umanghorrorAvatar border
TS
umanghorror
Horror 1 - Misi Pertamaku.
"Apa kau sudah siap untuk mengemban tugas itu, Umam? Seperti yang kau tahu karena kesalahan kakakmu, Vita, membuat keluarga kita tercoreng dari status sosial di masyarakat. Sekarang untuk mencegah hal yang semakin buruk, kau, yang adalah salah satu cicit dari Kyai Marwan akan menyegel kembali para demit2 kelas atas itu ke dalam Angus Poloso. Mengerti?" tegas Pak Zaenal, ayahku, yang saat itu memegang kuasa sebagai pemimpin keluarga Marwan. "Aku tahu kemampuanmu masih kalah jauh ketimbang adikmu Danang maupun kakakmu Vita, tapi aku percaya kalau dirimulah satu-satunya yang akan berhasil menyegel mereka kembali."

"Baik, ayahanda. Saya mohon pamit!"

Aku bergegas keluar dari aula utama keluarga. Di sana kami semua hidup sekeluarga. Seluruh keturunan Kyai Marwan ada di sini. Berkumpul jadi satu. Hebat kan? sejujurnya rumah yang dimiliki keluarga Marwan memang teramat luas, jadi cukup buat kami semua hidup untuk hidup bersama.

sesampainya di luar, aku disambut oleh kedua adik perempuanku, Tiara dan Leina. Mereka berdua adalah adik kembar siamku, dan mereka begitu manja tatkala bersama dengan kakak-kakaknya.

"Ayo kak, kita main!" ajak Tiara, yang saat itu berusia 8 tahun.

"Maaf ya, saat ini kakak lagi banyak urusan. Mungkin esok lusa kakak akan ada waktu untuk bermain bersama kalian berdua," jawabku sekenanya.

Mendengar jawabanku, Leina pun ngambek. "Duh, pastinya kakak bakal bilang 'lain kali' lagi saat ditanya esok lusa, dan begitu seterusnya. Kakak mah memang begitu,"

Tanpa menanggapi ucapan mereka, aku pun bergegas meninggalkan mereka dan segera kembali ke kamarku untuk mengambil perlengkapan sekolahku, karena seperti yang sudah kalian dengar kalau diriku akan pindah ke sekolah SMA Indratama, sekolah di mana Angus Poloso diletakkan.

Setelah siap2 selama kurang lebih lima belas menit, aku pun siap untuk berangkat. Sekeluarnya aku dari kamar, aku melihat adikku Danang lagi bersedekap menatapku dengan tatapan yang kurang mengenakkan. Tanpa mempedulikannya, akupun berlalu.

Namun, sebelum aku berlalu darinya, dia sempat berbicara padaku, seraya mengejekku. "Kakak berangkat hari ini, ya? Baguslah, dengan begitu, kita sekeluarga bisa mengetahui seberapa kuat kemampuanmu,"

"Aku tak perduli soal kemampuan atau apalah itu. Yang terpenting aku bisa bersekolah di sana dengan aman tanpa harus mengingat status sosialku sebagai cicit Kyai Marwan, leluhur kita." jawabku yang masih tak mau menatap ke arahnya. "Mungkin pula di sana aku bisa merelakan kepergian Astrid tiga tahun lalu."

"Dasar kakak tak berguna! apa kau pikir dengan kemampuanmu saat ini kau bisa menyegel demit2 kelas atas itu seorang diri? ayah menyuruhmu supaya dirimu menyerah mengetahui sedikitnya kemampuan yang kau miliki. Tau!?"

"Aku tak peduli,"

Danang memang sudah seperti itu sejak dulu. Sinis dan tatapannya kurang mengenakkan. Mungkin itu adalah sebuah kedengkian, karena percaya atau tidak, akulah satu-satunya pria yang telah berhasil merebut hati Astrid. Yang kala itu merupakan incaran Danang. Kalau dibicarakan satu-satu, ada banyak alasan lain selain itu yang membuatnya membenciku. Tapi sebaiknya tidak diceritakan sekarang. Oke?

Selesai menghadapi antipati dari Danang, aku bergegas keluar dari rumah. Di sana sudah tersedia mobil dan sopir Pak Joko sudah siap mengantarku ke sekolah. Tanpa menunggu2 lagi dan waktu sudah menunjukkan pukul 6:40 pagi, aku menyuruh Pak Joko untuk segera mengantarku ke sekolah.

Sesampainya di sana, aku bergegas menuju ke ruang kepala sekolah untuk menyelesaikan urusan2 pendaftaran.

"Jadi kau cicit dari Kyai Marwan yang terkenal itu yah? kenalkan, nama saya Abah Nadjib, biasa dipanggil Abah. Senang rasanya bisa menerima murid dari seorang Kyai terkenal itu." ujar Abah Nadjib antusias. "Ngomong2 belakangan ini sering terjadi gangguan yang menyulitkan pihak sekolah. Setelah selesai jam sekolah nanti, bisakah kau membantuku?" bisik Abah Nadjib yang mulai panik itu.

"Itu tergantung, Abah. Sejujurnya kemampuanku masih kalah jauh ketimbang adik dan juga kakakku. Selain itu, aku bersekolah di sini sebenarnya ingin bersekolah sebagai murid biasa yang damai, tanpa mengingat status keluarga dan juga kemampuanku. Tapi jikalau Abah berpikir kalau aku yang lemah ini bisa membantu, maka Insya'allah saya akan membantumu."

Setelah bicara panjang-lebar, aku pun diantar keluar oleh Pak Bus, yang selalu sebagai Waka Kesiswaan dan juga guru dalam bidang Geografi. Pak Bus mengantarku ke salah satu kelas, yaitu kelas XI IPS 1, yang mana diisi oleh para anak sosialita yang berani ngomong asal-asalan, tapi dengan IQ yang rendah. Hehe emoticon-Big Grin

Kedatanganku waktu itu, membuat riuh seisi ruang kelas IPS 1. Seperti hal yang biasa dilakukan oleh kelas IPS, setiap kali ada murid baru, pasti mereka akan jerit2 berhura2 tak karuan. Entah mengapa melihat pemandangan ini, aku tertawa lepas melihat tingkah konyol mereka, setelah itu aku berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri.

"Kenalkan, namaku Muhammad Badrul Umam. Saya pindahan dari salah satu SMA di kota Malang. Senang bisa bertemu dengan kalian semua." ucapku yang terasa kaku dan gugup dalam memperkenalkan diri. Karena jujur saja, aku adalah seorang pria yang pendiam dan pemalu, sehingga jarang untuk bisa bersosialisasi, apalagi dengan kelas sosialita seperti kelas IPS.

"Horreyy... ada teman baru, yyeee...!" sahut teman-teman histeris. Melihat mereka, aku hanya tersenyum kecil.

Aku pun memperhatikan teman2 baruku, sampai tiba2 kulihat ada seorang gadis yang tersenyum manis ke arahku. Aku lihat gadis itu langsung melambai ke arahku, menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Setelah kuselidik, ternyata ada satu bangku kosong di sebelahnya. Tanpa basa-basi, aku bergegas menuju bangku kosong itu.

"Namaku Umam. Siapa ya?" tanyaku yang mencoba berkenalan dengan gadis manis itu.

"Aku sudah tahu. Namaku Niken Prida. Senang berkenalan denganmu!" jawabnya sekenanya.

Mendengar ucapannya yang cuma singkat, membuatku ragu untuk lebih mengenal gadis itu. Tanpa jadi kepo, aku pun kembali duduk ke bangkuku dan mendengar guru mapel Matematika yang bernama Bu Dwi mengajar. Tanpa kosentrasi sedikitpun, aku malah mencoba bermain2 dengan mata batinku. Sebenarnya diriku sudah dilarang untuk main2 dengan hal2 begituan, tanpa sebelum menjalankan tugasku, aku harus mengetahui seluk beluk sekolah ini dari segi gaib dan makhluk2 apa saja yang tinggal di sekolah ini.

Sesaat aku memalingkan mata dari depan, aku tiba-tiba terkejut melihat seorang gadis kecil yang berlari2 menerjang bangku para siswa. Anehnya gadis kecil yang kiranya usianya kurang lebih sebelas tahun itupun tembus melewati bangku2 para siswa dan kemudian ia menghilang melewati tembok kelas. Aku yang mempunyai mata batin yang berasal dari garis keturunan, sudah tidak kaget melihat kejadian itu. Namun yang membuatku bertanya2 adalah siapa gadis itu sebenarnya. Kumat, sikap kepoku mulai kembali deh.

Tak berselang lama setelah gadis itu menghilang, tiba2 aku dikejutkan dengan muka gadis kecil itu yang sudah berada di depanku. Apa aku kaget?? Tentu saja kaget, malah membuatku tersentak, untung aku nggak punya penyakit jantung, kalau tidak, pasti aku sudah jantungan bukan main.

"Kau bisa melihatku, kan?" tanyanya dengan suara datar.

"Iya, kau hantu penunggu kelas ini?" jawabku dengan suara batin. Tentu saja kala itu aku tidak bicara melalui mulut, karena jikalau aku melakukannya, pasti aku akan di cap sebagai anak gila yang bicara sendiri. "Ada yang bisa kubantu?"

gadis kecil itu menggeleng. "Tidak, aku bukan penunggu di sini. Aku adalah hantu yang selalu mengikuti ibuku."

"Ibu??" tanyaku kaget. "Call me curious. Kalau boleh kutahu, siapa nama ibumu?" tanyaku memastikan.

"Bukankah kau sudah tahu, hihihi? dia adalah guru yang mengajar di depan sana!" jawabnya yang masih datar, dibarengi oleh tawa kecil yang terasa hambar karena ucapannya yang masih datar itu. "Aku ingin selalu berada di sampingnya, walaupun diriku sudah mati. Aku sangat sayang padanya,"

Mendengar ucapan gadis kecil itu, hatiku terasa sesak, perih, menahan rasa sedihku mendengar ucapan dari gadis itu. Sebenarnya aku ingin menanyakan hal yang lebih penting darinya, tapi karena rasa sedihku ini, membuatku enggan mengatakannya. Tak lama setelahnya, aku pun dipanggil ke depan kelas oleh Bu Dwi.

Ketika aku sedang mengerjakan soal2 yang dikasih Bu Dwi, aku melirik ke atas bangku guru. Di sana aku melihat gadis kecil itu masih tersenyum manis padaku dan melambai2kan tangannya seolah memberiku semangat dalam mengerjakan tugas Aljabar di depan kelas.

Setelah jam pelajaran kedua selesai, aku bergegas menghampiri Bu Dwi untuk mengobrol perihal sesuatu. Karena sudah menunjukan waktu istirahat, Bu Dwi bersedia menemaniku ngobrol di kantin dekat gerbang sekolah. di sana, tanpa basa-basi aku mengatakan hal yang selama ini mengganjalku mengenai gadis kecil itu. Dia menyebut Bu Dwi sebagai ibunya.

"Maaf bu, telah mengganggu kerjaan ibu di kantor. Kalau boleh saya tahu, apakah anda punya seorang anak yang telah tiada?" tanyaku yang sempat ragu untuk mengatakannya.

Mendengar pertanyaanku, langsung membuat senyum di bibir Bu Dwi menghilang. "Tidak! aku tidak punya anak yang sudah tiada. Anakku satu-satunya sudah kuliah di depan sana. Permisi!"

Bu Dwi langsung beranjak pergi meninggalkanku. Aku heran apa yang sebenarnya terjadi antara hantu gadis kecil itu dengan Bu Dwi. Di depan pintu kelas IPA 2, kulihat gadis kecil yang bahkan ku tak tahu namanya itu tengah melirik ke arah Bu Dwi. Sepertinya ada sebuah masalah yang menimpa gadis kecil itu sehingga ia belum bisa tenang di alam sana. Lalu apakah itu? pikirku dalam-dalam.

Tak mau berpikir terlalu dalam dan sampai suudzon, aku segera melambaikan tanganku ke arah penjaga kantin. Dengan sigap, wanita cantik, bohay, dan imut langsung menghampiriku dan menanyakan pesananku. Jujur deh, kalau dia belum punya suami, aku mau dengan segenap hati menikahinya, eh.. maksudku meminangnya. Karena usiaku masih 17 tahun.

"Mas mau pesen apa?" tanyanya ramah.

"Es teh dan nasi goreng saja, mbak." jawabku sembari melihat menu2 yang ada. Oh ya, mbak. Sayakan murid baru di sini. Boleh dong kalau kita kenalan?"

Entah darimana munculnya rasa keberanian itu. Tapi, setiap melihat gadis cantik, aku akan selalu begini. Mungkin ini yang disebut sebagai Syndrom Histeria. Tanpa ragu2 dia pun memberitahu siapa namanya. Mungkin karena ia tahu kalau diriku akan menjadi salah satu pelanggan tetapnya kale.

"Namaku Hartantik binti Amel. Kalau kakak?" jawabnya.

"Namaku Muhammad Badrul Umam bin ..." aku ragu untuk memberitahunya kalau ada nama Marwan di belakangnya.

Sepertinya Mbak Hartantik itu mengerti mengapa aku tidak sanggup mengatakan nama keluargaku. Dia pun bergegas berlalu dan kembali membawakan apa-apa yang kupesan tadi.

Ketika sudah selesai, aku bergegas menghampiri Mbak Hartantik di depan sana sembari menyerahkan uang. Tak berlangsung lama, kemudian datanglah empat orang siswa, dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka berempat mengajak berkenalan denganku, walaupun aku sudah mengenal salah seorang di antara mereka. Iya, Niken Prida. Entah namanya yang enak didengar membuat siapapun yang tahu namanya akan sulit sekali melupakannya.

"Kenalin nama gue Yulian Bagus. Aku adalah anak yang bersorak2 tadi di kelas," ucapnya yang terdengar seperti orang baik. "Maaf atas perilaku aku di kelas tadi. Itu pasti memalukan, kan?"

"Enggak kok. Lagian aku sudah terbiasa mendapati murid yang punya habit seperti itu." jawabku sekenanya.

Tiba-tiba siswa yang satunya lagi menyahut, "Kalau gue namanya Agus Purhadi. Dan ini adalah pacar gue, Viona." sapanya sembari mengenalkan pacarnya padaku. "Sebagai siswa baru, di sekolah ini ada sebuah kebiasaan bagi siswa lama untuk mentraktir siswa baru selama sehari. Jadi, lo mau minta apa?"

Deg. Mendengar tawaran itu membuatku kaget. Pasalnya aku belum tahu kalau ada kebiasaan seperti itu di sekolah ini. Tak mau menyia-nyiakan tawaran orang lain, aku pun bergegas kembali memesan nasi goreng dan juga es teh lima. Memang benar kalau rejeki nggak kemana. Hehe emoticon-Big Grin

Setelah pesanan sampai, aku pun langsung bertanya uneg2 yang sedari tadi menggangguku. "Bagus, kau pacaran yah sama Niken?"

Ucapanku langsung membuat keempat teman2ku di sana langsung tersedak makanan mereka. Aku hanya menatap geli melihat tingkah mereka berempat kala itu.

"B--bicara apa kau, Umam? gue, pacaran sama Bagus? Nggak salah tuh!?" jawab Niken yang masih batuk2 habis tersedak. "Bagus ini adalah kakak keponakanku, Mam! Ya, walaupun dia tergolong nebeng di rumahku."

Aku bicara remeh-temeh dengan mereka berempat selama lima belas menit sampai bel masuk kelas berbunyi. Di saat itu, aku sudah tidak melihat kehadiran gadis kecil yang mengaku sebagai putrinya Bu Dwi, membuatku bertanya. Kemana dia?

[SKIP TIME]

Sehabis bel pulang berbunyi, aku bergegas memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas dan bergegas menghampiri Abah Nadjib di ruangannya. Di sana aku diperlakukan laksana seorang pangeran yang turun dari kudanya. Benar2 mereka terlalu menghormati seluruh keturunan Kyai Marwan sampai segitunya.

Tak mau membuang-buang waktu lagi, aku pun bertanya mengenai masalah apa yang menimpa sekolah ini. Asalkan tidak berat2 amat, aku pasti akan membantunya.

"Maaf, salah satu demit dari Angus Poloso keluar kemaren lusa, dan membuat masalah kemaren."

Deg, Jantungku terasa berhenti.

"Jadi, aku harus membereskan salah satu demit Angus Poloso itu, Abah?" tanyaku tak percaya. Pasalnya kekuatanku masih dirasa belum cukup untuk mengatasi demit2 dari Angus Poloso itu.

-BERSAMBUNG-
Diubah oleh umanghorror 15-08-2020 09:37
papahmuda099Avatar border
gajah_gendutAvatar border
tet762Avatar border
tet762 dan 8 lainnya memberi reputasi
7
1.7K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.