. Azan maghrib sudah bertalu dari toa masjid. Seharian sibuk memandori para petani di kebun, benar-benar membuatku lupa waktu. Bagaimana tidak? Panen kali ini sangat melimpah! Aku pun amat sibuk dibuatnya.

Dari kebun, aku terus berjalan melewati kebun kakao, nanti tembusnya di belakang rumah--dekat kandang ayam potong yang cukup besar. Ya, cuma mau memberi tahu, selepas lulus SMK Pertanian Peternakan (SMK PP) Padang Mengatas, aku tak lanjut kuliah. Biasa, faktor ekonomi. Jadilah aku berkebun dan berternak, mengaplikasikan ilmu di SMK dulu. Hasilnya? Ya, seperti sekarang ini! Cukup memuaskan!

Menit-menit berlalu, tibalah aku di belakang rumah. Lekas kulepas sarung tangan dan sepatu bot, lantas mencuci kaki dan tangan di kran kecil di bawah batang jambu. Asyik bersih-bersih, tiba-tiba mataku menangkap sosok kerdil berdiri tak jauh dariku. Tepatnya, di belakang rumah tetanggaku yang penuh belukar.

Aku cukup waswas, kalau ternyata itu adalah binti-binti--hantu kerdil dengan tumit menghadap ke depan. Namun, setelah diperhatikan, itu adalah Krucil--anak tetanggaku.

Aku menutup kran, kemudian melangkah ke pintu belakang. Namun, aku tak langsung masuk. Melainkan berhenti sejenak, memerhatikan Krucil yang berdiri di antara semak-semak dengan bibir bercuit, menirukan suara burung. Beberapa kali bocah berbaju lusuh itu menggesekkan kakinya ke betis. Mungkin gatal digigit nyamuk.

"Ngapain, Cil?" tanyaku, melepas rasa penasaran.

"Eh, Om Dude." Krucil menoleh. "lagi nyari burung, Om."

"Nendeeeh, bocah!" seruku. "Masuk sana! Udah magrib! Ntar dimarahin bapak baru tahu! Udah tau bapaknya galak, masih aja bandel!"

Aku mengomel, tapi bocah itu sama sekali tak peduli. Dasar badung! Padahal bapaknya, Bang Tohir, galaknya minta ampun! Anaknya salah sedikit, bisa merah-biru kena pukul. Kadang ditampar, ditendang, kadang pula dipecut.

Ngeri!

Info saja, rumah yang keluarga Tohir huni adalah rumahku dahulu. Karena ada sedikit rezeki, aku membangun kediaman baru--yang agak besar--di sampingnya--sedangkan rumah lama dikontrakkan. Dan, keluarga Tohirlah pengontraknya.

Dinding sampai samping rumah itu menempel dengan rumahku yang sekarang. Jadi, aku bisa mendengar jelas ketika Pak Tohir merah-marah kepada Krucil.

"Cil!" Kali ini suaraku agak keras. "Masuk!"

Bocah itu masih tak acuh. Bibirnya malah makin lantang menirukan suara burung.

"Oi! Ntar bapakmu marah, elaah!" cecarku agak kesal.

Mendadak Krucil diam. Lalu menekuk wajahnya. "Kalau aku masuk, bapak bakal marah, Om." Akhirnya Krucil bersuara.

"Lha? Kenapa memang?" tanyaku.

"Tadi, Ucil tak sengaja lepasin burung walet peliharaan bapak. Bapak marah. Lalu nyuruh Ucil buat nangkep burung itu lagi. Kalau belum dapat, Ucil gak boleh masuk."

Aku membisu mendengar jawaban bocah kurus itu. Bukan rahasia lagi memang, kalau Pak Tohir sangat suka memelihara burung. Mengingat pria berotot itu adalah ayah yang kasar dan suka main tangan, aku tak dapat membayangkan, hukuman apa yang akan ia voniskan pada Krucil.

Aku menghela napas. Sungguh aku bingung, mau membantu bagaimana pada bocah ini. Jujur saja. Aku malas berurusan dengan bapaknya. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke rumah saja. Segera berbersih diri, sebab azan Magrib sudah lewat sejak tadi.

***

Aroma masakan Ibuk benar-benar menggugah selera. Habis baca Quran, aku bergegas melipat sajadah, lantas menyusul Ibuk dan Bapak ke meja makan.

Ibuk menyendokkan nasi ke piring Bapak. Kemudian ke piringku. Lalu baru ke piringnya sendiri. Setelahnya, kami ambil lauk masing-masing. Kupilih semur jengkol yang memang menu favoritku. Detik berlalu, kami pun makan malam dengan nikmat.

"Ampun, Pakk!"

Suapanku terhenti. Terdengar jeritan Krucil dari rumah sebelah. Ah, pasti burung walet tadi tidak berhasil ditangkapnya.

Aku, Ibuk, dan Bapak hanya saling pandang, sambil terus mengunyah makanan lamat-lamat.

Kuurut dada pelan, ketika kegaduhan makin menjadi-jadi di rumah tetanggaku itu. Kali ini, bentakan berang Pak Tohir mulai ditingkah omelan Buk Tohir. Suara lemparan--yang kutaksir adalah barang dapur--menambah gaduh suasana. Yang paling menyakitkan, jeritan Krucil yang menyayat hati.

Entah diapakan bocah kurus itu oleh Ayahnya! Aku sendiri tak sanggup membayangkan.

"Ndak tau diuntung kamu! Anak bala¹! Bisa kamu itu hanya menghabiskan! Ndak pernah menambah! Bikin susah saya! Dasar kabau²!"

Sumpah serapah Pak Tohir, begitu menusuk hati. Aku saja yang cuma mendengarkan--tepatnya menguping--ikut jengkel karenanya.

"Ampun, Pak! U-ucil gak ulang lagi!" Itu tangisan si malang, Krucil.

Kami semua terperanjat, mendengar suara pukulan bertubi, diiringi pekikan Buk Tohir makin menjadi.

"Itulah kamu! Nakal terus! Bandel terus! Jelas-jelas walet itu kesayangan bapakmu, malah kamu lepaskan!" Itu ratap Buk Tohir.

Aih, dapat kurasakan nada putus asa dari suaranya.

"Ini gara-gara kamu gak bisa urus anak! Anak ngapain aja, cuma diliatin doang, gak diajarin!"

Kemudian, suara gaduh makin membabi buta. Caci maki antara suami istri.

Aku bukan hendak menguping, tapi sekali lagi, rumah kami yang sangat dekat, membuatku dan keluarga, mau tak mau harus mendengar perselisihan itu.

Kutarik napas dalam-dalam, lalu kutegak habis segelas air putih. Selera makanku hilang seketika.

Sebenarnya, hampir tiap hari keluarga Tohir ribut-ribut begini. Namun, ini yang paling parah. Mungkin, karena sekarang ada hubungannya dengan burung walet kesayangan Pak Tohir.

"Ya Allah!" Ibukku terperanjat sambil menutup mulut. Bapak yang sejak tadi diam, ikut terkaget karenanya. Apalagi aku.

Bagaimana tidak? Jelas terdengar bunyi sesuatu diantukkan ke dinding. Berkali-kali dan keras sekali. Bunyi itu diiringi pekikan Krucil yang menggema di langit malam. Juga tangisan histeris Buk Tohir.

"Mati sajalah, Kabau!"

Astaghfirullah! Apa yang merasuki Pak Tohir?

Ah, aku takut dia berbuat sangat nekat. Jangan-jangan Krucil ....

Tak tahan lagi, aku bangkit dari kursi.

"Kemana, De?"

"Ke sebelah, Buk! Ini gak bisa dibiarkan. Bisa mati anak itu di tangan laki-laki tak berakal itu, nanti!" Dadaku sesak menahan emosi. Langsung saja aku bergegas ke luar rumah diikuti pula oleh Bapak.

Sesampainya di luar, rupanya ada beberapa tetangga yang melongok dari jendela mereka. Melihat aku dan Bapak, mereka pun kembali menutup jendela, dan menghampiri kami. Mungkin mereka juga penasaran dengan kegaduhan di rumah keluarga Pak Tohir.

"Pak! Assalamualaikum! Buka pintu!" teriakku. Kugedor pintu rumah Pak Tohir kuat-kuat.

Tak ada jawaban. Hanya saja, suasana mendadak lebih tenang. Tak ada sumpah serapah, hanya suara isak tangis.

"Pak, keluar!" seruku tidak sabar.

"Tohir, buka pintu! Apa yang terjadi di dalam sana?" Kali ini bapak yang bersuara. Dan beberapa tetangga lain pun menyahuti.

Hampir lima menit menanti, tapi tidak ada tanggapan. Terlintas di otakku untuk mendobrak pintu rumah ini. Toh, ini rumahku juga kan? Namun, sebelum itu terjadi, pintu sudah terbuka dan muncullah laki-laki tinggi besar itu.

"Ada apa ini?" sergah Pak Tohir.

"Bapak kalau tidak suka pada anaknya, ya sudah! Berikan saja pada saya, biar saya asuh!" cecarku penuh emosi.

"Maksud kamu apa?" Pak Tohir tampak tak suka ketika kutanya.

"Tak usah berkilah, Pak! Kami dengar dengan jelas ada ribut-ribut di sini!" Tetangga lain pun membenarkan ucapanku.

"Ikut campur aja kalian urusan orang! Pulang sana! Terserah mau ribut atau tidak! Kalian tak berhak tau!"

"Kami berhak tahu, Tohir," ucap Bapak. "Keributan keluargamu sudah mengganggu kenyamanan orang lain. Lagi pula, jika kami tidak bertindak, khawatir, anakmu itu malah mati di tanganmu malam ini. Bukankah kekerasan dalam rumah tangga adalah tindakan kriminal?

Pak Tohir tetap mengelak. Ia melangkah mundur, dan berusaha menutup pintu. Aku yang sudah menduga ini akan terjadi, dengan sigap berhambur ke arahnya. Lalu mengunci tubuhnya.

"Apa-apaan kau ini Babi?!" Pak Tohir memberontak. Aku pun kewalahan dibuatnya karena memang tenaga kami tidak sebanding. Namun, beberapa warga lain dengan sigap membantu. Mereka menggantikan posisiku.

Berikut, kami menyaksikan pemandangan yang memprihatinkan, menurutku.

Krucil terisak di lantai, dengan kepala bersimbah darah. Di ubin putih itu, ada genangan darah, pecahan kaca, dan barang-barang lain yang berserakan. Bu Tohir terduduk di sofa. Matanya sembab dan darah mengalir dari telapak kakinya. Mungkin tadi ia tak sengaja menginjak beling.

Dadaku naik turun, sedih bercampur emosi. Tak menyangka, di dunia ini benar-benar ada ayah berhati setan seperti itu.

"Ini yang katamu tidak apa-apa, Pak? Sampai luka-luka begini?" berangku.

"Sudahlah, Dude. Kita lapor ke pihak berwajib saja." Bapak menyahut. Yang lain pun menimpali setuju.

Akhirnya, Bapak menghubungi polisi. Mungkin sepuluh menit lagi akan sampai. Sementara Pak Tohir, menatap kami dengan tatapan membunuh.

Aku membalas menatapnya tanpa gentar. Orang sepertinya memang harus mendapat ganjaran. Hak asasi manusia itu ada, bukan cuma pajangan saja dalam tata hukum. Jika para pelanggar asasi manusia ini dibiarkan saja, apakah kita sanggup melihat orang lain diinjak-injak haknya?

Aku menghela napas. Memandang iba pada Krucil dan ibunya.

***

Ditulis berdasarkan kisah nyata. Sebenarnya, banyak Tohir-Tohir lain di negeri ini! Yang tega memukul dan menyiksa anaknya, karena sang anak tak sengaja merusak barang kesayangannya. Boleh itu hewan pelihara, guci kesayangan, perkakas kerja, bahkan kadang selembar uang lusuh yang tak bernilai.

***

Glosarium :
Bala : sial, bencana.
Kabau : (umpatan) berarti kerbau.
Diubah oleh serbaserbi.com 30-09-2020 11:18
x.pong.ahnovaajinugrohotien212700
tien212700 dan 8 lainnya memberi reputasi
7
2.3K
33
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.