mfitrahilhami
TS
mfitrahilhami
dsds
Dua anak ini sedang dihukum Uminya. Seharian tidak boleh keluar rumah. Sebabnya, tadi pagi mereka sudah hampir bikin jantungku copot.

Sekitar jam 7 pagi, Ayas datang padaku lalu bilang, “Abi, minta tolong keluarin sepeda Ayas. Mau main.”

Aku mengangguk, mengeluarkan sepeda dari dalam rumah dan berpesan, “Jangan jauh-jauh. Jangan keluar pagar gang. Janji?”

Aku serius sekali menyampaikan pesan itu, seserius emaknya bilangin aku, “Awas jangan main mata sama cewek lain” ketika aku sedang kerja.

Teringat kemarin malam bersama seorang temannya, Ayas bersepeda sampai keluar gang. Ke jalan raya. Aku tahu hal itu ketika tetangga tergopoh-gopoh mengetuk rumahku lantas berseru,

“Mas, cepat susul anaknya! Itu dia sepadaan sampai ke jalan raya.”

Ya Allah, bergegas aku mengambil kunci dan menggeber motor ke jalan raya. Aku menemukan Ayas dan seorang temannya yang tampak kebingungan. Kayaknya mereka lupa jalan pulang.

“Ayas.”

Dia melihatku seperti melihat malaikat penolong. “Abiii…”

“Pulang.”

Aku arahkan dia pulang ke rumah. Sesampai rumah, aku dan istri mengomeli Ayas habis-habisan.

“Kan sudah Umi bilang, jangan jauh-jauh sepedaannya. Sudah, Bi. Gembosin saja ban sepedanya,” ucap istri.

Ayas mewek. “Jangan, Abi. Jangan digembosin ban sepeda Ayas.”

“Ya sudah, kalau gak mau digembosin bannya, Ayas nurut Abi Umi. Kan udah Abi bilangin berkali-kali jangan lewat pagar gang.” Aku berseru.

Ayas menunduk, “Ayas minta maaf, Abi. Ayas janji gak akan mengulangi lagi. Tadi tuh, Ayas diajak Saiful sepedaan keluar gang.”

“Berarti Ayas lebih nurut sama Saiful daripada Abi?”

Ayas mengangguk. Lah, ngangguk lagi dia.

Akhir-akhir ini kami sering dibuat sebal oleh teman main Ayas satu itu. Namanya Saiful (nama samaran). Sejak Ayas suka main bareng dengan Saiful, banyak perubahan sikap yang tidak baik menurut kami. Sekarang Ayas sering banget mengucapkan kata-kata yang tak kami suka, seperti, “Umi gendheng. Abi kayak eek. Adek kayak kentut.”

Aku sampai kaget ketika ia berucap seperti itu.

“Hey. Ayas gak boleh ngomong kayak gitu. Siapa yang ngajarin?”

“Tapi Saiful sering ngomong kayak gitu, kok,” jawab Ayas.

Lain kali, Ayas yang sedari kecil sudah kami latih adab toilet, tiba-tiba keluar dan pipis di saluran air depan rumah.

“Hey, Ayas. Kalau pipis di kamar mandi. Jangan di sana.”

Ayas jawab, “Tadi Ayas lihat Saiful pipis kayak gini. Gak dimarahin sama Mamanya.”

Duh, anak itu lagi.

Saiful memang sering banget datang ke rumah. Main sama Ayas. Tapi entah mengapa aku dan istri selalu risih bila ada dia. Sebab, dia selalu aneh-aneh kalau main, tak selayaknya anak usia 4 tahun. Suatu kali dia masuk ke kamar membongkar isi lemari. Di waktu lain, ia menyiramkan air pembuangan AC pada badan Ayas hingga basah kuyup. Membuat lantai banjir. Hingga pada suatu ketika, istri bilang padaku,

“Tahu, ndak, Bang. Tadi kan Ayas aku suapi makan siang. Sengaja aku kunci pintu rumah biar Saiful gak masuk. Soalnya kalau ada Saiful dia gak mau makan. Maunya lari-lari terus.”

Aku mendengarkan cerita istri.

“Nah, saat aku lagi nyuapin Ayas, tiba-tiba Saiful sudah ada di dalam rumah. Aku kaget. Tanya ke dia, ‘Kamu masuk dari mana, Ful?’ dia enteng saja jawab masuk dari jendela samping. Aku memang buka jendela samping biar ada angin masuk, tapi gak nyangka Saiful bakalan melompat masuk lewat sana.”

Aku menepuk dahi. Anak itu lagi. Setelah hari itu Ayas berkali-kali kedapatan keluar masuk rumah dari jendela. Dan itu karena habis dibisiki si Saiful.

“Bang, ini anak jujur saja bawa pengaruh buruk ke Ayas. Semenjak dia sering main ke sini, Ayas sudah gak mau belajar lagi, ngaji malas-malasan, pinginnya main terus. Lah, gimana ada waktu belajar, wong sebentar-sebentar disamperin terus sama Saiful. Gimana ya, Bang?”

Tak tahu harus jawab apa. Sebab rumah si Saiful ini emang dekat dengan rumah kontrakanku. Aku terlalu sungkan bila harus melarang Saiful masuk ke rumah, karena anak ini gigih –kalau tidak disebut keras kepala--. Dulu, saat ia menyusul Ayas ke rumah, aku pernah sengaja menguci pagar rumah. Batinku, setelah pagar dikunci, ia akan segera pulang. Ternyata tidak, ia malah teriak-teriak dari luar sambil mukul-mukul pagar pakai sapu, “Ayas! Ayas! Ayas!”

Aku sampai sungkan pada orang tuanya dan para tetangga lain. Khawatir dianggap sombong karena tidak membiarkan anak tetangga main ke rumah. Soalnya pernah juga, ketika Saiful tak kubukain pagar dan pintu aku tutup, Ibunya berseru dari dalam rumahnya, “Saiful, pulang saja, Nak. Main di sini saja.”

Duh, sungkan aku.

Ayas-nya sendiri cocok banget main sama Saiful. Dia akan membukakan pagar kalau Saiful datang. Setelah itu dia akan main, lupa waktu, lupa makan. Aku pernah mengultimatum Ayas agar tidak main, sebab kebanyakan main membuat dia gak mau belajar lagi.

“Ada waktunya. Kapan main, kapan belajar. Kalau Ayas gak mau belajar, biarin besok Abi kerja gak pulang-pulang. Biar Ayas nyariin Abi. Mau?”

Biasanya setelah aku ancam seperti itu, Ayas akan menggeleng, “Abi kerjanya jangan lama-lama. Cepet pulang biar bisa sama Ayas di sini.”

“Makanya Ayas jangan main terus.”

Dia mengangguk.

Tak berapa lama, Saiful memanggil-manggil Ayas di luar pagar. Si Sulung menatapku, “Abi, Ayas boleh nemuin Saiful? Gak keluar kok, cuma mau bilang saja kalau Ayas gak boleh main dulu.”

Ini anak sungkanan betul, pikirku. Mirip sekali sama bapaknya. Akhirnya, aku izinkan dia nemui Saiful.

Aku lihat Ayas berjalan ke pagar, mengira ia akan segera balik badan sesuai janji. Tapi entah apa yang dikatakan oleh Saiful, Ayas tiba-tiba membukakan pagar dan malah main keluar. Istri yang melihat itu langsung bilang,

“Bang, Ayas kena gendam lagi itu.”

Kami pun tertawa.

Suatu ketika Si Saiful datang waktu Ayas aku ajari membaca. Si Saiful bilangnya hanya duduk melihat Ayas belajar. Aku izinkan. Di tengah belajar, Saiful ke kamar ambil mainan Ayas. Hal itu membuat Ayas gak fokus belajar. Karena gak fokus, bacanya jadi salah-salah. Berkali-kali aku benerin. Nah, saat itulah Saiful bilang ke Ayas, "bodoh kamu, Yas."

"Hey. Gak boleh ngomong kayak gitu, Ful." Aku mengingatkan.

"Gak papa."

Ini anak gak takut dijewer emang. Aku suruh dia pulang.

Sampai sekarang kami masih bingung bagaimana harus bertindak pada Saiful yang tak berjeda ngajak Ayas main.

Pernah kami bilang pada si Saiful secara langsung, “Ful, jangan main terus.”

Eh, dia jawab, “Enak main terus.”

“Ful, belajar dulu.”

“Aku gak sekolah, kok.”

“Ful, mandi dulu.”

“Aku udah mandi.”

“Ful, makan dulu gih.”

“Mamah belum masak. Nanti aja makannya.”

“Ful, ayo sholat dulu sama Ayas.”

“Aku gak sholat.”

“Ful, aku nyemplung sumur aja dah, Ful.” Sebel. Dia selalu saja nemu jawabannya.

***

Sebelum ini, istri juga bilang ke aku kalau Ayas diajak Saiful ke taman, di sana mereka nyari cacing terus dibakar.

“Tangan Ayas kena api, tapi dia gak ngaku. Paling takut dimarahin,” ucap istri padaku. “Bingung aku, Bang. Pingin Ayas berteman sama Saiful. Tapi diajak main yang aneh-aneh terus.”

Aku juga berpikiran yang sama. Itu sebabnya, Ayas sering aku suruh main sama teman yang lain. Tapi dia lebih nyaman sama Saiful. Cuma aku was-was dengan cara main anak itu. Seperti tak sewajarnya anak-anak. Sering teriak-teriak kalau manggil Ayas. Pernah juga Ayas dibuat nangis, saat aku tanya mengapa? Ayas jawab matanya habis dilempar pasir sama Saiful. Aku pernah lihat Ayas mewek saat mereka main berdua, ternyata dia abis ditendang Saiful. Sejak saat itu, aku bilang ke Ayas,

“Ayas kalau ditendang atau dipukul duluan sama Saiful atau siapa pun, balas pukul. Mending berkelahi saja, dah. Jangan pulang sambil nangis. Abi gak suka.”

Entah salah atau benar saran ini. Sebab, aku khawatir ketika Ayas sering nangis, maka akan sering pula dia akan dinakalin. Dah, mending balas aja di tempat. Mau gimana lagi? Aku marahin Saiful takut silaturahmi sama Ibunya jadi jelek. Mana tetangga dekat lagi.

Tapi Ayas seperti gak ada kapoknya. Padahal sering dibuat nangis sama Saiful, namun besoknya mereka main bareng lagi. Aku suruh Ayas main sama yang lain, dia gak mau. Cocoknya sama Saiful. Padahal anak lain di kampung gak ada yang mau main sama Saiful. Nakal, katanya. Suka mukul, suk teriak-teriak.

Dan kemarin puncaknya… Saat Ayas minta main sepeda, aku pikir dia akan sepadaan di dalam gang saja. Si bungsu, Kayla, minta ikut main pakai sepeda sendiri. Aku membolehkan mereka, kemudian balik lagi ke rumah untuk jemur baju. Hingga, tiga puluh menit kemudian, seorang anak datang ke rumah dan melapor,

“Abinya, Ayas. Ayas naik ke rumah kosong.”

Aku terperanjat, “Sama siapa?”

“Sama Kayla sama Saiful.”

Tanpa pikir panjang aku segera mengambil motor untuk menyusul mereka. Di ujung gang kami memang ada sebuah bangunan lantai 3 yang belum jadi. Di lantai dua tidak ada pembatas, tangga untuk naiknya juga tidak ada pembatas. Ketika mendengar anak-anak main di sana, aku panik sekali.

Kugeber motor ke luar gang. Berkelebat di pikiran, sesuatu yang tidak-tidak. Saiful anaknya suka iseng. Dulu aku lihat dia pernah mencoba menabrak Kayla dari belakang, ketika si kecil main lari-lari. Mungkin dianggapnya lucu. Aku khawatir saat di bangunan kosong itu, mereka naik ke lantai tiga yang tak ada pembatas itu, lalu mainan dorong-dorongan. Ya Allah.

Semenit kemudian aku sampai di bangunan itu. Kulihat sepeda Ayas, Saiful dan Kayla tergeletak di lantai bawah. Bangunan itu sepi sekali kemarin.

Ketika aku mendongak ke atas, jantungku seperti mau copot. Kulihat Ayas, Saiful dan Kayla, berlari menuruni anak tangga di lantai 3 yang tak ada pembatas itu. Aku jeri ketika lihat posisi Kayla hanya selangkah dengan bibir anak tangga. Kayla bergeser ke samping satu langkah saja, ia akan langsung terjun ke lantai bawah.

“BERHENTIIIII!!!!!” Aku berteriak, membuat perhatian warga kampung tertuju padaku.

Mendengar itu, Kayla langsung duduk tak bergerak. Dia menangis karena takut dan kaget. Sedangkan Ayas dan Saiful tetap berlari menuruni anak tangga.

“BERHENTIII!” Aku segera berlari ke atas menyusul mereka, sampai lupa kunci motor belum aku ambil. Orang-orang menonton hal itu sambil menutup mulut.

Sesampai di atas, refleks kugendong Kayla, lalu menjewer telinga Ayas dan Saiful. Biarin dah meski Saiful bukan anakku. Segera kubawa pulang mereka. Warga kampung sempat bilang, “Susah dibilangin itu, Mas. Tadi diajak Saiful naik-naik rumah kosong. Sudah dimarahin warga. Saya pikir sudah pulang ternyata balik lagi.”

Di rumah, aku marahin Ayas habis-habisan.

“Siapa yang suruh Ayas naik ke rumah itu? Ayas sendiri?”

“Saiful, Bi.”

“Yang jujur! Ayas apa Saiful yang ngajak?”

“Saiful, Bi.”

Aku menghembuskan nafas panjang. Bahaya banget ini anak mainnya. “Kalau Ayas jatuh dari sana, Abinya nangis, Nak. Ayas mau Abi nangis?”

Dia menggeleng lemah.

“Makanya yang nurut Abi, Nak.”

“Ayas sudah mau pulang, tapi Saiful ngajak Ayas sama adek naik ke rumah itu lagi. Kalau Ayas gak mau Saifulnya marah. Ayas gak punya teman lagi nanti,” jawabnya.

“Sudah, Bi,” ucap istri. “Biarin, hari ini Ayas sama Adek dihukum. Gak boleh keluar rumah seharian. Kalau masih keluar rumah, sepedanya digembosin saja.”

Ayas menunduk, tapi adeknya tampak tak ada rasa bersalah sedikit pun.

Jadi seharian itu, Ayas dan Kayla tidak diperbolehkan keluar rumah. Pagar kami gembok. Di malam hari dengan tampang bosan Ayas tanya, “Umi, kapan hukumannya selesai?”

“Sampai besok,” tegas istri.

“Ayas bosen.”

Akhirnya, kami mengusulkan untuk main bareng di dalam rumah. Kami manfaatkan kebersamaan dengan bernyanyi lagu sholawat, menggambar dan akhirnya main ninja-ninjaan. Mereka terlihat begitu senang. Seperti lupa, kalau tadi pagi sudah bikin orang tuanya hampir pingsan.

****

Surabaya, 06 Juli 2020
Fitrah Ilhami, penulis 10 buku keluarga

Pemesanan via WhatsApp, bisa langsung klik link ini:

wa.me/6288218909378
Diubah oleh mfitrahilhami 07-07-2020 06:47
bukhoriganzaiimportjiyanq
jiyanq dan 2 lainnya memberi reputasi
3
637
4
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.