hikayat0120Avatar border
TS
hikayat0120
PERAHU TANPA LAYAR



______



PERAHU TANPA LAYAR




Sebatas itu?
Ya ... sebatas itu cerita kita, yang selalu tertuliskan. Namun, tak pernah ingin kau bukukan.

Aku Kimora. Tugasku mengabadikan moment kehidupan.
Lupaku pada kenangan membuatku bertahan dan menjadi kuat.

***

PLAAKK!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi. Aku terhuyung jatuh hampir menimpa meja kaca ruang tamu. Rasa asin terasa di sudut bibir. Sambil mengusap pipi, aku bangkit.

"Ini kesekian kalinya kau menyiksaku. Ingat, Bang. Aku tidak akan diam dengan semuanya. Meskipun kau kakakku."

Aku bangkit berdiri dengan sebuah sapu ijuk bergagang kayu di tangan. Lalu, menyerang Bang Oji dengan membabi buta.

Memukul pria itu tanpa ampun hingga ia tersungkur dengan wajah dan tubuh lebam. Darah menetes dari pelipisnya.

Pertengkaran ini sering kali terjadi. Kalau hari ini aku tak ingin lagi mengalah, itu sebab aku sudah lelah dan hilang kesabaran.

Langkahku gontai menapak pada alas, yang semua masih dalam angan.

Di samping aku sendiri masih sekolah kelas tiga SMA, aku juga tidak punya tempat tinggal, selain rumah warisan dari orang tua kami.
Sayangnya, aku harus mengalah. Ketimbang terus hidup bersama seorang kakak kandung yang pemabuk dan hobi berjudi.

Malam merayap menuju pukul 22.30 WIB dan aku berada di antara hidup dan mati. Dengan luka-luka dan memar sehabis dipukul oleh Bang Oji, kuterabas pekat malam. Berjalan terseok, seolah luruh semua harapku pada hidup ini.

Kemana aku harus rebahkan segala penat. Sedang di hidup ini kepemilikanku hanya kosong. Tubuh dengan tulang tanpa taring apalagi kekayaan.

Ingatanku hanya tertuju pada gudang koran tempat aku biasa ambil loperan pelanggan. Bang Reno? Ya ... dia pasti bisa membantuku.

Keyakinan itu datang entah darimana. Dengan sisa receh kularikan semua harap menuju gudang surat kabar milik Bang Reno.

Lumayan jauh dari tempatku berada saat ini. Aku harus naik KOPAJA 27 menuju stasiun senen. Alhamdulillah sesampai di sana, kulihat Bang Reno masih nongkrong, sibuk bagi komisi anak buahnya.

"Malam Bang," sapaku pada Bang.

"Eh ada Lu, Kim? Malam amat, ada apa, nih?"

"Euuhh ... gini, Bang ... gua ...."

"Sebentar ...," potong Bang Reno. Pria itu menyelesaikan pembayarannya pada seseorang. "Sini duduk." ajak Bang Reno.

Aku duduk di atas sebuah tumpukan kayu palet berbentuk box, yang biasa di pakai orang untuk menyimpan dagangan.

"Kenapa, Lu?"

"Gua kabur dari rumah, Bang."

"Gara-gara si Oji?"

Aku mengangguk.

"Terus rencana, Lu?"

"Emmm ... kalo sementara gua numpang di gudang dulu gimana, Bang? Sementara sih. Yaaa sambil cari-cari kontrakan lah."

"Sekolah, Lu gimana?"

"Itu dia, Bang. gua sih belum sempet mikir."

"Gak masalah juga Lu tinggal di sini. Cuma yang gua pikirin, Lu kan tahu ini stasiun. Aman gak buat, Lu? Masa iya musti gua jagain. Bisa marah nanti bini gua."

Bang Reno berpikir sejenak. Dahi tuanya tampak berkerut. Tak lama dari itu. Tangannya pun meraih ponsel yang tergeletak manja di saku kemeja.

"Assalamualaikum, Johar!"

"Eh, Bang! Gimana kabar?"

"Baik! Sibuk, gak?"

"Gak kok. Biasa mau tutup cafe nih."

"Gua tunggu di gudang, ya."

"Sip ok, Bang!"

Ponsel dimatikan. Bang Reno kembali merapikan beberapa eksemplar surat kabar dan tabloid yang baru datang sore ini, untuk loperan esok hari.

"Tunggu, ya. Kayaknya mendingan Lu tinggal di cafe kerabat gua deh. Sekalian kerja di sana. Jadi asisten kek atau apalah. Di sini gak aman. Kan Lu sendiri lihat pergaulan gua. Dari preman, kang parkir, pedagang yang gak jujur, kang tilep, kang mabok, dan lain-lain. Khawatir aja sih, gua."

Selain orang tuaku, mungkin Bang Reno termasuk orang yang aku patuhi sarannya. Gaya bicaranya memang berantakan. Tapi, dia memperlakukanku sangat manusia.

"Tapi gua kan udah kerja sama, Abang. Jadi loper koran."

"Itukan kerja selingan, Kim. Lu bisa kerjain pagi banget, habis itu lu bisa kerja sama si Johar."

"Insya Allahlah, Bang. Kita lihat aja nanti. Sekarang ini gua mau cari tumpangan sementara dulu."

Gulita semakin pekat dengan lebamnya. Tak ada senyuman di langit. Mendung seperti menggauli malam dengan butiran kristal yang membengkak. Bahkan rembulan terlapisi selimut tebal, juga gemintang lelap dalam sumur kehampaan.

Aku mencatat hari dengan redup cahaya. Di tanganku telah habis tinta, yang biasa kubuang untuk menebalkan cerita.

"Nah tuh, Rojak udah datang!"

Aku menoleh.
Kulihat Bang Reno dan Rojak bersalaman. Tampaknya pemuda itu bukan dari kalangan orang biasa. Kesederhanaannya saja sudah mampu menceritakan cermin hidup yang beruntung.

Beberapa saat aku hanya diam melihat keseriusan perbincangan mereka berdua. Pastinya tentang aku, apalagi?

"Jadi kenalkan ini Rojak, Kim. Ini masih kerabat Abang juga sih. Tepatnya anak sepupunya Kak Vera, istri abang."

"Kimora."

"Rojak."

Perbincangan seputar ini itu tentang narasi kehidupan di mulai. Awal perkenalan yang tidak canggung ini, membawaku masuk dunia baru. Yang jauh dari rencana semula.

Tak apalah saat ini bisaku hanya menjadi asisten dapur sebuah cafe MORNING CRUSH, cafe yang melayani sarapannya para mahluk milenial. Siapa tahu ke depannya aku bisa banyak belajar.

Johar adalah pemuda yang sangat baik. Bahkan lebih baik dari guru-guru di sekolah tempatku menimba ilmu.

Pemuda itu menerangkan segala sesuatu sekaligus dengan prakteknya. Ini tak ubahnya seperti DOUBLE SCHOOL. Pagi aku sekolah di SMA, siangnya aku sekolah di SMK bagian tata boga.

Lebih tepatnya hari-hariku selalu terisi dengan kabar baru. Seperti kematangan buah yang belum genap masa tuanya.

"Cepat bersihkan semuanya, Kim!" Seru salah seorang chef bagian main course. Karena beberapa wajan dan pan hendak di gunakan kembali.

"Ok chef!" Aku senang dengan kesibukkan ini. Meskipun kadang sangat lelah.

Cafe MORNING CRUSH adalah tempat tinggalku saat ini. Persis di gudang aku tinggal. Sesekali saat malam setelah care tutup, aku sering pergi ke atap cafe. Duduk di atas atap cor-coran. Dengan hanya beralaskan koran, aku bisa melihat pemandangan kota yang sangat indah.

Cafe terletak di daerah Sunter Agung. Daerah hunian yang sangat layak untuk diminati. Segalanya ada di sini, begitu juga dengan rimbun pepohonan.

Kemajuan zaman tidak selalu membuat mata tersesat. Beberapa di antaranya dapat menjadi hiburan hati yang penat.

"Belum istirahat, Kim?" Suara Johar terdengar lamat-lamat.

Kutemukan sosoknya persis di pintu menuju atap. Masih dengan celemek membungkus tubuh bagian perutnya dan sebuah serbet di tangan.

"Eh Bang Johar. Iya nih, kebetulan malam ini purnama, jadi aku menikmati sebentar di sini. Cakep Bang pemandangannya."

Johar berjalan mendekatiku. Ia duduk di samping. Banyak cerita yang ia obrolkan. Sesekali kami tertawa dan wajah imut itu mulai menghiasi banyak hari bersamaku.

Tak seberapa cahaya rembulan merasuki wajah malam. Namun sebenderang itu aku berjalan bersama rinai tawamu yang memecah sunyi savana.

Tak mengerti aku dengan gemilang gebyar hati. Bisaku lelap pada curi pandang di balik bukit. Berharap pada gulali kehidupan, yang kutahu tak mungkin kureguk dengan tanpa tangan.

Cukup hadirmu, tawamu, ucapanmu menjadi cerita fiksi. Di hatiku yang paling salju tak pernah kuukir warna cerah, sekalipun kau adalah kumpulan jembatan pelangi itu.

***

"Minggu besok kita jalan, yuk."

"Ke mana, Bang?"

"Nonton, mau gak?"

"Mau gak ya? Kupikir dulu lah, Bang. Aku gak pernah pergi nonton soalnya."

"Makanya aku ajak. Mau ya?"

"Ok deh."

Sikapku mengiyakan ajakan Bang Rojak, sebenarnya bikin kepalaku pusing. Bagaimana tidak? Aku tak punya baju bagus untuk pergi jalan-jalan. Paling jeans belel, oblong, atau jaket. Itu pun seragam perang saat aku harus ngeloper koran pagi-pagi.

Terpaksa sabtu siangnya keliling pasar, hanya untuk mencari hal yang tidak penting. Setiap toko aku sambangi, tapi belum juga kutemukan pakaian yang cocok dengan seleraku. Lagi dan lagi aku lebih tertarik dengan celana dan kaus. Kalau itu sudah punya aku, buat apa tambah lagi.

"Hei Kimora!!" Sebuah tangan mencengram bahuku dengan kasar. Aku menoleh.

Sempat terkejut aku. Bang Oji sudah berdiri di hadapanku dengan seringai. "Kemana aja kamu, hah!?"

Aku diam dan coba menghindar. Tapi tangan Bang Oji menahanku. Ia kemudian menyeretku ke belakang pasar.

"Duit mana? Minta!"

"Gak ada."

"Mana!!"

"Kubilang gak ada! Cari sendiri!"

BUK!! Pukulan telak mendarat di perutku. Aku terhuyung jatuh. Betapa sakitnya, hingga harus kudekap perutku sambil berbaring miring di lantai pasar.

"Heh, apa ini!?" Teriakan beberapa pedagang melerai kami.

"Diam Lu. Ini urusan gua sama adek gua!" sahut Bang Oji.

"Gak ada otak Lu, Bang. Adek perempuan Lu gebukin!"

Bang Oji menarik krah bajuku. Wajah kami sangat berdekatan. Hingga dapat terhirup aroma alkohol dari mulutnya yang kotor itu.

"Sini uang Lu, kasih ke gua, cepaaat!!"

CUIHH!! Aku ludahin wajahnya. Bang Oji membanting tubuhku ke tembok toko yang saat itu sedang tutup.

AAHH ....
"Bunuh aja gua, Bang. Tanggung kalo bisa lu cuma jadi pengecut gini. Dasar Sampah. Sampai dunia akherat gua gak bakal ngakuin Lu, saudara gua. Hehehe." Serapahku di depan Bang Oji membuatnya bertambah marah.

Kembali ia melemparkan tendangan ke arah perutku. Rasa sakit begitu hebat. Kurasa pecah lambungku saat itu juga. Tubuhku bergetar menahan mual. Muntahlah aku dengan beberapa percik darah yang menyiprat.

Aku coba berdiri, walau mataku mulai kunang-kunang. Yang kuingat saat itu wajah Bang Reno dan Bang Rojak. Air mataku menitik, di tengah kesadaranku sebagai gadis yang hidup dalam kerasnya zaman.

"Bang Reno ... Bang Rojak ...," lirihku lemah. Tungkaiku terasa semutan, yang aku tahu ini gejala mau pingsan. "Tidak, aku harus kuat."

Dengan posisi masih terkapar sambil meringkuk aku coba mengatur napas, agar bisa tetap sadar. Meskipun sudah tak sanggup lagi kugerakkan tubuhku.

"MANA UAANNGG!!" Teriak Bang Oji sambil menyeret kerahku dari belakang. Di bantingnya lagi tubuhku sampai menghantam salah satu rolling dorr yang tertutup.

Para pedagang yang berkerumun mulai geram.
"Heh cari mampus Lu, Bang!!"

"DIAM LU SEMUA. INI URUSAN GUA!!"

Tiba-tiba sirine polisi berbunyi dari kejauhan. Menyadari hal itu segera Bang Oji hendak melarikan diri. Tapi, beberapa tangan menahannya.

"Mau kemana Lu? Lari? Tar gua bikin bonyok dulu, kayak yang Lu lakuin sama tuh cewek!" leceh salah seorang pedagang. "Hayuk bapak-bapak! Kasih pelajaran nih preman!!" teriak pria itu kemudian.

Sontak semua pedagang yang merasa terancam dengan sikap Bang Oji, akhirnya turun tangan. Ambil bagian melayangkan pukulan demi pukulan.

Mereka hanya ingin pasar itu bebas dari tindak premanisme yang seenaknya.

Aku melihat dengan gemetar, tanpa bisa melakukan apa-apa. Entah ... masih hidup atau sudah meninggal Bang Oji. Kulihat tubuhnya penuh luka dan wajahnya pun tak lagi bisa kukenali. Terakhir ... itu yang kurasakan, selepas duniaku menjadi gelap. Aku tak lagi bisa merasakan apapun.

***

Saat kubuka mataku, yang terhirup adalah bau alkohol. Juga seraut wajah baby face dan wajah Bang Reno.

"Bang Rojak ... Bang Reno ...," ucapku pelan.

"Syukurlah kamu sudah sadar, Kim," balas Bang Rojak.

"Lain kali kalo Lu mau pergi bilang kami, siapa tahu ada salah satu dari kami bisa mengantar," timpal Bang Reno.

"Iya Bang."

Beberapa hari ini terpaksa aku dirawat di rumah sakit. Kebetulan ditemani oleh Bang Rojak.

"Kita gak jadi pergi nonton deh kemaren."

"Hehehe ... iya, Bang. Tar deh selepas dari rumah sakit kita pergi. Sayang sekali, baju yang kemarin sempat aku beli kayaknya hilang di pasar," keluhku.

"Gak pa pa. Nanti kubelikan lagi."

Sejak itu kami menjadi sangat dekat. Sesekali ada canda, sesekali pun rindu.

Kebahagiaan yang membiusku, tanpa sepatah kata cinta. Karena telah kucinta dia dalam hatiku. Seolah aku telah tahu, begitupun dia ... yang telah mampu menyayangiku.

Kalau aku dengan egois meminta pada Tuhan agar bisa bersamamu sepanjang hidupku, maukah kau memohonkan hal yang sama?

Aku berdiri di kokoh rasa. Sedalam laut yang tak berubah warna. Sehangat mentari yang tak bosan menyapa pagi. Keyakinan itu semakin hari semakin dalam.

Memelukmu dalam diam dan di antara seloroh. Aku tenggelam dengan tanya yang tak berkesudahan tanpa kuperlu jawaban. Bahwa keyakinan itu mutlak adanya tanpa aku ragu. Kau pasti juga ingin tetap bersamaku.

***

Tak terasa hampir dua tahun aku bekerja sama dengan Bang Rojak. Berhubungan dekat hingga munculnya rasa nyaman.

Sore itu redup. Mendung menggayut langit dengan rayuannya yang maut. Ada salipan kilat memecah kristal beku di langit sana. Awan yang mengabu, semakin tirus oleh dingin dan sembabnya. Seolah tangis langit hendak memecah udara.

"Kim, kalo sudah selesai ke ruanganku, ya."

"Ok Bang."

Aku tahu, ini saat yang tepat buat hubungan kami berlanjut. Bang Rojak pasti sudah bicarakan dengan orang tuanya. Aku pun telah siap.

Selesai berbenah sengaja kurapikan seluruh tubuhku. Mandi air hangat lalu mengenakan pakaian yang pantas sebagai seorang gadis. Karena malam ini, bisa saja kami akan menemui keluarga Bang Rojak.

Kusiapkan wajah seceria mungkin. Jangan sampai tertinggal gincu merah jambu. Duduk di depan cermin, tampak olehku sosok Kimora yang cantik. Ternyata aku tidak terpaut jauh dengan model pembersih wajah oval itu. Berkulit kuning dengan mata yang lembut dan dagu yang tipis.

Kuketuk pintu ruangan Bang Rojak.

"Yaa ... Masuuk!"

Pintu terbuka. Tampak si baby face itu di sana, sedang duduk dengan lengan kemeja putih yang tergulung ke atas. Wajahnya tersenyum menyadari kehadiranku.

"Hai ... sini masuk, cantik," sapanya. Ini pertama kali pria itu memanggilku cantik.

Benarkah aku secantik itu? Kau tahu ... kau pun selalu memesonaku, Bang.

Aku melangkah dekati Bang Rojak.
"Duduklah ... abang mau ngomong sebentar."

Aku turuti ucapan kesayanganku itu.
"Gini Kim, bulan besok kan aku akan menikah, kira-kira kamu mau gak jadi pager ayu di resepsiku nanti? Soalnya gadis yang dijodohkan Mama padaku kebetulan orang Jawa. Anak temannya Mama."

Aku mendengar halilintar yang menghanguskan semestaku. Selayak daun yang meranggas, harapku terjatuh dan mengering.

Tandus itu adalah sangka yang selama ini kudekap bagai saujana cinta. Tak mudah aku mengelak dari cinta yang patah. Yang gelimangnya tertangkup tangan tanpa gayung bersambut.

Namun kokohku berdiri tetap setegar beringin. Terus tersenyum meskipun terluka dan tak ingin.

"Pasti aku mau, Bang. Abang kan sudah banyak menolong. Aku berhutang budi pada kebaikan Abang."

"Kau ini memang, adikku yang sangat baik. Kalau aku menikah nanti, kamu mau gak gantikan aku ... tinggal bersama Mama? Rumah itu terlalu besar buat beliau. Di samping itu, mama kan juga sudah dekat denganmu?"

Aku tersenyum. "Aku pikir dulu, ya Bang. Ini kan keputusan besar buatku. Abang tahu sendiri Bang Oji kakakku itu berbahaya. Aku tidak ingin orang yang dekat denganku juga terancam."

Bang Rojak menepuk-nepuk jemariku. Aku adalah adik baginya ... ya, tak salah buatnya. Aku yang telah memupuk angan menjadi harapan. Bodohku tak membaca jalan Tuhan.

Biarlah sepanjang usia kusimpan, segala kenangan tentangmu. Juga cinta yang penuh cerita dalam sebuah buku kosong.

"Nah, karena kerjaan udah selesai, kita jalan-jalan yuk! Nikmati malam minggu ini. Mumpung kamu belum punya pacar."

Aku menatapnya tak percaya. Sejauh ini kita melangkah, sedalam ini rasa yang ada. Namun tak satupun terbesit di hatimu tentang sebuah cinta.

"Yuk!!" Jawabku tersenyum. Bersamaan dengan lelehan air mata di hatiku.




Hikayat0120.
Fin.

____

Jangan lupa like, follow, subscribe dan bintangnya, Kakak😊🙏
Diubah oleh hikayat0120 11-08-2020 00:27
delia.adelAvatar border
TaraAnggaraAvatar border
sseeenvAvatar border
sseeenv dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.3K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.