Saat pertama saya bertanya tentang jalan hidup.

Aku sebenarnya menaruh sejumput pengaharapan.

Saat aku mulai merasa lelah dalam pencarian yang tidak kunjung datang. Hingga luka kembali tertimbun luka.

Kosong tertimbun kosong, dan aku mulai menikmati titik kebebasan yang kebablasan.

Jiwaku membutuhkan pesemayan, sedangkan sesungguhnya aku sudah di ambang keputus asaan.

Satu demi satu kehilangan, satu demi satu masalah datang silih berganti.

Hingga menggerogoti waktu yang perlahan mulai menua.

Saya dititik lelah untuk melawan usia. Aku dititik lelah untuk terus menyerah dengan penolakan.

Kali ini aku sudah memasrahkan hidup untuk ku kembalikan pada pemberi hidup.

Tentang rezeki yang kucari kuserahkan pada pemberi rezeki.

Untuk hatiku, biar nanti kamu yang membawanya. Tidak ada lagi penolakan tentang apapun. Tapi aku hanya sedikit memaksa, tetaplah perhatikan aku. Pilihlah aku karena hatimu yang memilihku. Aku yang menjadi pelabuhan terakhir. Karena aku adalah alasanmu untuk berhenti. Sunggu jadikan aku alasanmu memilihku.

Susah dan susah sekali. Lalu bagaimana ini?

Aku sudah memilih, tapi hatimu masih bercabang. Antara kelam, antara transisi dan menerima saja.

Ada kah itu untukku?

Aku memberanikan diri untuk mengambil keputusan ini. Tapi aku menyadari, tugasmu tidak hanya menjadi tulang rusukku. Tapi menjadi sayap untuk buah cintamu yang lain. Tugasmu untuk darahmu. Lalu aku sebagai apa?

Terlalu memaksakan memang ketika aku akhirnya menjatuhkan hati untuk memilihmu, saat kembali kusadari bahwa kamu belum menjatuhkan hatimu sepenuhnya untukku. 

Apa mungkin, rasa itu akan muncul setelah ikrar janji?

Lalu bagaimana dengan ku? Dengan ketidak tahuanmu? Dengan ketidak mengenalmu? Bahkan yang lebih sulit, kebodohanku tetang hidup yang akan kita mulai.

Aku dititik tidak berakal.

Membayangkan yang didepan mata, tapi aku hanya di ujung matamu.

Sungguh, ini hanya curigaku. Tapi hatiku sakit, saat aku mejadi kesekian kali sisa waktu mu dalam sehari.