Astri.zeeAvatar border
TS
Astri.zee
Firasat kematian


Nagara memandang perempuan yang duduk di bangku taman itu. Lantas mendekat, berjongkok di depannya. “Jangan terlalu dipikirkan, itu cuma mimpi,” katanya.

“Tapi, kamu tau, kan, mimpiku yang kayak gitu udah sering jadi firasat,” ujar Nena. Selaput bening menghiasi netra. Napasnya tidak beraturan, efek dari emosi yang tertahan.

Lelaki yang memakai kaus loreng pres badan itu meraih jemari si perempuan. Menangkup dalam genggaman. “Gak akan ada yang tau takdir Tuhan, bahkan peramal paling hebat sekalipun, Sayang.”

Nena berdecak, berusaha melepas tangannya, tapi tidak bisa. “Kamu inget gak waktu Kity mati? Dua malem sebelumnya aku mimpi denger suara ambulans.”

Nagara menarik sudut bibir, sedikit menahan tawa. “Kamu nyamain aku dengan kucing?”

“Kamu jelas tau bukan itu maksudku!” ujar Nena ketus. Dia melengos, enggan berbagi tatap dengan pemuda itu.

“Iya, Sayang, aku ngerti kok. Jangan ngambek dong!” tangannya terulur ke sisi wajah Nena, memaksanya kembali saling berhadapan.

“Kamu tuh gak ngerti, Ga.” Nena masih bersikeras. Lantas dia mengingatkan lagi tentang kecelakaan yang dialami ayahnya. Sehari sebelumnya dia pun bermimpi suara ambulans yang begitu nyata. Entahlah, Nena merasa itu semacam firasat buruk yang patut dikhawatirkan.

Sialnya, semalam dia memimpikan hal yang sama. Semenjak bangun pikirannya sudah tidak tenang, dipenuhi berbagai bayangan negatif. Menebak, apa gerangan yang akan terjadi.

Lalu ketika lima belas menit lalu Nagara mengatakan tentang operasi militer yang baru, Nena tahu untuk siapa firasat itu. Sontak dia dibuat semakin cemas. Tidak rela melepas kepergian Nagara.

“Kamu minta saja cutinya diajukan. Kita nikah bulan ini saja,” usul Nena. Mereka memang akan menikah dua bulan lagi. Semua persiapan nyaris 90 persen rampung.

Kali ini Nagara tidak mampu menyembunyikan senyum lebarnya. “Duh, kesayangan aku, udah ngebet banget, ya?” godanya, menjawil hidung perempuan berhijab biru itu.

“Ga, aku gak becanda, ya!” Namun, usaha Nagara untuk membuat Nena tersenyum tidak mempan. Perempuan itu justru terlihat semakin cemas. Jemari yang berada di genggamannya bahkan terasa dingin.

Nagara menghela napas, jika boleh jujur, sesungguhnya dia pun enggan berpisah dengan Nena, calon istrinya. Jika bisa, dia akan memilih menghabiskan waktu bersama sang pujaan hati. Andai mampu, dia ingin segera melangsungkan pernikahan itu, seperti kata Nena tadi.

Namun, sebagai seorang abdi negara dia mempunyai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Panggilan dari atasannya tadi pagi adalah perintah yang tidak bisa ditolak. Ada pergerakan di perbatasan yang disinyalir sebagai markas teroris. Dan sebagai seorang prajurit, melindungi negara adalah prioritas. Dia tidak mungkin menolak, kan?

“Aku tahu,” ucap Nagara, serius. “Rasa cemas itu manusiawi, Nena. Tapi, bukankah kita harus selalu berpikir positif pada Tuhan, hm?”

Nena menelan ludah kelat. Kerongkongannya seperti terganjal batu besar, mencipta sakit dan sesak. “Tapi aku takut, Ga.” Satu tetes cairan bening lolos, mengaliri pipi. “Aku takut ini akan jadi saat terakhir kita bersama.”

Nagara mengusap air mata Nena dengan ujung jempol. “Aku gak bisa menjanjikan apa-apa, karena maut adalah rahasia Tuhan. Satu yang bisa kita lakukan, mari sama-sama berdoa, agar kita bertemu lagi ....” menjeda kalimat, Nagara menatap Nena lekat lantas kembali berucap, “Aku akan berusaha menjaga diri dan kembali untuk kamu ... untuk kita.”

***
Sorak-sorai kemenangan lantang terdengar dari para tentara berbaju loreng. Tidak sia-sia pengintaian mereka selama dua minggu ini. Para teroris yang sedianya akan melakukan serangan berhasil dilumpuhkan. Korban tentu saja ada, mereka yang gugur sebagai pahlawan bangsa.

“Wuih, calon pengantin kayaknya seneng bener, nih,” seloroh salah satu teman Nagara.

Nagara tertawa, mengamini perkataannya. Dia lantas melipir ke sebuah bukit di belakang barak. Dia butuh menyendiri saat ini. Ada hal penting yang harus dia lalukan.

Tarikan di sudut-sudut bibir yang membentuk lengkung bulan sabit jadi penguat penggambaran suasana hati saat ini. Dia lega. Pulang dengan selamat. Ya, ada beberapa luka, tapi itu tidak seberapa. Tidak berarti apa-apa dibanding kebahagiaannya.

Dia sudah tidak sabar memberitahu Nena tentang keselamatannya. Pun dia akan katakan jika firasat perempuan itu meleset kali ini. Dua minggu terakhir mereka nyaris tidak bisa berkomunikasi. Selain kesibukan, tempat terpencil yang dia datangi minim sinyal. Itulah kenapa, dia tidak buang-buang waktu sekarang. Rela menunda pesta kemenangan demi kekasih di seberang sana.

Debaran di dada mengentak lebih kuat ketika Nagara menempelkan ponsel di telinga. Nada sambung yang terdengar entah kenapa terasa lebih panjang.

“Assalamualaikum, Sayang ... Ibu?” Dahinya berkerut ketika yang tertangkap telinga justru suara ibunya Nena. “Nena di mana?”

Detik selanjutnya telinganya berdenging panjang. Tanah yang dia pijak seperti menyedot tubuhnya ke dasar. Gelap. Pekat. Sesak.

“Nena kecelakaan ....”

***

“Tapi aku takut, Ga ... aku takut ini akan jadi saat terakhir kita bersama.”

Bagaimana bisa sebuah firasat justru mendatangi orangnya langsung?

Bagaimana mungkin ... justru Nena yang merasakan semua kekhawatiran itu, sementara dia tidak?

Jika bisa memutar waktu. Jika bisa kembali ke masa dua minggu yang lalu, Nagara akan menuruti perkataan Nena. Ah ... dia bahkan rela kehilangan pekerjaannya.

Dia akan menemani calon pengantinnya, ke mana pun Nena ingin pergi. Termasuk untuk sekadar membeli paket quota. Sehingga kecelakaan itu tak harus terjadi.

Nagara terisak di samping gundukan tanah merah bertulis nama Nena Rahadi. Betapa takdir telah mempermainkannya. Membuatnya mencecap bahagia hanya sesaat. Untuk kemudian jatuh ke dalam jurang terdalam.

Dadanya sesak. Dunianya seolah mati. Tidak ada yang menyenangkan untuk diikuti. Tidak ada hasrat walau untuk sekadar berdiri.

“Nak, ayo pulang! Tidak baik menangisi yang telah pergi,” ucap ibunya Nena dengan suara tak kalah serak. Bukti jika wanita itu pun merasakan kesedihan mendalam.

Nagara menggeleng. Sebelah tangannya terjulur. Menyentuh nisan. Membayangkan wajah ayu Nena. Wajah yang membuatnya jatuh cinta pertama kali. Wajah yang membuatnya mampu berkomitmen dan berjanji untuk sebuah ikatan suci.

“Ikhlaskan Nena ... ikhlaskan, Nak, agar dia tenang di sana.” Wanita itu menyusut air mata yang lagi-lagi lolos.

Lelaki yang masih mengenakan seragamnya itu menoleh. Mendapati sepasang mata tua yang berkabut tebal, tapi tetap berusaha tegar. “Apa Ibu ikhlas?” tanya Nagara.

Lagi, cairan bening membanjir, mengalir sepanjang pipi wanita berhijab hitam itu. Segera diseka dengan ujung hijab. Dia mengangguk, “Ibu ikhlas, Ibu ikhlas. Bukankah sejatinya raga ini adalah hak-Nya?”

Seperti tertampar, Nagara perlahan tersadar. Siapa dia hingga berani menghakimi takdir? Siapa dia hingga dengan sombong ingin membalik waktu? Dia lupa jika Nena, ibunya, dan dia sendiri, adalah sepenuhnya hak mutlak Tuhan. Hak milik yang bebas diambil kapan saja.

Nagara menepuk pundak wanita yang sudah dianggap seperti ibu sendiri. Dalam hati berjanji akan menjaga selayaknya Nena, putrinya.

Tamat.


Sumber gambar: pinteres
senja87Avatar border
bleedingscreamAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
936
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.