si.matamalaikatAvatar border
TS
si.matamalaikat
Eurofighter Typhoon, Pesawat yang Lahir Dengan Diiringi Berbagai Macam Perselisihan
Eurofighter Typhoon, nama ini mungkin terdengar asing bagi pecinta militer di Indonesia. Biasanya para pecinta militer di Indonesia lebih akrab dengan nama Sukhoi atau pun keluarga F-Series. Nama Eurofighter Typhoon di Indonesia mulai dikenal saat Kemenhan yang dijabat Bapak Prabowo Subianto, berencana mengakuisisi pesawat ini dari Austria.

Sontak jagat dunia maya menjadi ramai, bahkan ada yang kelewat bersemangat dalam menanggapi berita ini. Padahal Indonesia bukan membeli pesawat baru, melainkan pesawat bekas pakai. TS akan bahas sedikit soal masalah ini di akhir tulisan nanti, sebelum membahas hal itu. TS akan jelaskan sejarah panjang lahirnya Eurofighter Typhoon, mari kita mulai pembahasannya bersama.



SEJARAH

Proyek pesawat ini pada awalnya muncul tahun 1979, digagas oleh BAE (Inggris) dan MBB (Jerman Barat), mereka membuat proposal European Combat Fighter. Masuk bulan Oktober 1979 pabrikan Dassault (Prancis) bergabung, dan proyek tiga negara dimulai dan diberi nama European Combat Aircraft (ECA), pada saat itu nama Eurofighter pertama kali digunakan.

Namun memasuki tahun 1981 Proyek ini berakhir karena beberapa hal, salah satu penyebabnya karena Prancis memaksa untuk menjadi pemimpin pada proyek ini. Selain itu Inggris menginginkan mesin RB199 yang digunakan untuk pesawat ini kelak, sedangkan Prancis lebih menyukai Snecma M88 .

Proyek ini pun kandas, kemudian perusahaan BAE dan MBB bekerjasama dengan Aeritalia (Itali), meluncurkan program baru bernama Agile Combat Aircraft (ACA), pada April 1982. Program ini menghasilkan pesawat pertama dari ACA yang diberi nama Experimental Aircraft Programme (EAP)pada 1983.




Ilustrasi Eurofighter Typhoon.

Sumber


Setelah muncul proyek ACA, Prancis kembali bergabung dengan konsorsium ini. Pada tahun yang sama Inggris, Prancis, Jerman, Itali dan Spanyol meluncurkan program Future European Fighter Aircraft (FEFA). Pesawat ini memiliki kemampuan take Off dan landing dengan jarak pendek (STOL) dan perang di luar jangkauan mata (Beyond Visual Range, (BVR)).

Tahun 1984 Prancis memasukan proposal barunya untuk pesawat versi kapal induk, dan menginginkan posisi sebagai pemimpin dalam program ini. Perselisihan pun mulai terjadi dan membuat Inggris, Jerman dan Itali memilih untuk keluar dari proyek ini dan memulai program EFA yang baru.

Di Turin pada 2 Agustus 1985, Itali, Jerman, dan Inggris sepakat melanjutkan proyek Eurofighter. Sementara Prancis dan Spanyol belum memutuskan keikutsertaan mereka pada proyek baru ini. Namun pada akhirnya Spanyol bergabung kembali pada tiga negara yang lain pada September 1985, meski sebelumnya mendapat tekanan dari Prancis. Kemudian secara resmi akhirnya Prancis mengundurkan diri dari Proyek Eurofighter dan melanjutkan proyeknya sendiri, yang kemudian dikenal dengan nama Dassault Rafale sampai saat ini.




Sumber


Pada tahun 1986 purwarupa yang diberi nama EAP terbang untuk pertama kalinya, pengembangan pesawat ini kedepannya akan menggunakan data dari EAP. Untuk pembelian awal adalah sebagai berikut: Inggris 250 pesawat, Jerman 250, Itali 165, dan Spanyol 100. Prosentase bagian produksi mengikuti jumlah pembelian: British Aerospace (33%), Daimler-Benz (33%), Aeritalia (21%), dan Construcciones Aeronáuticas SA (CASA) (13%).

Pada tahun 1986 didirikan Eurofighter Jagdflugzeug GmbH untuk pengembangan proyek pesawat ini, untuk mesin pesawat dibentuk suatu aliansi yang terdiri dari Rolls-Royce, MTU Aero Engines, Fiat Avio (sekarang Avio), and ITP untuk mengembangkan mesin EJ200. Proyek tersebut seluruhnya dikelola oleh NATO Eurofighter dan Tornado Management Agency.




Mesin EJ 200.

Sumber


Dalam masa pengembangan banyak sekali pertentangan dan perselisihan. Misalnya pada 1990 terjadi perdebatan besar dalam pemilihan radar. Inggris, Spanyol, dan Itali menginginkan ECR-90 (Ferranti Defence Systems). Sedangkan pihak Jerman menginginkan memakai radar MDS2000 (Hughes, GEC-Marconi, AEG). Namun polemik berakhir setelah Inggris menggaransi bahwa GEC boleh membeli Ferranti Defence Systems, sehingga membuat GEC tidak lagi mendukung pengembangan MDS2000.

Peter Weger yang menjabat kepala tes pilot Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) dapat menerbangkan purwarupa pertama pesawat ini, (dikenal sebagai Eurofighter EF 2000.) pada 27 Maret 1994 di Bavaria. Tahun 90-an banyak terjadi pertentangan hebat dalam pembangunan pesawat ini. Pertentangan itu meliputi banyak hal, seperti masalah pembagian pekerjaan, spesifikasi pesawat dan bahkan partisipasi tiap negara dalam proyek ini. Meski banyak perselisihan, pada akhirnya pesawat dari benua biru ini berhasil masuk ke produksi akhir.

Kontrak produksi mulai diberikan pada 1997, pembelian total adalah sebagai berikut: Inggris 232, Jerman 180, Itali 121, and Spanyol 87. Pembagian produksi pesawat kemudian juga dialokasikan menurut jumlah pembelian: British Aerospace (37%), DASA (29%), Aeritalia (19.5%), dan CASA (14%). Selain negara yang sudah disebut di atas, muncul 2 negara lain yang ikut membeli pesawat ini. Mulai dari Arab Saudi dan Austria, bisa dilihat pada data dibawah ini.

Quote:





Ilustrasi rancangan Eurofighter.

Sumber


Kontrak produksi resmi di tandatangani pada tanggal 30 januari 1998 antara Eurofighter GmbH, Eurojet dan NETMA. Pada tanggal 2 september 1998 upacara penamaan diadakan di Farnborough Inggris, diberi nama resmi Typhoon. Tetapi nama ini hanya untuk versi ekspor saja pada awalnya, nama ini ditentang oleh Jerman karena sama dengan nama pesawat Hawker Typoon. Salah satu pesawat pembom RAF waktu perang WW II dengan Nazi Jerman, kemudian diusulkan lagi nama Splitfirenamun ditolak lagi dengan alasan ada nama pesawat yang sama.

Sepertinya proyek ini memang selalu menghadirkan perselisihan, sampai masalah nama pun para negara pembuatnya tak pernah menemui jalan pikiran yang sama. Pada akhirnya nama Eurofighter dipakai oleh para negara pembuatnya, namun untuk versi ekspor, pesawat ini tetap memakai nama Typhoon dibelakangnya.




Sumber


Masuk September 1998, mulai masuk tahap untuk produksi 148 unit pesawat pada Tranche (tahap produksi) pertama. Pesawat produksi pertama mulai dikirim tahun 2003, pengadaannya relatif lama untuk sampai Tranche kedua, dimana tahap kedua selesai pada Maret 2008.

Pada bulan Oktober 2008, negara anggota Eurofighter mempertimbangkan untuk membagi 236 pesawat dalam Tranche ketiga menjadi dua tahap di bulan juni 2009. Kemudian pengembanhan dan pengiriman, dilakukan seacara bertahap setelahnya. Eurofighter menjadi proyek besar, biaya yang dihabiskan mencapai £7 milliar namun perkiraan realistisnya sekitar £13 milliar. Terdiri atas £3,3 miliiar biaya pengembangan plus £30 juta per pesawat.



Spesifikasi

Pesawat dibuat terdiri dari 70% komposit serat karbon, 15% metal, 12% Glass Reinforced Plastics (GRP, semacam fiberglass) serta 3% material lain. Material bahan komposit adalah salah satu keunggulan Typhoon, dimana materialnya ringan tapi kuat. Mampu memberi kestabilan saat terbang, serta mengurangi 30% bobot dari pesawat.

Meskipun bukan termasuk pesawat siluman, namun dengan material komposit ini, membuat Typhoon tidak mudah terdeteksi radar. Untuk mengurangi pancaran Radar Cross Section (RCS) terutama dari bagian depan, Eurofighter dibuatkan lubang jet yang menyembunyikan bagian depan mesinnya. Selain itu dibuatnya sayap kecil (canard) dibagian depan, memiliki tugas untuk menyapu penerimaan radar dari lawan.

Untuk kokpitnya, pilot mengendalikan pesawat melalui digital komputerisasi (fly by wire system), menyediakan karakteristik kontrol yang baik di setiap penerbangan. Sistem navigasi Typhoon melalui GPS dan sistem navigasi inersia. Menggunakan Instrument Landing System (ILS) untuk mendarat dalam cuaca buruk. Pesawat juga dilengkapi dengan sistem peringatan kedekatan tanah (TRN), sistem yang juga digunakan oleh Panavia Tornado.




Ilustrasi canard (sayap kecil didepan sayap utama).

Sumber

Pesawat juga dibekali Defensive Aids Sub-System yang canggih dan terintegrasi bernama Praetorian (sebelumnya disebut EuroDASS). Sistem ini bisa melindungi pesawat dari serangan udara ke udara serta serangan dari permukaan ke udara seacara bersamaan. Sistem ini termasuk Infra-Red dan radar peluru kendali, dengan memantau dan secara proaktif menanggapi seluruh wilayah lingkungan operasional.

Metode deteksi ancaman yang dibawa Typhoon termasuk Receiver Radar Warning (RWR), Sistem Peringatan Missile (MWS) dan Receiver Laser Warning (LWR, hanya digunakanTyphoon milik Inggris).

Untuk memperkuat pertahanan, Typhoon dibekali PIRATE infrared sensor dengan basis FLIR (Forward Looking Infra Red). Sensor ini adalah pelengkap untuk radar aktif dan sistem DASS (Defensive Aid Sub System). Sensor ini mendeteksi dan melacak target melalui hawa panas yang dipancarkan, dengan jangakuan mencapai 50 km. Sensor pasif ini dipasang pada bagian luar, dekat dengan kokpit pesawat.

Jika dalam suatu misi seorang pilot terpkasa harus mematikan sistem radar utama atau sewaktu-waktu terjadi kerusakan pada radar aktifnya, maka PIRATE akan menjadi back up dan bisa membantu pilot dalam situasi dog fight. PIRATE juga mengambil peran untuk mengarahkan tembakan meriam Mauser BK-27 kaliber 27 mm agar tepat sasaran. Selain itu PIRATE juga dapat mengambil peran dalam penembakan rudal ASRAAM atau AIM-9 Sidewinder.




Ilustrasi PIRATE yang dikasih tanda panah merah gan sist.

Sumber


Selain radar yang sudah ditulis diatas, pada Mei 2007 Eurofighter menggunakan CAESAR Demonstrator, merupakan pengembangan dari Euroradar CAPTOR (CAPTOR-E) digabung dengan teknologi AESA (Active Electronically Scanned Array). Produksi Versi radar CAPTOR-E disiapkan untuk tahap ketiga produksi Typoon mulai tahun 2012, dimana pada tahap kedua tidak menggunakan radar AESA, radar canggih ini berbasis komputer dengan jangkuan wilayah yang lebih luas. Radar AESA mulai digunakan pada tahun 2015.

Total pesawat ini memiliki panjang 15,96 meter serta lebar sayap 10,95 meter. Berat kosongnya 11.150 kg, serta berat isi 16.000 kg, maksimal berat lepas landasnya mencapai 23.500 kg. Sebagai pesawat multi peran, Typhoon dibuatakn hardpoint (cantelan) sejumlah 13, dengan rincian 4 cantelan dimasing-masing sayap serta 5 cantelan dibagian bawah badannya. Untuk misinya Typhoon bisa dibekali senjata sebagai berikut:

Quote:





Ilustrasi bagian hardpoint dengan berbagai jenis senjata.

Sumber


Dibekali mesin ganda Eurojet EJ 200, Typhoon mampu melaju pada kecepatan Mach 2 (2.124 km/jam), pada permukaan laut ia mampu melaju sampai Mach 1,2 (1.470km/jam). Typhoon memiliki daya jelajah sampai 2.900 km, dengan tanki eksternal jarak jelajahnya menjadi 3.790 km.

Untuk kursi pilotnya menggunakan tipe MK 16A yang 30% lebih ringan daripada kursi pelontar lainnya. Kursinya sudah terintegrasi On Board Oxygen Generation System (OBOGS) dan sistem komunikasi. Terdapat juga sabuk pengaman yang mudah untuk digunakan. Eurofighter juga sudah dirancang untuk proses air refueling alias pengisian bahan bakar saat sedang terbang.




Ilustrasi spesifikasi dengan gambar.

Sumber


Kemampuannya sendiri sudah setara dengan jet tempur generasi ke empat buatan negara lain mulai dari Dassault Rafale (Prancis), Gripen (Swedia), Su-27 (Rusia) dan F-16 (AS). Selain empat negara perancangnya. Pesawat ini juga dipakai oleh Arab Saudi, Oman, Kuwait serta Austria. Timur Tengah merupakan pasar potensial bagi Eurofighter, negara pimipinan Raja Salman menjadi salah satu pengguna terbanyak di Timur Tengah.

Untuk kawasan Asia Tenggara dan Selatan yang juga pasar potensial, pesawat ini kurang begitu diminati. Diwilayah tersebut negaranya kebanyakan memakai pesawat buatan Rusia dan AS, namun dengan berbagai inovasi yang ditawarkan. Bukan tak mungkin kedepannya Eurofighter akan membentangkan sayapnya menuju pasar Asia.


Bagaimana Dengan Typhoon yang Akan Dibeli Indonesia ?


Pertengahan tahun 2020 ini, jagad dunia maya dihebohkan dengan proposal pembelian pesawat bekas oleh Pak Menteri Pertahanan. Berita ini bukan ramai di Indonesia saja, tapi media lain didunia, termasuk media Austria (Kronen Zeitung) juga menyoroti pembelian pesawat bekas pakai ini.

Warganet Indonesia terkesan berlebihan dalam menanggapi kedatangan pesawat ini, bahkan ada yang terlalu berharap lebih padanya 'tanpa tahu spesifikasi yang sebenarnya'.

Sebagi penutup tulisan ini akan TS sajikan sedikit tipe pesawat yang kelak akan dibeli Indonesia jika jadi dibeli tentunya. Pesawat milik Austria adalah Tranche 1 alias produksi awal, dikenal juga sebagai Block 5. Dirakit tahun 2003, dan mulai datang ke Austria tahun 2007.




Sumber


Kedatangan pesawat ini diselimuti isu tidak sedap gan sist, masalah tersebut adalah korupsi. Awalnya Austria memesan 18 unit, namun pesanan mereka mendadak berubah menjadi 15 unit. Diduga ada indikasi korupsi yang melibatkan pihak Airbus DS sebagai pabrikannya.

Bulan Oktober 2013 pihak Austria ditawari upgrade ke Tranche 2 dan 3 yang akan dilakukan di Getafe, namun mereka menolak. Pada Juni 2017 justru mereka mengumunkan penjualan pesawatnya melalui skema jual beli antar pemerintah (government to government), untuk menghindari proses tender yang panjang dan mahal dengan pihak produsen. Dan negara yang berminat membelinya adalah Indonesia.

Typhoon bukanlah pesawat kaleng-kaleng, namun jika kita melihat milik Austria maka akan banyak fitur yang absen. Dikutip dari indomiliter.com (20/07/2020) fitur yang nanti tidak didapatkan Indonesia adalah tidak ada perangkat radar pasif IRST PIRATE, belum mengadopsi AESA dan belum terintegrasi dengan rudal udara ke udara (AIM -120 AMRAAM).

Typhhon Austria mengandalkan meriam Mauser 27 mm dan sepasang rudal udara ke udara jarak pendek IRIS-T. Namun Tranche 1 Austria juga sudah bisa membawa rudal udara ke udara (ASRAAM), rudal udara ke udara (AIM-9L Sidewinder) dan bom pintar berpemandu laser (Paveway II dan GBU-16). 




Sumber


Dilansir dari situs Aircraftcompare, Eurofighter Typhoon di Eropa dibanderol 58-70 juta dollar AS per unit. Untuk ekspor di luar Eropa, harganya mencapai 124 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,84
Triliun. Namun harga ini bisa dinego, mengingat Indonesia akan membeli 'pesawat bekas', maka harganya akan tergantung kesepakatan dua negara.

Dikutip dari nasional.kompas.com(22/07/2020), biaya operasional terbang per jam unit Typhoon mencapai 80.000 Euro (setara Rp 1,3 Miliar). Untuk negara tanpa musuh potensial seperti Austria, hal ini merupakan pemborosan. Meski pesawat ini masih bisa dipakai sampai 30 tahun lagi, namun Indonesia harus merogoh kocek lebih dalam untuk upgrade sistem radar dan senjata setiap pesawatnya menuju Tranche 2 dan 3. Proses pembelian ini juga masih terkesan 'maju mundur cantik', karena dua negara belum juga menemui kesepakatan soal harganya.

Demikian sejarah panjang lahirnya Eurofighter Typhoon dan sedikit tambahan mengenai rencana pembeliannya oleh Indonesia, semoga apa yang TS tulis bisa menambah wawasan kita semua dibidang alutsista modern. Bagi yang mau menambahkan informasi dari Typhoon, silakan nanti berkomentar dibawah. Sampai ketemu lagi dan jangan lupa tetap enjoy Kaskus emoticon-Angkat Beer



Referensi:1.2.3.4.5
Ilustrasi: google image
Diubah oleh si.matamalaikat 15-09-2020 15:21
BlueGuy.BuleGayAvatar border
nomoreliesAvatar border
BlueGuy.BanciAvatar border
BlueGuy.Banci dan 32 lainnya memberi reputasi
33
13.9K
144
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer dan Kepolisian
Militer dan Kepolisian
icon
2.2KThread2.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.