umiazizaAvatar border
TS
umiaziza
Sebening Cinta Zahira

Sebening Cinta Zahira

—Saat Jiwa Tersentuh Cinta—

Oleh : Umi Nur Aziza


Prolog

Cinta adalah hal mewah yang tak semua orang bisa memilikinya. Perasaan itu menyelinap diam-diam, terkadang memberikan bahagia, kadang pula memberikan luka. Memilih untuk bahagia saja saat jatuh cinta, itu tidak mungkin. Sebab, cinta adalah paket lengkap yang bisa membuat tertawa, bisa juga membuat seseorang berduka.

Zahira baru menyadari semua itu, saat sebuah kata putus terlontar dari bibir laki-laki yang amat disayanginya. "Aku gak ngerti. Apa maksudnya ini?" tanyanya sembari melihat mata sayu Fathan.

Laki-laki berkulit hitam manis itu hanya menggeleng. Namun, matanya sudah mulai panas dan berembun. Susah payah ia menahan air matanya agar tak terjatuh.

"Kamu gak bercanda, kan? Apa alasannya?" Zahira mencoba menguatkan diri, meski dadanya saat ini seperti ditusuk ribuan duri.

"Bukannya kamu pernah bilang jalan yang kita ambil ini salah? Aku belum punya keberanian untuk menikah karena aku belum punya pekerjaan tetap, tapi aku juga tidak bisa mengikatmu dalam ikatan yang dipenuhi dengan dosa ini," jawab Fathan mantap. Wajah tampan itu tertunduk. Sementara dalam dadanya bergemuruh, mencoba menahan rindu yang memburu.

Cukup lama mereka tidak bertemu, tapi saat bertemu, ia dengan terpaksa harus mengatakan kalimat menyebalkan itu. Kalimat yang amat dibenci olehnya sendiri, serta diyakininya dapat membuat Zahira begitu tersiksa.

"Kamu bohong. Pasti karena perempuan lain." Tangis perempuan bermata bulat itu pun pecah, menyisakan sakit yang teramat dalam di hati kekasihnya.

Zahira beranggapan bahwa Fathan begitu cepat berubah. Padahal perjuangan yang dilewati mereka selama setahun bukanlah hal yang pantas untuk disia-siakan. Bayangan perselingkuhan kekasihnya bermain-main dengan kurang ajar dalam pikirannya, tidak ada hal lain selain hal negatif yang singgah di benak perempuan berpipi tembam itu.

"Kumohon, jangan menangis," pinta Fathan dengan nada memelas. Ia meremas ujung kemeja birunya. Saat ini, keputusan yang bisa ia ambil hanyalah mengikhlaskan Zahira, perempuan yang telah menemaninya dalam banyak hal. "Sungguh bukan karena itu, Zah. Percayalah," ucapnya mencoba meyakinkan.

Prinsip keluarganya yang membuat Fathan tak bisa berbuat apa-apa selain melepas perempuan yang amat dikasihinya. Berpatok pada keyakinan bahwa rida Allah terletak pada rida orang tua, membuat Fathan harus terluka. "Jodoh tak ke mana," bisiknya sembari menyeka air mata.

Zahira membuang muka, ia tak sanggup melihat laki-laki yang begitu tega mencampakkannya. "Tidak ingat ya sama janji kita?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Bagaimana aku lupa, Sayang? Kamu adalah perempuan terbaik yang pernah kukenal, Zah," ucap Fathan pelan.

"Sekali lagi kamu bohong! Kalau aku yang terbaik, kenapa harus memilih berpisah seperti ini?"

"Aku kan sudah bilang." Fathan berucap tegas, ia memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa berat. "Aku ingin mendekatkan diri."

"Lalu aku? Apa yang bisa kulakukan tanpa kamu? Kamu jahat! Sungguh ...." Zahira tergugu, tangisnya semakin menjadi. "Aku mohon jangan seperti ini."

Sebenarnya, Fathan juga tak menginginkan perpisahan itu. Ia tak akan pernah mau berpisah dengan perempuan yang selama ini telah mendukungnya dalam suka maupun duka. Namun, keadaan yang tak mau bersahabat dengannya.

"Yang harus kamu lakukan, fokus pada impianmu, dan kembali ke jalan-Nya."

"Apa tidak ada harapan bagi kita?" Suara menyedihkan dari Zahira membuat Fathan terenyuh.

'Begitu tega aku telah membuatmu menangis, Sayang,' ucap Fathan dalam hati.

"Insya Allah, ada. Kita pasrahkan pada Yang Maha Kuasa, ya?" Dengan penuh kehati-hatian Fathan berucap, memegang bahu Zahira yang bergetar. Lalu membalik tubuh perempuan itu agar berhadapan dengannya.

Zahira tak memberontak, malah saat ini ia melihat ke manik mata kekasihnya. Sementara, air mata perempuan berbibir mungil itu masih mengalir.

"Jangan menangis." Fathan menyeka air mata Zahira dengan hati yang begitu perih.

"Katanya pengen mendekatkan diri, tapi kok megang pipiku? Kita kan bukan mahram."

"Ish, dasar!" Fathan mengacak puncak kepala Zahira, membuat jilbab perempuan ayu itu sedikit berantakan.

"Kalau pengen pisah, ya udah, kita gak saling kenal. Aku gak kenal kamu, kamu gak kenal aku," ancam Zahira sambil memberengut, kedua tangannya disilangkan ke dadanya.

"Ish, apaan? Nggak. Kita kenal, pokoknya kenal."

"Gak mau!"

"Yang, bukannya Sayang sendiri yang bilang kalau jalan kita ini salah? Jadi, ayo pisah dulu, temenan seperti dulu. Kalau jodoh, pasti bertemu," jelas Fathan.

Namun, Zahira cukup keras kepala. Perempuan itu masih tidak ingin berpisah. Ia memberikan ancaman. "Kalau mau pisah, gak usah kenal. Gak usah panggil sayang-sayangan."

Fathan tersenyum kecut. Ia berpikir, seharusnya tidak ada kejadian menyedihkan seperti itu jika dirinya mampu menghancurkan prinsip keluarga. Namun sayangnya, seorang Fathan terlalu lemah untuk menentang keinginan orang tua.

Kerja dulu, mapan dulu, menikah kemudian. Begitulah ungkapan yang selalu terngiang di ingatan Fathan.

"Aku bingung harus bagaimana." Air mata laki-laki itu pun akhirnya keluar juga, sudah tak sanggup ditahan. "Aku mencintaimu, Zah. Tapi aku belum bisa menghalalkan cinta kita."

"Kenapa belum bisa? Aku kan udah bilang, kita bisa berjuang sama-sama," ujar Zahira meyakinkan.

"Nggak, aku gak mau memberikan banyak harapan yang bisa membuatmu lebih terluka nantinya."

Zahira bergeming, semua kata-kata yang ingin diucapkan tercekat di tenggorokannya. Tak ada yang ia rasakan selain luka. Sebuah harapan yang membuatnya bahagia selama ini, akhirnya terenggut juga.

"Zah, jangan seperti ini, aku sedih kalau kamu begini." Fathan mencoba menghibur Zahira.

"Gak usah sok peduli!" ucap Zahira sinis.

Perempuan lebih mengedepankan hati daripada logika. Untuk itulah, saat terjadi hal tak mengenakkan, perempuan yang akan lebih menderita.

"Aku memang peduli." Fathan menaikkan nada bicaranya.

Fathan memang peduli. Akan tetapi, ia tetap tak bisa melakukan apa-apa selain mengungkapkan lewat kata.

Cinta adalah fitrah, tapi jika disalurkan dengan tidak tepat, akan menjadi fitnah. Halalkan atau ikhlaskan, hanya ada dua pilihan itu untuk jatuh cinta.

Seorang Fathan tak mampu menghalalkan karena keadaan, ia hanya bisa mengikhlaskan segalanya pada Sang Maha Cinta. Ia ikhlas, apa pun yang terjadi ke depannya, itu sudah jalan yang terbaik dari Allah. Tekadnya sudah bulat, ia tidak mau terus berkubang dalam zina pacaran.

"Maaf karena membuatmu kecewa, ya."

"Aku gak mau maafin." Zahira masih terisak, pipinya basah, matanya sembab. Ia belum terima akan keputusan yang Fathan ambil.

"Terserah mau maafin apa nggak, yang pasti aku gak bisa bersamamu."

Ucapan Fathan membuat dunia seakan-akan runtuh, bongkahan batu besar seperti menghimpit dada Zahira.

"Terserah kamu mau gimana, yang penting aku sayang kamu," lirih Zahira.

Fathan terdiam sejenak untuk berpikir. Ia tahu, bahkan sangat tahu bahwa kekasihnya adalah perempuan yang teguh pendirian. "Terserah." Hanya kata itu yang akhirnya keluar dari bibirnya.

Keduanya pun akhirnya bergeming, memilih terhanyut dalam pemikiran masing-masing.

***
davinozayAvatar border
putrateratai.7Avatar border
teguhwidihartoAvatar border
teguhwidiharto dan 5 lainnya memberi reputasi
6
846
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.