serbaserbi.comAvatar border
TS
serbaserbi.com
Di Antara Dua Makam
By: Diana Dee



Malam masih muda. Sementara di langit sana sudah sangat gulita. Awan mendung menggantung bergumpalan. Kemudian dari celahnya milyaran tetes air turun serentak. Jatuh sedikit demi sedikit, kemudian sangat deras, mengguyur apa saja yang dilaluinya.

Entah cuma perasaanku, tapi malam ini terasa agak lain. Ganjil. Dinginnya masih sama, tapi kali ini terasa lebih mencekam. Biasanya, hujan-hujan begini kawanan kodok di rawa dekat pohon beringin sana selalu berisik. Namun, entah kenapa kini mereka bungkam. Apa si Piton penguasa rumpun bambu telah memangsa mereka? Ah, semoga saja tidak!

Hujan masih berlanjut. Sekarang disertai kilat dan gemuruh guntur. Cemas pun mulai meraup. Takut, kalau-kalau dahan atau pucukku tersambar petir. Bisa mati aku! Namun, aku bisa apa? Toh, semuanya akan mati juga, kan? Bahkan manusia yang terkubur di bawah batangku ini sudah lebih dulu menghadapinya. Seingatku sudah dua puluh tahun lamanya. Tadi, sebelum magrib, bertambah pula seorang lagi. Jadilah kini aku berdiri di antara dua makam. Di samping kiri makam baru, dan di samping kanan makam lama.

Bicara tentang mati, ah, kurasa itu perkara yang serius. Mati bukanlah akhir dari semuanya. Melainkan, awal dari perjalanan nan sesungguhnya. Aku tak tahu alam kubur itu seperti apa. Akan tetapi, setelah mendengar cerita Cacing, kurasa itu adalah tempat yang sangat mengerikan. Kalian bayangkan saja! Liang sempit, lembab, pengap, dan gelap itu akan mengurung jasad kalian? Hiii, pasti sesak sekali!

Namun, Cacing juga pernah bilang padaku, kalau tak semua kubur itu mengerikan. Ada pula yang sangat indah seperti taman-taman bidadari.

"Dari mana kau tahu?" tanyaku suatu hari ketika Cacing bercerita tentang kuburan yang indah itu. Jujur saja, aku tak percaya dengan ceritanya.

Cacing terkekeh. "Kau ini! Berpindah dari kubur ke kubur adalah pekerjaanku. Di sana kami mencari makan. Menggerototi sebujur bangkai berdosa beramai-ramai. Masuk ke lubang hidungnya, telinga, usus, bahkan kemaluan!"

Aku bergidik jijik. Memakan bangkai? Hueek!

"Namun, tak semua bangkai bisa kumakan," lanjut Cacing.

"Oh, ya?" Aku makin penasaran.

"Iya! Mereka adalah jasad-jasad yang sangat dekat dengan Allah. Mereka mengabdikan hidup di jalan Allah dengan sepenuhnya penghambaan. Sebab itulah, bila mati, bukan tempat pengap yang mereka terima, melainkan taman yang sangat luas dan terang dengan selimut sutra hijau. Mereka inilah, yang jangankan memakannya, menyentuhnya saja aku tak diizinkan."

"Jadi, kau pernah datang ke kuburan menyenangkan itu?" tanyaku takjub.

"Ya."

"Di mana?"

"Itu, makam yang sudah dua puluh tahun kau naungi, Kamboja! Makam itu dihuni oleh gembala yang hafiz Quran."

Aku terperangah. Tidak menyangka. Ternyata selama ini aku menaungi makam orang salih. Aku amat beruntung! Pantas saja, rasanya begitu damai dan sejuk di sini. Untuk itu, sepanjang pagi dan petang aku bertasbih memuji Allah dan beristighfar untuk jasad yang tengah kunaungi ini.

Hujan mereda. Aroma petrikor menguar di mana-mana. Alam kembali tenang. Tanpa kilat. Tanpa guntur. Juga tanpa angin kencang. Kembali kulangitkan tasbih seraya menatap makam di sisi kananku. Nisannya kusam, tapi kuyakin jasad di dalamnya pasti berseri.

Kemudian gantian kutatap makam di sisi kiri. Masih baru. Tanah merahnya becek karena hujan. Bunga-bunga di atasnya masih nampak segar, tapi kotor karena tanah basah. Aku berharap, jasad di dalamnya sama dengan jasad temanku sebelumnya. Seorang pecinta Tuhan.

Detik berlalu. Aku kembali merasa ganjil. Malam ini terlampau tenang. Mungkin tepatnya mencekam. Dinginnya pun terasa lain. Entah kenapa sekujur ragaku tiba-tiba menggigil. Aku mendadak takut. Akan tetapi, tidak tahu apa yang kutakutkan itu. Sejurus kemudian kurasakan sesuatu. Seperti ada gelombang api menjalar di bawah tanah. Panas sekali! Rasanya akar-akarku bak terbakar karenanya.

Tiba-tiba, dari dalam makam yang masih merah itu, muncul suara-suara aneh yang belum pernah kudengar sebelumnya. Suara berat, menggema mengerikan. Rintihan kesakitan yang amat mengiris hati. Tangisan dan jeritan yang berbaur jadi satu.

Jeritan siapa itu?

Kenapa memilukan sekali?

Ada apa dengannya?


Tiba-tiba, kudengar suara berat yang jauh lebih menakutkan lagi. Ada kemarahan tersirat di dalamnya.

"Jadi, kau tak mengenal Muhammad?"

"T-tiddakk."

"PUKUL!!!"

"ARRGGH! TOBAAT!"

"Kau tak pernah salat?"

"T-tiddakk."

"PUKUL!!!"

"Ooh, ayah! Ibu! Sakiiit!"

Aku lemas seketika. Jeritan itu, seakan-akan bumi pun terbelah karenanya. Rasanya akar-akarku akan tercabut dari bumi. Dedaunku meranggas. Bungaku pun berguguran dan langsung layuh setiba di tanah.

Pahamlah aku kini apa yang terjadi.

Malam terus merangkak. Di antara dua makam, kusaksikan tentang alam tertutup tabir yang banyak tak disadari manusia.

Baso-02-06-20

Hai Agan dan Sista! Diana Dee adalah nama pena saya di sosial media. Jadi, cerpen ini adalah real karya saya. Bukan saduran apalagi jimplakan. Jangan lupa kritik dan sarannya, ya. Terima kasih sudah membaca.
Diubah oleh serbaserbi.com 05-09-2020 21:58
krammerAvatar border
tikamfansclubAvatar border
KzRaItoNAvatar border
KzRaItoN dan 16 lainnya memberi reputasi
13
2.4K
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.