cattleyaonly
TS
cattleyaonly
[Romansa Silam] Tersesat di Kerajaan Pengging

Pict by Pixbay
#Fanfiction
#Setting sejarah

Kupandang wajah Arjuna yang sedang tidur. Dia lucu seperti bayi besar. Sungguh, aku tak pernah bisa benar-benar marah padanya, meskipun lelaki itu telah berselingkuh untuk ketiga kalinya. Isyana, sahabatku, mengatakan aku wanita tolol sedunia. Mungkin dia benar. Namun, aku tidak peduli dengan wanita-wanita lain Arjuna, selama aku menjadi prioritas utamanya.

Arjuna terbangun. “Kau tidak tidur?"

Aku menggleng. "Aku terlalu bersemangat untuk bisa tidur."

"Jangan sampai matamu berkantung besok, kita akan melakukan sesi pemotretan.”

"Tenang saja, aku mempunyai krim mata yang bagus."

"Ah, terserah kau saja, yang penting kamu bahagia." Arjuna menepuk punggung tanganku kemudian kembali memejamkan mata.

Aku memandang keluar jendela, terlihat deretan rumah-rumah yang diterangi cahaya remang. Malam terlihat semakin syahdu, tapi entah kenapa ada yang berdesir dalam hatiku, semacam sebuah firasat, yang aku sendiri tak tahu arahnya.

Kira-kira setengah jam kemudian, kereta api yang kami tumpangi tiba di Jogja. Kami segera menuju rumah salah satu kerabat Arjuna dan  menginap di sana. Kerabat Arjuna itu bernama Pak Baroto, penabuh gamelan, sedangkan istrinya, savitri adalah penari di sendratari Ramayana yang biasanya dipergelarkan di halaman Prambanan. Aku sangat ingin menonton sendratari itu, tetapi kami harus menunggu malam untuk bisa menyaksikannya.

Pagi setelah sarapan, aku dan Arjuna segera menuju Prambanan dan melakukan beberapa sesi pemotretan. Aku mengenakan gaun marun sepanjang betis berlengan pendek. Setelah itu, kami berjalan-jalan, menikmati peninggalan Wangsa Sanjaya itu sebagai turis. Aku sama sekali tidak percaya mitos, pacaran di candi ini akan berakhir dengan putus. Ketika mulai berjalan berkeliling, entah kenapa aku merasa sangat mengenali tempat itu, seolah-olah aku pernah ada di sana sebelumnya. Bahkan aku bisa menerangkan tentang tiga candi besar dan candi-candi kecil yang mengelilinginya dengan lancar kepada Arjuna. Lelaki itu menatapku dengan heran. “Apakah semalaman kamu membaca semua itu di internet?”

"Entahlah, aku merasa mengenal tempat ini sebelumnya, seperti deja vu."

Arjuna mengernyitkan kening.  Aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Bagaimana aku bisa bertutur begitu saja. Kami kembali berjalan melihat-lihat sisi candi yang lain, saling diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di sisi sebuah candi kecil aku melihat sesuatu yang tak biasa, semacam pintu gerbang untuk masuk ke sebuah wahana. Didorong oleh rasa penasaran, aku pun mengajak Arjuna untuk melihat.

“Apakah kalian ingin masuk?” tanya seorang petugas di depan gerbang. Lelaki itu memakai blangkon dan berpakaian adat jawa.

"Apa yaang ada di dalamnya?" tanyaku.

"Lihat saja sendiri."

Aku memandang Arjuna, tetapi lelaki itu terlihat ragu. "Bisakah aku berfoto dengan Bapak ini?" pintaku padanya. Arjuna pun mengambil potretku dengan penjaga wahana itu. Arjuna menunjukkan hasil fotonya.


"Ayo, Jun, kita ke dalam," kataku

"Apakah kamu yakin mau masuk. Sepertinya tempat ini membuatku merinding."

"Halah, nggak ada apa-apa. Paling wahana baru. Ayolah, aku penasaran isinya."

Arjuna melihatku dan mengangkat bahunya pertanda dia menyerah dengan keinginanku.

Ketika hendak memasuki gerbang, tanpa sengaja kulihat papan nama di dada si petugas. Di sana tertulis “Rakai Pikatan”. Aku spontan berkata pada lelaki itu, “Hai, Pak, apakah orang tua Anda terinspirasi pendiri candi ini ketika memberikan nama?”

Lelaki itu hanya tersenyum dan membungkukkan badan, mempersilakan kami masuk. Aku geleng-geleng kepala lalu melambaikan tangan kepadanya sebagai salam perpisahan.

Aku dan Arjuna berjalan melewati sebuah gerbang kemudian menemukan sebuah lorong yang remang. Di ujung lorong tiba-tiba ada sebuah kekuatan menarik kami memasuki labirin. Aku tidak bisa melihat Arjuna, tetapi ketika terjatuh di tanah, lelaki itu ada di sampingku. Pandanganku memindai sekeliling, sebuah tempat penuh pepohonan, seperti hutan.

“Di mana kita?” tanya Arjuna.

“Entahlah.” Aku meraih ponsel yang tergeletak di sebelah dan segera mengaktifkan lokasi tapi sinyal internet di tempat itu tidak ada. “Sial!” rutukku. Ketika keluar dari aplikasi google map, kulihat pesan dari mama. Mama akan menggugat cerai papa. Keluargaku memang sudah lama hancur. Papa dan mama tidak pernah memberi perhatian padaku dan sibuk dengan hidup mereka sendiri. Hanya Arjuna yang selalu setia menemani, karena itu aku tidak bisa kehilangan dia. Meskipun terkadang aku harus menelan rasa sakit karena rumor-rumor tentangnya. Bagaimana tidak, lelaki itu berwajah cukup tampan. Dengan kelemahlembutan sikap dan senyumnya, kurasa para wanita langsung bertekuk lutut.

Aku dan Arjuna mulai berjalan melewati rimbunnya semak dan pepohonan besar. Setelah cukup jauh berjalan, kami menemukan sebuah jalan kecil dan terus mengikuti jalan  itu.untuk mencari orang yang bisa ditanyai. Setelah beberapa lama berjalan, kulihat seorang wanita tua sedang duduk menganyam pandan di halaman. Dia memandang ke arah kami ketika aku dan Arjuna mendekat.

“Eh, ada tamu, Aden-Aden ini dari mana?” sapa si wanita menggunakan bahasa Jawa kuno. Entah kenapa aku mengerti apa yang dia katakan. Kami pun berkenalan. Wanita itu bernama Nyi Laksmi.

"Maaf, Nyi, ini desa apa namanya?" tanyaku dengan bahasa jawa kuno juga. Sejenak, aku merasa sangat exited.

"Ini perbatasan Pengging dan Boko, Den Ayu."

"Bukankah pengging dan keraton Boko itu hanya legenda? Mitos?"

"Sama sekali bukan, Den Ayu. Lihatlah sendiri, ini nyata. Pangeran kerajaan Pengging baru saja memenangkan pertarungan atas Prabu Boko. Orang-orang mengatakan ini hanya rekaan, tetapi kami ini nyata," kata Nyi Laksmi dengan jawaban berapi-api. "Aden-aden ini dari mana dan hendak ke mana?"

"Kami dari Jakarta. Kami sedang berjalan-jalan di candi Prambanan, tapi malah kesasar sampai ke sini."

"Candi Prambanan?" Nyi Laskmi mengernyikan kening. "Tempat apakah itu?"

"Sebuah candi Hindu, Nyi, yang dibuat oleh Raja Rakai Pikatan."

Nyi Laksmi Manggut manggut.

"Nyi, kami tersesat, bsakah Nyi laksmi menunjukkan arah kami untuk pulang ke Jogja atau ke candi Prambanan?" tanya Arjuna.

"Maaf sekali, Den Bagus, saya sama sekali tak tahu tempat yang Den Bagus maksud. Tetapi kalau mau mencari tahu, sebaiknya ikut saya sepasaran lagi. Saya akan pergi ke kota kerajaan Pengging ini. Mungkin di sana ada orang yang mengerti tempat yang Den Ayu maksud."

"Baiklah, Nyi. Tetapi ... apakah kami boleh sementara tinggal di sini?"

"Boleh sekali, Den, Silakan tinggal sesuka hati kalian. Saya hanya sendiri. Suami dan anak saya telah lama meninggal karena pagebluk."


Kami pun duduk di balai-balai bambu. Nyi Laksmi menyuguhkan ubi bakar dan segelas air. Bagiku, ini ubi bakar pertama yang masuk ke mulutku. Rasanya cukup legit, dan kurasa aku akan menyukainya sebagai menu di tempat yang aneh ini. Mungkin kami masuk ke dimensi waktu lampau. Bagaimana kami bisa kembali?

Entah kenapa aku tidak merasa terlalu takut. Hidup di tempat yang jauh dari hingar-bingar seperti Jakarta ternyata enak juha. Aku malah tiba-tiba ingin melihat pangeran kerajaan Pengging. Bukankah dia Bandung Bondowoso? Seperti apa dia? 

"Nyi, bisakah saya bertemu dengan Pangeran Bandung Bondowoso?"

"Entahlah, Den Ayu. Jika kita beruntung, mungkin akan melihatnya berjalan di luar keraton."

"Untuk apa bertemu Pangeran Bandung Bondowoso?" tanya Arjuna dengan wajah tak suka.


"Pengen tahu tingkat ketampanannya saja," jawabku seraaya tertawa kecil."

"Kepo!"

"Cemburu, ya?"

"Nggak!"

Nyi Laksmi tertawa dan mengatakan, melihat kami dia teringat sang suami. Mereka juga suka bercanda dan saling cemburu. Namun, bukankah itu bumbu cinta?

Di suatu pagi. Nyi Laksmi mengajak kami menukar umbi-umbiannya dengan ikan dan baju. Kami berjalan cukup jauh, hingga kakiku terasa pegal-pegal. Tak berapa lama kemudian tampak sebuah pasar kuno yang pernah kutonton di televisi. Aku menggenggam tangan Arjuna, dan mengajaknya berkeliling. Orang-orang yang kami lewati memandang aneh. Mungkin pakaian kami dan gaya rambut yang sangat berbeda ini menjadi penyebabnya. Beberapa lelaki memandang dengan penuh kekaguman dan ketertarikan padaku. Nyi Laksmi menemukan pedagang yang ingin diajak barter. Kami berdiri di sampingnya menunggu.

"Siapa itu, Nyi?" tanya si penjual.

"Oh, ini tamu-tamuku, Nyi Estu," jawab Nyi Laksmi kemudian mengajak kami pergi. Wanita itu mengajak kami berjalan ke arah keraton. Setelah berjalan kira-kira dua jam, kami berada di sebuah tempat di mana seorang lelaki gagah dan wanita cantik berdiri berhadapan. Di sekeliling mereka siaga beberapa prajurit.

“Buatkan seribu candi untukku dalam satu malam, baru aku mau menjadi istrimu!” seru si wanita. Kurasa itu Roro Jonggrang. Hanya wanita itulah yang memiliki permintaan membangun seribu candi dalam satu malam. Menurutku itu wajar saja, wanita mana yang mau menikah dengan pembunuh ayahnya? Dia hanya mencari-cari alasan untuk bisa lepas dari pria itu. Kenapa Bandung Bondowoso begitu tertarik dengan Roro Jonggrang. Kulihat dia tak terlalu cantik, hanya saja matanya begitu indah dan membius.

"Siapa kalian!" tanya seorang prajurit. Suaranya cukup keras hingga mengusik 

 lelaki yang kurasa Bandung Bondowoso. Lelaki yang badannya tegap dan gagah itu berbalik dam memandang kami, tepatnya memandangku, matanya memancarkan ekspresi antara terkejut dan terpesona. Entah kenapa saat melihatnya, aku seperti masuk ke dalam pusaran rasa yang menghanyutkan. Dia cukup tampan, dengan dada bidang yang terbuka dan berkilat-kilat diterpa sinar mentari membuatku sedikit sesak napas. 

Dia mendekat padaku. “Siapakah kau wahai Nisanak? Aku Bandung Bondowoso. Apakah kau dewi dari kayangan yang turun ke bumi?”

Aku terkesima memandang sosok di depanku. Selama ini aku selalu membayangkan Raden Bandung Bondowoso berkulit cokelat dengan wajah yang biasa saja. Ternyata lelaki itu berkulit cerah  dan pembawaannya berwibawa. Aku menahan napas beberapa detik  ketika dia semakin dekat.

“Nama saya Dewi, Raden,” jawabku dengan gugup.

Raden Bandung Bondowoso menelanjangiku dengan pandangannya. Gaun marun yang kupakai terlihat sangat berbeda dengan baju yang dipakai wanita-wanita di sana. Dadaku berdegup kencang. Kuberanikan menatap matanya dan bertanya, “Kenapa Raden memaksa menikahi Roro Jonggrang yang sudah jelas-jelas tak mencintai Raden?”

“Aku? Entahlah. Apakah kau pernah merasa begitu jatuh cinta pada seseorang tanpa melihat apapun?”

Aku melirik pada Arjuna yang berdiri mematung. Aku mencintainya dengan membabi buta, sampai-sampai bersedia menjadi wanita paling tolol di dunia.

Raden Bandung Bondowoso memandangku cukup lama, melupakan percakapannya dengan Roro Jonggrang. Bahkan wanita itu dan pengawalnya  sudah melangkah pergi.

“Apakah kau mau menikah denganku?” tanya lelaki itu.

Aku terkesima. Apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama? Dia mengulurkan tangannya dan aku menerimanya. Genderang dalam dadaku semakin bertalu.

Sebuah portal berkilau muncul dari belakang Nyi Laksmi dan Arjuna. Arjuna menoleh karena silau sinarnya, kemudian memandang ke arahku. “Dewi, jalan pulang kita sudah muncul!” seru Arjuna.

“Tidak, Jun, aku tak mau pulang. Aku telah menemukan cintaku di sini.”

“Kamu akan mengubah sejarah. Prambanan akan lenyap.”

“Aku tak peduli.” Kurasakan pelukan hangat Bandung Bondowoso di lenganku. Seumur hidup aku belum pernah merasakan pelukan sehangat itu. Kulihat Arjuna  berusaha mengucapkan kata-kata tetapi tubuhnya dan Nyi Laksmi terseret portal cahaya kemudian lenyap dalam beberapa detik. Aku tersenyum membayangkan Nyi Laksmi akan menjadi siapa di luar sana. Kutatap Bandung Bondowoso. Kurasa, setiap wanita tak akan peduli, dengan siapa dan di mana berada, selama dia merasa begitu dicintai.


Written by Cattleyaonly
lonelylontongzaiimportjoki.ngepot
joki.ngepot dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.4K
63
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.