hikayat0120Avatar border
TS
hikayat0120
MASIHKAH KAU BERSAMAKU (PART 7-END)



____

MASIHKAH KAU BERSAMAKU (Part 7)
END.


Selagi mataku masih terpejam. Aroma Alkohol menusuk indra penciuman. Rasanya kepalaku masih saja sakit. Meskipun telah kuistirahatkan sejenak.

Obat penenang itu hanya bisa membuatku tertidur tapi tidak menghilangkan beban pikiranku. Masih kuingat wajah Mas Teguh sekarat tanpa bisa kutolong.

Tuhan ... andai bisa meminta, jangan ambil dia dari hidupku. Aku tak tahu, apa aku mampu hidup tanpa dirinya. Kurasakan elusan hangat di punggung tanganku.

Aku membuka mata perlahan. Wajah Papa di sana. Air mataku tumpah tanpa bisa terbendung derasnya.

"Papa ...."

Pria tua itu tersenyum dengan mata yang nanar menahan jatuh gerimis di wajahnya. Mungkin dosaku yang telah membawa kami di situasi sulit ini. Aku cacat dan Mas Teguh sekarat.

"Maafkan aku, Pa. Aku menyusahkan Papa lagi," isakku.

Kelam mencacat duniaku. Tak lagi riuh cahaya menemani. Desah parau bagai memanggil ruh-ruh kematian. Pada keping yang tersembunyi, tak henti kuteriakkan pergi, segala duka dan luka.

Sebabku luruh, mengiba kebahagiaan paling sempurna. Apakah bisa seberkas harapan itu kuraih. Sedang lemahku di kubur, melangkah pun terjatuh.

Sungguh aku mati. Di gurun yang penuh duri.

"Sierra?"

"Papa menitipkannya pada guru Ima di sekolah, Mel. Mungkin saat ini Sierra menginap di rumahnya. Kamu tenang, ya."

"Papa dari mana, tahu aku kena musibah?"

"Papa ... eee, tadi dari rumah sakit ada yang mengabari Papa."

"Kok rumah sakit tahu? Aku kan belum kasih info nomor telepon yang bisa di hubungi, Pa?"

Papa menghela napas perlahan. Ada berat dalam embusannya. Aku merasa sesuatu pasti sudah terjadi dan aku tak tahu. Entah mengapa, dugaanku sesuatu itu sehubungan dengan hal yang akan membuatku hancur.

"Jangan bersedih ya, Mel ...."

Mengapa Papa bicara seperti itu? Ada apa ini sebenarnya.

"Pihak rumah sakit menerangkan pada Papa, bahwa Teguh telah mendaftarkan diri sebagai pendonor jantung untuk Papa."

"Apa!!?? Tidak, Pa. Tidaaak!!!" Aku akan kehilangan dia Tuhan. Tidak ... sungguh menyedihkan hidupku. "Papa ... jangan lakukan ini, Pa. Aku cinta dia. Aku tidak bisa hidup tanpa dia, Pa. Tidaaak ...."

Sekencang-kencangnya aku berteriak. Aku bahkan tidak perduli bila sesuatu terjadi denganku. Aku tidak bisa kehilangan Mas Teguh. Aku harus menemui dia secepatnya.

"Pa!! Selama ini Papa telah menghina dia dan sekarang Papa ingin membunuhnya? Papa jahaat!! Aku tidak terima, tidak!!"

Kupaksa tubuhku bangkit dari tempat tidur. Tak kurasakan betapa sakitnya luka jahitan operasi ortopedi di pahaku. Aku menurunkan kaki kiriku yang masih utuh. Berharap aku bisa bertemu dengan Mas Teguh, di ruang ICU. Sekalipun aku harus berjalan dengan merayap.

Tapi ... AAAHH ... berdiri pun aku tak mampu. Aku terjatuh ke lantai ruang UGD dengan tangan yang membentur besi bangsal samping. Selang infus akhirnya terlepas paksa. Darah mengalir melalui lubang jarummya yang masih melekat di punggung tanganku. Luka jahitan pun bertambah parah karena menghantam lantai. Robeknya jahitan tak bisa dihindari.

Aaa -- aaa ... sakit teramat sangat kutahan dengan menggigit bibirku. Tuhan ... Jika aku harus mati hari ini, aku ikhlas. Tapi, jangan Mas Teguh. Dengan tangan gemetar kuseret tubuhku di lantai menuju pintu.

"Melinda!!" PaPa berteriak. "Suster!! Sus -- Suster!!"

Beberapa perawat datang menolong.

"Lepaskan aku!! Lepas!!" Sekuat tenaga aku melawan. Tapi, habis tenagaku, darah pun mengalir semakin deras. mataku mulai berkunang-kunang. Namun, aku yakin. Pasti bisa kutemukan Mas Teguh.

"Bu, nanti infeksi luka ibu. Lihat nih berdarah lagi." ujar perawat yang memegang tanganku.

Kulihat darah dari patahan lututku memang membercaki lantai UGD. Aku bertahan untuk terus merayap.

"Mas -- Mas, tolong dong diangkat ibu ini. Bahaya nih!!" seru salah seorang perawat wanita.

Aku masih saja melawan. Dari kejauhan Papa menitikkan air mata untukku. Pria yang telah menemani dan membesarkanku itu akhirnya menyadari. Aku ... tidak lebih baik jika harus hidup tanpa Mas Teguh.

"Lepaskan saya Sus, lepas!! Aku ingin bertemu Mas Teguh. Lepaaas!!!" Perjuanganku menahan sakit menjadi sia-sia. Para perawat itu mengikatku di bangsal agar aku tidak berontak. Juga menyuntikkan obat penenang agar aku tertidur kembali.

"Pa ... jangan bunuh Mas Teguuuh ...," lirihku. Duniaku pun gelap kembali.

***

Aku merasa begitu sunyi. Saat kubuka kembali kedua mata. Dalam hatiku mengalir deras, tangis yang tak dapat terhenti.

Kesedihanku memuncak saat kutahu, hidupku akan jauh dari sekadar sunyi. Aku bahkan tak bisa lagi berharap mukjizat dari Tuhan untuk Mas Teguh.

Papa masih berada di sisiku. Duduk diam ... tak tahu apa yang mesti dilakukan. Aku menggenggam tangannya. Papa pun menoleh.

"Kamu ingin bertemu dengan Teguh?" tanya Papa perlahan.

Aku mengangguk. Papa mengambil kursi roda dari pojok ruangan. Lalu, meminta seorang perawat menolongku untuk duduk di atas kursi roda.

Papa mendorong kursi roda perlahan menuju ruang ICU, tempat di mana Mas Teguh berbaring seperti telah mati.

Melewati lorong sepi. Kuhitung langkah yang patah. Harapku entah, jutaan mimpi terlewati tak lagi bisa menghidupi. Aku disibukkan sunyi, kesepian yang menghantam bak badai. Andai tak kutemui segala suka, mungkin tak akan kutemui pula kedukaan. Hingga aku tak perlu berurai airmata.

Sampai di sebuah ruangan berwarna gading, dengan barisan jendela yang sangat banyak, kami berhenti. Kulihat Mas Teguh tergeletak dengan kondisi sangat mengenaskan. Tubuhnya terluka parah. Terlintas di kepalaku kejadian tabrakan yang menimpa kami dua hari yang lalu.

Aaa ... Aku memegang kepala yang tetiba berdenyut kencang. Sakit yang sesekali hampir tak mampu untuk kutahan. Rasanya ingin kubenturkan ia ke dinding bisu.

Mataku terus memaksa melihat kondisi Mas Teguh. Ia terbujur tanpa tungkai. Wajahnya tak lagi kukenali. Karena penuh perban. Papa berdiri di belakangku sembari menceritakan kondisi Mas Teguh yang sebenarnya.

Organ ginjalnya hancur separuh. Beberapa rusuk remuk hingga serpihannya menusuk ke dalam daging paru. Sebenarnya secara medis Mas Teguh telah dinyatakan meninggal. Karena batang di otaknya tidak lagi merespon stimulus syaraf.

Namun, dokter masih mengupayakan sesuatu. Di samping itu, mereka masih menunggu jawaban dariku untuk menyetujui operasi jantung yang akan di lakukan pada Papa dan Mas Teguh.

"Bolehkah aku mendekatinya, Pa?"

"Kita coba, ya. Mungkin saja boleh." Papa melangkah menuju meja perawat jaga. Meminta izin untuk bisa masuk ke dalam. Alhamdulillah, mereka mengizinkan.

Gemuruh seolah memecah rongga dadaku. Detak yang tak lagi kuingini kehadirannya. Jika kau pergi ... Untuk siapa lagi aku menanti. Jika kau mati ... Alasan apa yang membuatku bertahan hidup.

Tangisku pecah tanpa dapat ditahan. Aku menyentuh tangan Mas Teguh yang penuh perban. Kutundukkan kepalaku, mencium tangannya. Tetiba tubuh Mas Teguh bergetar hebat. Papa memanggil Perawat untuk memeriksa keadaan Mas Teguh yang kejang.

Detak jantungnya tidak beraturan. Seiring derasnya airmataku. Tubuh pria yang kucintai itu bergetar hebat. Sehebat mimpi yang pecah menjadi serpih tak beraturan.

"Tolong keluar ya, Pa, Bu. Pasien kritis." Kutinggalkan Mas Teguh yang sedang dikerumuni perawat.

Aku mengabadikan wajah manisnya, persis sebelum ia meninggalkan aku bersama juta kenangan.

Ia pasti sangat menderita dengan sakitnya. Tak bisa terbayangkan olehku tentang kejadian semua ini. Terduduk menatap taman di luar sana. Tangisku membusuk di dada. Sesak yang membuatku tak lagi bisa berkata selain diam.

***

Seminggu setelah kepergiannya adalah suri dalam hidupku paling fana.
Angin bertiup sore itu menerpa ujung-ujung anak rambutku. Di hati dan mataku, tak mampu kuhilangkan segala kenangan tentang Mas Teguh.

Pria yang selalu menemaniku. Bahkan di detik terakhir kepergiannya, ia tetap bersamaku. Sebentuk jantung telah diberikan pada Papa. Hingga yang kurasakan hanya detaknya, ia sendiri ... tak ada.

"Mama ... ayo masuk, angin keceng banget," bisik Sierra.

Gadis kecilku mendorong kursi roda ke dalam ruangan. Sejak kepergian Mas Teguh, aku sungguh tak ingin lagi bicara. Kata-kataku seperti mengering. Anehnya airmataku tak pernah berhenti berderai.

"Mama kenapa nangis terus sih." Sierra mengeringkan air mataku dengan selembar tissue.

Aku berusaha dengan tanganku menopang tubuh, lalu naik ke atas kasur. Kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Dari kaca jendela tampak cahaya mentari mulai tenggelam.

Gulita terlahir kembali. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Hanya hatiku yang perlahan-lahan mati.

Tuhan ... aku masih berharap bisa bersamanya. Lelapku datang bersamaan dengan malam paling panjang.

Hikayat0120.
Fin.
0
247
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to HeartKASKUS Official
21.6KThread27.1KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.