rinnopiant
TS
rinnopiant
Cerpen (Horor): HANGIT



Entah kenapa malam ini rasanya kamar indekosku begitu panas. Padahal baling-baling kipas angin tak pernah berhenti berputar, bahkan pintu dan jendela pun kubiarkan terbuka. Kaus oblong yang kupakai terasa seperti jaket tujuh lapis membalut tubuh. Keringat mengucur seperti diperas dari kulit eksotisku.

Sambil menggerutu, aku terus mengipas-ngipaskan kertas bekas bungkus gorengan pemberian ibu kos sore tadi. Sebentuk penghargaan, sebab konon aku satu-satunya penghuni yang tak pernah menunggak pembayaran.

Semakin terpanggang rasanya berada di dalam kamar. Entah kenapa aku malah mencium bau hangus, padahal belum lama tadi aku telah mandi.

Akhirnya kulangkahkan kaki, beranjak menuju ambang pintu. Akan tetapi, saat menoleh ke kanan juga kiri, semua pintu tetangga rapat tertutup. Tak ada siapa pun yang bisa diajak berbincang, sekadar mencari angin segar.

Teringat bahwa azan Isya baru saja berlalu. Biasanya pada jam-jam ini pos ronda tak jauh dari indekos, menjadi tempat berkumpulnya bapak-bapak. Gazebo berbentuk panggung berukuran dua kali dua meter, dengan alas susunan papan kayu itu menjadi tempat warga sekitar melewati malam. Ada yang sekadar mencari teman ngopi, ada yang asyik bergosip itu ini, ada juga yang dalam upaya melarikan diri dari kaum istri yang sedang uring-uringan di rumah.

Setelah mengunci jendela juga pintu kamar, dengan tetap hanya mengenakan kaus oblong juga kolor boxer hitam, aku memutuskan untuk pergi menuju pos ronda. Namun, baru selangkah keluar dari gerbang, dari jauh kulihat tempat itu sepi. Tak seperti malam-malam kemarin. Sempat terpikir untuk mengurungkan niat semula, tetapi kulanjutkan langkah saat melihat Agus, tetangga yang tinggal persis di samping kanan kamar indekosku, tengah duduk seorang diri di tempat itu.

“Kok, tumben sepi, Gus?” tanyaku setibanya di sana.

Agus mengembuskan asap rokok ke udara. “Iya, mungkin sebab ini malam jumat.”

“Oh, pantesan. Lagi malam jumatan kali ya,” selorohku, seraya duduk di samping Agus.

“Bukan. Mereka itu pada takut.”

Aku memantik api pada ujung rokok di mulut. “Takut apa?”

“Takut setan. Di sini kan angker, Yo.”

“Ah, aku nggak percaya takhayul, Gus. Masa mereka takut begituan.” Seketika pos ronda di penuhi asap putih yang mengepul dari rokok kami.

“Eh, sampeyan tahu nggak? Indekos itu dulunya kuburan,” beber Agus, sambil menunjuk arah rumah tempat kami tinggal.

“Tempat indekos kita? Masa?”

Agus mengangguk, seraya mengisap lagi rokok ditangannya yang tinggal setengah batang.

"Tapi nggak pernah ada yang aneh-aneh, ah."

"Itu ... di kamarmu, Yo. Dulunya ada yang mati di situ." Agus membakar satu batang rokok lagi. Entah kenapa rasanya rokok di tangan lelaki itu cepat sekali habis, "Terpanggang, waktu ada kebakaran."

Aku terperangah. "Tahu dari mana, Gus?"

"Ceritanya nyebar, semua orang tahu itu." Agus memberi jeda. "Suka bau hangus nggak di kamarmu, Yo? Suka berasa panas banget nggak di sana?"

"I-iya sih," jawabku terbata.

"Baru saja tadi aku mengalamainya," batinku.

Tiba-tiba burung gagak terbang melintas di atas kami, sambil Cumiik.

Aku terperanjat. "Jangkrik! Bikin kaget aja."

Agus tertawa kecil. Kusentuh bulu tengkuk yang terasa meremang. Entah kenapa suasana berubah tegang.

"Malam ini memang panas banget perasaan," ungkapku.

Bibir Agus menyungging. "Seperti terpanggang?"

Aku berdecak. "Ngomongin terus begituan. Nggak ada faedahnya."

Tak lama kemudian ponselku berdering di dalam saku celana. Kemudian alangkah terkejutnya diriku saat membaca nama kontak yang memanggil, Agus, berkali-kali kueja dan kubaca ulang nama yang tertera di layar tetap sama.

Aku menoleh perlahan ke arah Agus yang masih anteng mengisap rokoknya. "Kok!"

Perasaanku mulai tak enak. Seketika teringat cerita Agus sesaat lalu, tentang rumah indekos kami yang konon angker. Bisa jadi yang menghubungiku adalah Agus jadi-jadian, padahal lelaki itu sedari tadi di sini bersamaku.

Cukup lama menggenggam dan membiarkan ponsel itu berdering. Akhirnya kuberanikan diri menjawab panggilan dari Agus.

"Ha-hallo," kataku terbata.

"Karyo, kamu di mana? Digedor-gedor dari tadi nggak nyaut-nyaut. Keluar yuk, cari makan." Logat bahasa juga suara dalam panggilan itu amat kukenal. Aku yakin yang berbicara benar-benar Agus.

"Karyo ... hallo!"

Tubuhku kaku mematung. Seret menelan ludah, rasanya seperti leherku menyempit seketika. Terlebih lagi tiba-tiba bau hangus menyeruak. Aku semakin kalap.

Dengan tangan gemetar kuletakkan kembali ponsel di saku celana. "Eum ... a-aku balik duluan, Gus."

"Kok, buru-buru?" tanyanya, datar saja.

"I-iya, udah malam," jawabku tanpa berani menoleh.

Ujung mataku saja yang samar-samar melihat sosok itu telah berubah wujud. Hitam, tak berbentuk, dan mengepulkan asap dari sekujur tubuhnya. Aku bangkit, bergegas melangkah.

"Udah malam, atau udah tahu?" tanya Agus, setengah berteriak. Lalu terbahak, suaranya menggema seolah akan memecah gendang telinga.
Aku berlari sekencangnya.

Tamat.
Diubah oleh rinnopiant 16-07-2020 00:36
redricestmdnt.cosemahbaduy
semahbaduy dan 21 lainnya memberi reputasi
22
4.3K
59
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.