hikayat0120Avatar border
TS
hikayat0120
EINSTEIN IN LOVE

____

EINSTEIN IN LOVE



"Ooo Bartolomeus ... kembalikan layarku. Hidupku terhenti! Bahkan nyawa tidak berani lewati kerongkongan ini!! Ooo Bartolomeus , mengertilah rinduku!! Telah kularung segala perih. Namun cintaku pergi tak lagi mengobati!!!"

"Heh!! Gila Kau, Bram!! Ini jam berapa? Tiduuur!! Gangguin orang aja!!" Mata Adrin melotot seperti hendak lepas dari kelopaknya.

"Aku sedang curhat."

"Curhat boleh. Gila jangan."

Kepalaku tetiba berubah gatal. Skripsi selama dua bulan ini sungguh bikin nafsu makanku hilang, nafsu tidurku melorot, nafsuku pada Lira tandas mengering. Sekarang pun aku semakin ngawur.

TING TONG TING TONG. Jam berbandul keluaran tahun enam puluh itu mulai ikut berteriak dua belas kali.

"Tidur, Bram!!" seru Adrin teman satu kamar kost.

"Yaa ...."

Malam lahap menelan kantukku. Tubuh penat jadi alasan paling sempurna manusia untuk beristirahat.

"Bismillahirohmannirrohim. Bismika Allahumma Ahya wa bismika Amud. Ya Allah, bulan ini aku harus lulus jadi insinyur. Kabulkan permintaanku. Aamiin."

PLAK!! Adrin memukul dahiku. "Cepet tidur. Dah mau gila tuh."

***

Tepat pukul enam pagi aku terbangun dari mati suriku. Subuhan yang kesiangan membuatku babak belur mengejar waktu. Sedang pagi ini pun harus mengejar mata kuliah Pak Josh.

Berlarilah aku di antara rumput dan trotoar jalan. Selepas turun dari angkot yang menjadikanku pejuang, memegang maket dengan tetap jaga jarak, agar bisa bertahan di bentuk sempurna sampai ke hadapan dozen killer.

"Bram!" Terdengar suara berteriak memanggil. Detik ini sekarat dan aku tak ingin menoleh.

"BRAM!!" Suara itu makin kencang. Terpaksa, wajah tampanku harus menoleh pada pemilik suara itu. "Lira?!"

"Kamu kemana aja sih. Aku cariin dari kemarin. Telepon gak di jawab, pesan gak di balas, aku pergi ke kost, kamu gak ada juga."

"Aku sibuk, sayang." Sambil tetap berjalan, aku tak perduli dengan makian wanita muda yang sexy di hadapanku ini. "Sekali lagi maaf, aku harus menghadap Mr Josh ... Nanti kita ketemu lagi."

"Bram ...." Lira menahan lenganku. Rindunya memusar pada sudut tak beraturan dan aku adalah sumbu yang siap terbakar.

Kuletakkan maket di meja sudut, dekat pintu perpustakaan kampus. Tanganku meraih pinggang wanita muda itu. Lalu, Muuaach .... kulumat bibir mungilnya. "Kalau kurang, kapan-kapan kutambah. Hari ini kita gak ada jatah waktu, sayang."

"Bram ... apa-apaan sih, kamu!!" Lira memukul dadaku.

"Dah aah aku sibuk!!" Segera kularikan kaki menuju ruang Pak Josh.

Kulihat Lira dengan kejujurannya berwarna merah jambu, sedang menikmati kejutan kecil dariku.

Begitu mudahnya menaklukkan kerinduan. Sekali kau jejakkan sepasang lengkung manismu, maka seluruh cinta akan mengejar untuk minta pertanggung jawaban, dan kesalahanku adalah telah bertubi-tubi menjatuhkan hujan di atas karang.

***

Kegiatanku hari ini tak banyak. Usai mata kuliah yang hanya dua sesi, kusambung dengan kerja partime di sebuah coffee break milik temanku Angela.

Kudengar dari Tobi, wanita itu menerimaku karena ada rasa suka terhadapku. Tapi, hoax itu tak perlu dijadikan berita jika tak ingin kena bumerang. Semakin kudiam, semakin redam. Anggap saja semua angin lalu, agar aku bisa bekerja dengan profesional. Tugasku di sini cuma mengubah rumus menjadi uang.

"Bram, rencanaku gini ... Cafe akan buka cabang lagi di matraman. Kamu tahu kan samping Rumah Sakit CIPTO MANGUN KUSUMO?" ujar Angela saat berbincang denganku di ruang kerja.

"Terus?"

"Aku ingin kamu yang kelola. Yaaa ... jadi Bos-lah di sana mewakiliku, gimana?"

"Ngawur kamu ... aku kan seorang Arsitek, masa diminta kelola Cafe. Harusnya suruh si Tobi, dia anak keuangan."

"Tapi aku lebih percaya kamu, Bram."

Kulipat tangan di dada, sambil mengembuskan napas panjang. "Selesai kuliah nanti aku akan bekerja di kontraktor bangunan. Kemarin ada tawaran dari Pak Josh. CV juga sudah kukirim lewat beliau, di sini aku kan cuma sementara. Ilmuku gak bisa diterapkan nanti."

"Intinya kan kamu bekerja, Bram. Daripada nganggur. Aku menawarkan bagi hasil. Ini bukan gaji tapi kita bisa maju bersama-sama."

"Fashionku gambar dan angka. Bukan food, drink and beverages. Kamu lupa?" Aku kembali berkutat di atas meja bersama GRAFIC MONETERY SALES cafe.

Saat di tanganku, cafe memang berjalan dengan baik. Banyak ide yang aku tuang untuk membesarkan cafe. Mungkin itu yang membuat Angela tak ingin melepasku ... bukan CINTA.

Angela tampak sedih. Aku mendekatinya dan duduk di depan meja kerjanya.

"Hai ... jangan sedih," hiburku padanya.

"Bram ...."

"Apa?" Aku tersenyum. Lalu, mengusap pipinya yang halus. "Lihat, wajahmu seperti remaja yang mau nangis ditinggal pacar." Mencairkan suasana dengan lelucon memang hobiku.

Aku kembali sibuk dengan angka di atas kertas saat Angela datang menghampiri. "Aku memang takut kamu pergi," lirihnya sambil memegang tanganku.

Kuhentikan pekerjaan. Mataku melukis wajah cantik Angela. Aku memang tidak menampik kecantikan dan kekayaannya. Wanita berdarah campuran Padang-Belanda ini seperti memohon agar aku tetap bersamanya. Sejak itulah aku melihat kerlip cinta di bening kristal itu.

Masih kutatap hadirnya. Dengan jarak yang begitu dekat, pria mana yang tak terkesiap melihat sosok cantik yang menghamba cinta tanpa kata. Bahkan desahnya pun pasti akan membuatku tertidur dalam mimpi hangat paling gila.

"Bram ...." Suaranya memelas.

Entah ... benarkah ia cinta padaku? Kesedihan di mata itu membuat aku tak bisa menahan diri untuk melebur raut wajahnya dalam gema jantungku.

"Kenapa sedih sih. Aku kan gak pergi." Tanganku tak berhenti mengusap rambut ikal Angela.

"Tapi Kau lulus tinggal menghitung bulan, Bram."

"Terus kamu maunya, aku gak lulus gitu? Dasar perempuan kejam," bisikku bergurau.

Angela memukul dadaku. "Bukan ... Aku gak mau kamu pergi dari hidupku."

Beraaat ... ini berarti aku harus menetap di hidupnya, jadi pacarnya atau suaminya. Apa ... aku masih bisa pura-pura pilon? Otak geniusku mulai berontak. Aku meminta Angela untuk duduk. Sedang aku berlutut menatapnya.

"Bram jangan pergi."

Mati akuuu ...

"Aku sayang kamu, Bram."

Ampuuun .... aku masih diam menyimak.

"Bram."

Aku bangkit, membereskan segala kerjaan hari itu. Setelahnya kulanjutkan kembali percakapan kami.

"Aku sudah punya pacar. Lira ... Kamu tahu kan?"

"Ya ... Aku tahu."

"Terus kenapa sikapmu seperti ini?"

"Aku ... Aku cuma ...."

"Sudah tak usah dijelaskan. Kita profesional aja kayak dulu, ok?" Wajah jenaka kembali kuaktifasi, untuk mencairkan suasana canggung.

Angela diam.

"Oya ... besok aku gak bisa masuk, ada sidang sama Mr Josh. Tapi semua kerjaan udah beres kok. Silahkan kamu check, ya. Kalo ada yang kurang chat aja. Ok!?"

Angela masih diam. Aku paham dengan mendung yang kamu hadirkan. Namun, kehadiranku bukan untuk mengubah itu. Kamu harus paham ... sedikitnya lihat, bahwa cinta mungkin tidak ada saat ini. Kamu hanya melihat manfaat kebersamaan kita, tidak lebih dari itu.

"Aku pamit, ya."

Angela masih diam. Kudekati ia sambil menepuk bahu. "Jangan terlalu larut dengan fatamorgana," bisikku.

***

Semua akan menjadi kenangan saat kelulusanku nanti. Bagian terkecil dari itu telah kuambil sebagai moment paling asyik selama aku kuliah di sini. Lira ... lima tahun aku kuliah di KAMPUS UNGU, lima tahun pula aku menulis cerita tentang kami.

Serba-serbi yang lainnya adalah bonus. Aku berjalan menuju ruang Pak Josh. Dozen sekaligus mentor yang handal buatku.

Ruangannya memang sering kali kuhampiri, karena bulan ini terakhir aku ujian untuk mata kuliah STRUKTUR KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG.

"Jadi gimana nih, mau terima gak tawaran yang kemarin, sementara kita tunggu keputusan Pak Ronald dari PT. TRAFIC CO?"

"Gimana menurut, Prof?"

"Aah ... belaga pilon anak muda. Kau pasti pahamlah maksudku. Ini sampingan. Lumayan masuk ruang lingkup jam terbang. Supaya nanti kamu sudah pengalaman saat di tawari PROTOKOL ROMBAK GEDUNG."

Kalau menurut mahasiswa lain, Pak Josh memang killer. Tapi, di mataku dia tak ubahnya ladang minyak, banyak sumur galian di otaknya. Belum lagi relasi bisnisnya. Tawaran demi tawaran membuatku ingin memanggilnya AYAH. Sayangnya beliau tidak punya anak perempuan yang bisa kupinang.

Ponselku bergetar. Lira tampaknya sedang mencariku.

"Ok deh Prof, sampai ketemu besok," pamitku.

Lorong kampus tampak masih sepi. Semua mahasiswa disibukkan menyimak mata kuliah, tak ada yang terlihat berkerumun di taman-taman atau duduk di kantin. Hanya aku dan ....

"Bram!!!" Jelas sekali kudengar suara lira memanggilku. Aku menoleh ke belakang.

Wanita sexy itu berjalan cepat ke arahku. Dadanya yang penuh tampak berguncang. Panggulnya meliuk lembut bagai irama panggung, membuat mataku berdecak kagum. Wanita ini memang menyita semua pandanganku, dan senyumnya alamaaak ... musim semi mendadak di benua Asia.

Di antara keseimbangan X dan Y, mungkin dia adalah faktor N sebagai penyempurna. Nyatanya nilai kalkulus juga mencakup nomor yang tertera di tubuhnya. Nomor dada, pinggang, panggul, paha, betis dan jari jemarinya.

Konyol ... aku mulai melihat kalkulator science pada bentukan mahluk sexy itu.

"Bram!! Aku rindu! Aku rindu sekali!" Lira memelukku. Gema jantungnya terdengar hingga jarak satu jengkal dari kedua indra penglihatan kami.

"Kalau gitu ledakkan dadaku dengan rindumu," ucapku berseloroh.

"Kemana aja sih kamu ... dua minggu ini aku ...."

"Dua minggu ini kamu tidak merasakan kehangatanku, gitu?"

"Iiih ... kamu nih, rusuh banget omongannya, Bram." Lira menyentuh wajahku dengan jemarinya.

Tangannya yang lembut membelai tiap sudut yang terpapar di wajahku. Sengaja kubiarkan kelopak mataku tertidur, agar ia puas menjadikanku object photografi di benaknya.

Lalu tangannya berhenti pada bibirku. Seolah aliran darah sedang menransfer seluruh hasrat dari kepundan otaknya. Aku membuka mata dan memaku keinginan wanitaku ini.

"Apa yang kau pikirkan?" selidikku. Kudekap ia lebih erat lagi. Hingga dengus napasnya menjadi medan magnet, yang mengikat permukaan kulit wajahku, dengan daya sekuat tarikan gravitasi paling nuklir di dua kubu renjana.

Lira tersenyum maniis sekali. Oooh ... terkapar aku dengan dada yang berhenti berdegup di lima tarikan napas yang terakhir.

"Aku tak akan menciummu hari ini," tegasku.

Langsung berubah air muka Lira. Dia pasti menyangka yang tidak-tidak tentang aku. Kubawa ia duduk menikmati taman kampus. Karena ini sebulan terakhir aku berada di sini.

"Sebulan lagi aku pasti lulus, lalu aku juga sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan milik relasi Pak Josh. Kamu tahu kan? Yang tempo hari aku pernah cerita."

"Ya. Lalu ...."

"Aku pencemburu," tegasku kemudian.

"Hubungannya apa?"

"Kalo aku pergi dari sini. Bagaimana aku bisa memantau kegiatanmu? Juga hubunganmu dengan teman priamu?"

Lira tertawa kecil. Kuakui calon guru ini lumayan cerdas. Namun, kadang tidak mengerti dengan ucapanku, semua harus selalu diterjemahkan sesuai kamus bahasa Indonesia. Padahal, kadang aku sulit untuk cerita soal perasaan dan pemikiran.

"Kamu mau gak menikah dengan Arsitek masih miskin sepertiku?"

Lira menoleh padaku. Lalu, sontak memelukku. "Aku mau Bram ... aku mau."

"Tapi ...."

"Tapi apa?" Dahi si sexy ini berkerut.

"Kita punya anaknya setelah kamu lulus jadi Bu Guru, ya?"

Wanitaku tersenyum. "Bram ... "

"Apa?"

Lira menggerakkan kedua alisnya. Aku paham bagian yang ini. Sayangnya ... aku sedang malas berkamuflase menjadi ROMANCE EMBRIO. Terlalu gempita aku dengan rencana masa depanku. Saat ini.

"Aku sudah bilang kan aku tidak akan menciummu hari ini," ujarku.

Tapi justru ia menarik krah bajuku agar bisa mendapatkan kehangatan itu. Kecupannya membakar penyempitan pembuluh darah. Desir yang membangunkan plak-plak beku, hingga hangat melumuri seluruh tubuh dan rongga kepalaku. "Dasar bandel," bisikku.

Dari kejauhan kulihat Angela menatap kami dalam diam. Wanita sempurna yang menyimpan namaku di dalam dadanya, sungguh ... maafkan aku yang tak bisa berdiri di sampingmu.

Aku bukan munafik. Tapi Lira mewakili semesta diagram ven yang kurancang sejak dari awal. Hidupku penuh gambar dan angka, Lira ... sosok guru kecil yang akan mengisi bagian budi pekerti paling sederhana.

Sepanjang perhitunganku, tak pernah terbesit menjadi seorang kapitalis. Mungkin kesederhanaan hidup membentuk pola beraturan itu.

Tapi, aku janji. Kau akan lihat aku tetap jadi teman paling baik untukmu ... Angela.

"Bulan besok aku akan melamarmu," ucapku pada Lira.

Wanitaku mengangguk.

Tak ada hangat paling membakar selain berkutat di rencana paling sempurna juga berkah hiburan paling sexy yang Allah berikan. Sepanjang lurus perjalanan. Sebesar itu pula kebahagiaan.



Hikayat0120.
Fin.
Diubah oleh hikayat0120 26-08-2020 08:34
awa01Avatar border
vickyarselanAvatar border
fredielogan14Avatar border
fredielogan14 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
956
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.